Di sinilah Gabrian, pria matang yang duduk kebingungan di sebuah kursi kayu antik di dalam rumah tua. Pikiran pria itu melayang ntah kemana. Berulang kali dia mencubit tangannya sampai merah, rasanya sakit sekali, dia tidak bermimpi.
"Kau kenapa? Masih hilang ingatan? Jin macam apa yang merasuki pikiranmu?" Pria berkumis panjang itu menatap Gabrian tidak percaya. Orang yang ditatap lebih bingung. Berulang kali dia menatap ke sekitar rumah yang harusnya tidak berbentuk seperti ini. Rumahnya jelas-jelas terbuat dari batu bata semen asli, lantai keramik granit, dan atap seng yang kokoh, sangat jauh berbeda dengan rumah usang kuno seperti rumah jaman 50an ini. Pergi ke mana semuanya itu?
Pria di penghujung umur 40 an itu menghela nafas. Dia lelah menunggu jawaban dari Gabrian yang daritadi hanya diam dengan wajah pusat pasi. Seperti orang gila. Jelas-jelas selama ini pria di depannya menawarkan diri untuk membantunya selamanya 2 tahun lalu.
2 tahun lalu, datanglah seorang pria yang sangat larut datang ke kediamannya yang sangat jauh dari jalan utama. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Gabrian. Nama yang aneh, baru kali ini dia mendengar nama seperti itu
"Guru! Guru!" Pintu digedor dengan kerasnya, seperti orang terburu-buru dan tak sabaran.
Sang Guru menampakkan wajahnya dibalik pintu. Dirinya kesal tetapi air mukanya tetap menunjukkan ketenangan.
"Guru, apakah kau sedang mencari seorang hamba untuk dijadikan anjing?"
Sang Guru mengerutkan keningnya, "Jikalau memang aku mencari anjing, aku akan cari anjing, bukan semut kecil seperti kau," pria paruh baya itu menatap pemuda jangkung dihadapannya dengan tatapan tak selera.
"Guru, janganlah kau remehkan semut itu. Seekor semut bahkan bisa mengalahkan gajah jika ia mau." Sang Guru terdiam mendengar ucapan kawula di hadapannya.
Akhirnya, Sang Guru menyuruh pemuda di hadapannya masuk ke kediamannya, mengajaknya duduk di bangku rotan buatannya sendiri, lalu mengambil padud dengan tembakau didalamnya dan menghisapnya.
Mereka berdua duduk berhadapan. Mata Sang Guru tak lepas dari perawakan kawula itu.
"Ada apa gerangan kau tiba-tiba ingin menjadi abdiku?"
"Aku melarat. Jauh-jauh aku mengarungi tanah ini untuk temukan kau. Aku ingin mencari sesuatu karena kehilangannya. Kalau bisa, akan ku jelajah sungai Deli sampai ke ujungnya jika kau bersedia."
"Apa yang hendak kau cari itu?" Guru menghisap padud di tangannya. Rasa tembakau menjalar ke tenggorokannya tapi tetap membuatnya fokus dengan pria muda di depannya.
"Aku mencari hartaku, Guru. Aku percaya kau bisa membantuku menemukannya jika aku mengabdi padamu." Sang Guru tampak menimang-nimang keputusannya.
Pada akhirnya Sang Guru mengangguk. Diambilnya pemuda itu menjadi abdinya. Pemuda itu jugalah yang kerap membantunya memburu dan bertani.
Namun sekarang, Gabrian malah berubah menjadi orang lain. Dia tak tahu apakah Gabrian kerasukan atau mungkin kepalanya habis terbentur sesuatu. Gabrian yang dulu pandai berburu, kini melihat harimau pun dia tak dapat. Sang guru yang dikenal sebagai Guru Patimpus menggelengkan kepalanya.
"Sekarang kau siapa?" Secara tiba-tiba, setelah keheningan selama beberapa menit, Guru Patimpus mengeluarkan pertanyaan.
Gabrian meneguk ludahnya kasar. Tak sanggup pemuda itu merespon suara berat yang tegas dari pria yang lebih tua darinya.
"A-aku Gabrian."
"Aku juga tahu kau Gabrian!" Guru Patimpus tak puas dengan jawaban gagap pria matang di hadapannya. Sedangkan Gabrian, jantung pria itu berdegup kencang. Berulang kali dia melafalkan doa di dalam hatinya sambil menutup mata.
Setelah menetralkan rasa gugupnya, Gabrian mulai angkat suara. Ia tidak mau diusir dari rumah ini dan bertemu dengan satwa liar lagi, "Aku tau ini terdengar cukup gila. Tapi, aku datang dari masa depan. Aku tidak tahu apapun tentang jaman ini."
Guru Patimpus mengerutkan dahinya. Sulit baginya untuk percaya namun yang berbicara adalah abdinya sendiri. Sang guru menghembuskan nafasnya gusar. Dia memang mengerti tentang berbagai ilmu gaib, tapi penuturan pria itu terlalu gila.
"Kau sudah gila?" Gabrian menggeleng. Butiran keringat sebesar jagung mulai menuruni dahinya. Aura pria paruh baya di depannya sangat kuat dan berkharisma.
Guru Patimpus menghela nafasnya. Dia belum memutuskan untuk percaya atau tidak. Yang jelas, fisik Gabrian masih sama selama 2 tahun terakhir, tak ada yang berubah kecuali kejiwaannya.
"Bagaimana aku bisa mempercayai ucapanmu?"
Gabrian memutar otak. Matanya menelusuri sekeliling kediaman gurunya. Dia mengambil beberapa bahan-bahan seperti sirih, air, dan lain sebagainya, mengolahnya, dan menjadikannya salep luka.
"Ini adalah komponen salep luka di masa depan. Memang, metodenya adalah hasil adaptasi tradisional jaman kini. Tapi, aku bisa jamin salep ini sangat efektif menyembuhkan luka." Gabrian menatap Guru Patimpus dengan yakin. Dia percaya diri dengan kemampuannya. Semuanya ia lakukan demi bertahan hidup.
Guru Patimpus mengangguk. Matanya menelisik salep itu. Dia adalah seorang penyembuh yang memiliki kekuatan magis dan pengetahuan medis tradisional. Salep luka Gabrian dianggap efektif, dia tak pernah memakai metode itu sebelumnya.
"Aku seorang dokter dari masa depan. Dokter adalah seseorang yang memiliki kemampuan penyembuh dengan mengandalkan ilmu pengetahuan alam. Kalau sekarang, itu seperti seorang tabib."
Guru Patimpus mendengar penjelasan itu dengan mata tajam, menelisik setiap ekspresi dari wajah pria matang di hadapannya. Kepalanya mengangguk, mulutnya kembali menghisap padud yang bertengger di jari-jarinya.
"Baiklah. Aku akan mulai mempercayaimu. Yang jelas dirimu bukan lagi Gabrian yang ku kenal dulu. Kau sudah menjadi orang yang baru. Aku akan memanggilmu dengan nama baru, Abrian. Dengar, jikalau kau berkhianat dan membohongiku, kau akan menjadi santapan ternakku. Mengerti?" Gabrian mengangguk paham. Dirinya tersenyum di dalam hati, akhirnya dia bisa meyakini pria berkharisma di hadapannya.
"Guru, karena aku berasal dari dunia fana masa depan, aku tidak tahu menahu tentang jaman ini. Apakah guru berkenan untuk menjelaskannya?"
Guru Patimpus mengangguk, "Buatkanlah dulu dua cangkir teh di dapur. Aku akan menuturkan segalanya padamu."
Gabrian mengangguk patuh. Kakinya melangkah menuju dapur dengan sigap. Teh pun berhasil disiapkan. Dengan sopan, Gabrian memberikan secangkir teh dan disambut baik oleh sang Guru.
Mereka kembali duduk berhadapan di kursi rotan yang dibuat oleh masyarakat untuk Guru Patimpus. Sang guru memang terkenal sebagai seorang tabib dan ahli dalam berbagai hal. Sang guru sangat terkenal sehingga wilayah itu dinamakan dengan "Medan" atau "Medaan" yang berarti sehat.
"Aku adalah Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Aku bisa menyembuhkan penyakit, sama seperti dirimu," sang guru mulai berujar dengan nada berwibawa.
Gabrian terhentak sejenak. Dia tak salah dengar kan? Barusan dia mendengar bahwa orang di depannya adalah Guru Patimpus, pendiri kota Medan. Gabrian ingat jelas sejarah kota Medan yang sering diceritakan Opungnya semasa dia kecil.
"Guru adalah pendiri daerah ini?"
"Benar. Aku mengelola wilayah ini sehingga semua orang patuh padaku."
Tak cukup dengan fakta itu, Gabrian kembali sadar. Dirinya mengingat bahwa era Guru Patimpus itu sekitar tahun 1500an. Bagaimana nasibnya kedepannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapan Usang Milik Kakek
Ficción históricaDOR! Kau akan kembali ke masa lalu. est 2023.