Sore ini matahari pulang lebih cepat. Awan menangis karena matahari pergi lebih cepat dan angin mencoba menenangkan awan yang mengamuk. Tanah memanfaatkan air mata awan untuk tumbuhan, dan yang tumbuhan lakukan hanya menyaksikan awan yang pergi ke sana- ke mari sembari menangis. Burung-burung memilih pergi, karena mereka tak mengerti mengapa awan merasa sendu. Seluruh metafora ini berkelabat di kepalaku, aku tak bisa memungkiri bahwa aku suka menggabungkan kata kerja manusia dengan barang atau alam. Itu terdengar unik, menurutku.
Jendela-jendela dipenuhi percikan air, lampu-lampu lorong mulai menyala satu persatu, dan jejak kaki sepatu tercipta di tanah. Aku memilih duduk di anak tangga, sementara nyanyian hujan mendayu lembut melewati telingaku. Sebagai siswa, yang lupa membawa payung, aku hanya bisa duduk menunggu awan berhenti menangis.
Beberapa murid lainnya, yang lupa membawa payung juga atau belum dijemput, memutuskan untuk mondar-mandir khawatir menunggu hujan reda. Aku bingung menatap sikap mereka yang seperti anak ayam kehilangan induknya. Ini hanya hujan sore biasa, tidak besar dan angin pun berlalu dengan tenang.
Beberapa saat kemudian, aku menemukan diriku yang hanya tinggal seorang diri dan tetap duduk manis di anak tangga. Murid-murid yang tidak dijemput, memilih berlari dengan panik sementara air membasahi tubuh mereka dan angin tertawa melihat mereka kebasahan. Aku tidak ada niat untuk melakukan hal yang sama, aku tidak mau seragam dan tasku basah. Lebih tepatnya, aku tidak mau merepotkan ibuku untuk menyuci kembali seragam dan tasku.
Menikmati hujan bukanlah hal yang tabu lagi. Apa kau pernah terpaksa menunggu di suatu tempat karena di luar hujan? Aku sudah biasa melakukan hal itu. Sekolah tidak akan memberikan fasilitas apa pun bagi murid yang terjebak hujan, tapi setidaknya masih diperbolehkan untuk menunggu di dalam. Aroma petrikor menyerbu hidungku dan angin dingin mulai menusuk tulangku. Aku memeluk tubuhku, merasakan bulu kudukku berdiri. Aku memang menyukai hujan, tapi menikmati hujan di dalam kamar dengan selimut yang memeluk tubuhku, itu sepertinya lebih baik.
Jam tanganku berbunyi, menunjukkan waktu sebentar lagi menuju pukul enam sore. Hujan justru semakin menangis kencang, angin masih berusaha menenangkannya. Langit malam perlahan-lahan mulai membubarkan langit kelabu. Aku mulai merasa gelisah dan khawatir, bagaimana caranya aku pulang? Ibuku mungkin sudah mondar-mandir di depan pintu menunggu putra satu-satunya ini untuk pulang.
Seperti orang kebingungan dan gelisah lainnya, aku mondar-mandir di lorong sembari melihat keluar jendela. Aku menggaruk tengkukku, tiba-tiba niat untuk menerobos hujan menjalari tubuhku. Tapi, aku pasti akan merepotkan ibu. Itu risiko pertama, yang kedua, aku bisa saja demam atau pilek keesokan harinya. Aku tidak membawa ponsel, satu kecerobohan yang tak sengaja kulakukan hari ini.
"Aku ceroboh juga ternyata," ucapku pada diriku sendiri, sembari terkekeh demi menghilangkan perasaan gelisahku.
Aku menarik napas, jika malam siap menelan sekitarnya, itu tandanya aku harus segera kembali. Aku berjalan melewati lorong menuju pintu utama, langkah kakiku terdengar seperti suara langkah kaki raksasa yang datang. Melewati jajaran loker murid, kelas-kelas dengan hiasan di dalamnya yang berbeda, ruang guru yang tertutup rapat, sampai diriku berada di depan pintu utama untuk keluar dari gedung sekolah. Aku mendorong perlahan pintu kaca tersebut, angin dingin seketika menyentuh kulitku.
Aku terdiam beberapa saat.
Apa menerobos hujan adalah pilihan yang tepat?
Atau aku harus menunggu, lebih lama lagi? Tapi sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup, aku bisa-bisa malah menginap di sini. Malam pun akan segera hadir.
Baiklah, tak ada pilihan lain. Aku pegang tasku, meletakkannya di atas kepalaku. Aku menarik napas, bersiap mengambil langkah seribu. Aku menguatkan niatku, demi menghadapi angin dingin dan mungkin omelan indah dari ibuku yang akan terangkai nantinya. Aku melihat sekitarku, tidak ada benda apa pun yang akan menghalangi langkahku.
Saat kakiku bersiap mengambil langkah pertama, aku merasa sentuhan lembut di pundakku. Aku terkejut, apa itu? Ah, mungkin hanya angin yang lewat. Tapi sentuhan itu terasa di tulang pundakku, apa masih ada murid lainnya? Atau... tidak mungkin. Mana mungkin hantu, aku menghapus seluruh adegan jumpscare yang berkeliaran dalam pikiranku. Aku tidak mendengar suara apa pun di belakangku tadi, langkah kaki sekali pun. Aku penasaran, tapi sekaligus merinding, karena tak ada seorang pun di sekolah ini yang tersisa selain aku.
Aku memberanikan diri melihat ke belakang, napasku tertahan.
Ya Tuhan....
Rambut hitam pendek, kulit putih pucat, raut ketakutan di wajahnya. Aku tidak mengira dia akan berada di sini, padahal dia selalu pulang lebih awal. Mata birunya yang sedalam lautan, menatapku dengan penuh harapan, dan aku bisa melihat air matanya menetes hingga pipinya basah. Dia memeluk tas merahnya, tubuhnya menggigil karena kedinginan.
Rina. Dia Rina.
"Eh, Rina, kau belum pulang?" aku bertanya gugup.
Rina terdiam, dia menatap dalam mataku. Aku bingung bagaimana harus bertindak, tubuhku seketika merasa kaku dan mulutku terasa sangat kering. Situasi canggung adalah hal yang paling membingungkan bagiku, seketika otakku tak bisa berpikir apa pun selain diam dan menunggu lawan berbicara membuka kembali pembicaraan. Tapi, aku berhadapan dengan Rina. Rina tak akan berbicara selain hal yang dipahaminya.
Aku tak sengaja melirik tangannya, dia memegang erat sesuatu. Payung, itu payung! Tidak terlalu besar ukurannya, tapi cukup untuk dua orang. Benda dengan warna biru tua itu benar-benar menarik perhatianku, aku ingin sekali payung agar bisa pulang ke rumah. Baiklah, ada dua hal yang membingungkan di sini. Bagaimana caranya agar aku bisa menumpang di payungnya dan mengapa Rina masih di sini sementara dia punya payung?
Rina menyadari bahwa aku sedari tadi melirik payungnya, Rina perlahan mengarahkan payung itu ke arahku. Aku sempat terkejut, apa gadis ini ingin memberikan payungnya untukku?
Dari ekspresinya, Rina sepertinya memohon kepadaku untuk membukakan payungnya. Dengan ragu, aku mengambil payung itu dan membukanya. Benar kataku, payung ini cukup untuk dua orang. Aku memegang payung itu, lalu mengarahkannya ke Rina. Perlahan Rina mengambil payung itu dariku. Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar bisa menumpang pulang bersamanya?
Rina bukanlah tipe gadis yang mau diajak pulang begitu saja dengan seseorang. Tidak mungkin adegan romantis di bawah payung antara laki-laki dan perempuan berkelabat di kepalanya. Dia memiliki pikiran yang lebih jauh daripada itu, sehingga aku tak pernah memahaminya. Rina juga sangat tertutup dan jarang berbicara. Dia gadis yang rumit, jujur saja.
"Rina, apa kau ingin pulang sekarang?" tanyaku. Rina yang sedari tadi menatap hujan, beralih kepadaku. Rina mengangguk perlahan. Baiklah, aku harus mencari kesempatan.
"Mau pulang bersamaku?" tanyaku dengan sopan.
Rina terdiam sejenak, tatapannya membuatku merasa bingung. Aku menunggu jawabannya, tapi Rina sama sekali tidak menjawab.
"Eh, aku akan memegang payungnya. Jadi, Rina tidak perlu memegang payung, Rina berjalan saja." Aku mencoba meyakinkan Rina.
Lagi-lagi, Rina justru terdiam. Situasi ini membuatku semakin kebingungan. Ya Tuhan, mengapa aku malah berhadapan dengan gadis ini? Kenapa bukan orang lain saja yang datang? Kenapa harus Rina? Aku menghela napas, niatku untuk pulang seketika pupus dan Rina justru memandang langit yang kian gelap.
Beberapa menit kemudian, mataku perlahan-lahan terasa berat untuk tetap terjaga. Kantuk menyerangku, tapi keadaan memaksaku untuk tetap bangun. Aku bersandar pada dinding lorong, aku tidak punya harapan untuk pulang ke rumah sekarang. Sesekali aku melihat Rina, yang dia lakukan tak ada bedanya. Entah apa yang terlintas di pikirannya, bukannya pulang, ia justru terus memandang langit yang semakin gelap. Aku menghela napas, gadis ini terlalu aneh.
Ketika jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam, hujan perlahan-lahan mulai mereda. Akhirnya, waktunya untuk pulang meski omelan ibuku akan menyerang. Aku bawa kakiku menuju pintu, bersiap untuk pergi dari tempat ini.
"Jangan pulang...."
Aku hentikan langkahku, membalikkan tubuhku ke belakang dan mendapati Rina berdiri tepat di belakangku.
"Aku tidak mau pulang...." Air mata seketika jatuh ke pipi Rina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poetry and Paint
Teen Fiction"Do you understand with what i say?" "No, but i want to understand all about you." Bagi Zio, memahami seseorang bukanlah hal yang mudah dan itu terlalu rumit. Bagi Rina, tak seorang pun memahaminya karena berbeda. Musim gugur dan musim dingin datang...