Zayyan menipiskan bibirnya. Di antara remang lampu studio, ponsel Zayyan tampak menyala menyinari wajahnya. Ponsel itu berada di lantai dengan sang pemiliknya yang duduk memeluk lutut di depannya. Layar ponsel itu menampilkan sebuah kontak, dengan nama 'Ricky' yang dibubuhi dengan emoticon anjing menggemaskan.
Sepertinya telah tiga kali percobaan panggilan, tetapi di ujung sana tidak ada jawaban. Zayyan mendesah kecewa. Padahal ia sudah amat sangat bosan hari ini. Memaksa Ricky menjawab komentarnya di kolom media sosial juga tak mampu mengisi kebosanannya.
Ia sebenarnya tahu banyak yang menunggu kabarnya. Tapi untuk saat ini, ia sedang tidak ada keinginan untuk melakukannya. Zayyan ingin sendiri, tapi ia enggan mati kebosanan. Ia hanya ingin satu hal saat ini.
Berbicara dengan Ricky.
Tapi Ricky sibuk, lebih sibuk dari dirinya yang padahal sebentar lagi akan melakukan comeback. Karena itu ia sedikit kecewa. Ini baru pukul setengah delapan malam. Tapi Ricky tidak segera menjawabnya.
Zayyan menghela napasnya sedikit. Berusaha menepis rasa kecewa aneh yang menggelayuti hatinya.
Tapi Zayyan bukan orang yang mudah menyerah. Ia telah melalui banyak audisi dan berbagai cara untuk meraih mimpinya hingga debut. Jadi, mana mungkin ia menyerah hanya dengan tiga kali usaha tanpa jawaban.
Ke empat kalinya, Zayyan memulai panggilan. Beberapa detik berlalu, ponselnya masih terus memanggil. Mood Zayyan turun.
Dia sudah tidak mau lagi menelepon Ricky.
Namun, sebelum ia mematikkan layar ponsel, panggilannya terjawab.
Zayyan sedikit terkejut, namun senyumnya mengembang manis. Ia bisa mendengar suara rusuh di ujung telepon, bukti tak langsung alasan Ricky tak segera mengangkat telepon.
Rasa gugup mendadak muncul pada Zayyan.
"Hallo...?" suara Ricky terdengar kecil dan tidak yakin diujung sana.
Senyum Zayyan melebar.
"Hallo juga, passwordnya apa?"
Serentak keduanya tertawa atas lelucon Zayyan.
Astaga.... Zayyan sangat menyukai sensasi yang ia rasakan ini.
"Sibuk ya?" tanya Zayyan setelah tawanya usai.
Ia mendengar suara orang lain di sambungan telepon. Teman Ricky sedang menunggunya untuk pergi keluar. Zayyan bisa mendengar Ricky menolak dan berkata ia sedang menelepon temannya.
Senyum Zayyan mengembang tanpa alasan.
"Hallo Zay? Masih disana?"
Zayyan mengangguk dan kemudian tertawa kecil karena ia menyadari Ricky tak akan bisa melihatnya.
"Masih kok."
"Kok ketawa-ketawa sendiri?" selidik Ricky.
"Soalnya lagi nelpon Ricky." Zayyan menyahut dengan jahil.
Ricky tertawa di sana. Dan Zayyan tahu tawa itu adalah tawa salah tingkah.
"Astaga.... siapa yang mengajarimu begitu?"
Tawa Zayyan terdengar. "Sing."
"Anak itu benar-benar." Keluhan Ricky terdengar.
"Memangnya aku ga boleh ngomong kayak gitu?"
"Boleh kok, apa saja yang Zayyan mau semuanya boleh."
"Tuhkan, kamu yang gombal."
Zayyan sebenarnya tidak komplain, dia bahagia sekarang. Meskipun hanya mendengar suara Ricky dan bercanda seperti ini membuatnya merasa nyaman. Di banyak kesempatan dahulu, Zayyan terbiasa mendengar suara lembut Ricky yang mengajarinya bahasa Korea, menceritakan kesehariannya, bahkan sekedar bersenandung acak sebelum tidur.
Hening merajai keduanya. Meskipun begitu, Zayyan merasa nyaman, mendengar deru napas Ricky melalui telepon terkadang lebih dari cukup.
"Aku merindukanmu..." Zayyan mengalah dan berucap dengan manja.
Selama ini Zayyan tidak pernah berucap semanja ini. Ia tidak berani bersikap seperti itu karena masa lalunya. Tetapi bersama Ricky, Zayyan tidak mengapa. Ia telah membuat Zayyan melepas traumanya, membiarkan apa yang ada pada dirinya keluar.
Jika Sing yang mendorongnya selama di grup, jauh sebelum itu, ada Ricky yang menarik tangannya.
"Aku juga." Ricky menjawabnya dengan lembut.
Rasanya Zayyan ingin menangis.
"Jangan menangis."
Ah, Ricky sialan.
"Nggak kok, mana mungkin aku yang tampan ini nangis?"
Kalau Zayyan menangis itu juga salah Ricky kan?
"Rasanya mau ketemu Zayyan," ucap Ricky. Ungkapan itu menggantung, maka Zayyan menunggu. "Tapi kalau sekarang tidak bisa ya?"
Kali ini Zayyan menggeleng sedih, tak peduli apakah Ricky dapat melihatnya atau tidak.
"Aku mau ketemu Zayyan."
Nada rindu itu menelusup dalam relung hati Zayyan. Membuatnya telapak kakinya dingin meski berkaos kaki. Zayyan memeluk lututnya lebih erat. Ia mencoba merasakan kerinduan itu pada pelukannya.
Bisa, tapi tak cukup.
Ia juga ingin bertemu dengan Ricky.
"Ayo bekerja keras bersama, aku akan menemuimu di panggung yang sama nanti."
Air mata Zayyan menetes. Ia tidak sedih, ia hanya merindu. Lagi dan lagi Ricky berucap janjinya yang selalu Zayyan pegang erat.
Zayyan tidak pernah berpikir secara spesifik ingin debut dengan siapapun. Namun, ketika Ricky tersenyum padanya, secara tiba-tiba Zayyan ingin debut bersamanya.
"Aku akan menunggumu."
'Maka jangan berpaling pada orang lain'
Ia membiarkan isi hatinya yang terakhir tak terungkapkan. Biarkan Zayyan menyimpannya di dalam hatinya, sebuah bentuk keegoisan yang mungkin akan menyebalkan.
.
.
.
.
.Mau nulis apa ya? Bingung, wkwkwkwk....
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower
FanfictionHe's the flower, beautiful, and everyone loves him. -Oneshoot story about zyyncentric- *Randomly Update*