Prolog
Jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi ketika Gia sampai di ruang kelasnya. Ia berjalan ke arah salah satu kursi di barisan kedua, menaruh tasnya di lantai yang dilapisi karpet tipis, lalu duduk dengan kepala ditelungkupkan di atas meja. Selalu saja seperti ini setiap hari Senin pagi: Gia berangkat pagi-pagi karena takut terlambat, tapi ternyata ia malah tiba terlalu pagi. Andai saja, rumahnya lebih dekat atau diperbolehkan menyewa kamar kos, pasti Gia akan berangkat sepuluh menit sebelum kelas dimulai.
Gia memejamkan mata. Ia tahu ia sudah tidak bisa tidur – terlalu banyak insiden heboh di stasiun dan gerbong kereta pagi ini yang mengusir semua sisa kantuk dalam tubuhnya. Namun, tidak ada salahnya mencoba mengistirahatkan mata sebelum teman-teman sekelasnya mulai berdatangan. Sayangnya, belum sampai lima menit Gia memejamkan mata, tiba-tiba pintu ruang kelas dibuka dan terdengar suara derap langkah kaki. Dalam hati, Gia berdoa semoga orang yang memasuki kelasnya bukan Kaila, teman dekatnya yang juga mengambil kelas ini – hari masih terlalu pagi untuk berbincang-bincang dengan Kaila yang banyak tanya.
Suara langkah kaki tersebut berhenti di samping Gia. Sial. Apakah Kaila betul sudah datang? Biasanya ia baru tiba lima menit sebelum kelas dimulai.
"Gia?"
Suara tersebut bukan milik temannya itu, tapi Gia tahu siapa pemiliknya: Ario, teman sekelompok Gia selama satu semester di kelas ini. Gia tidak menyahut, tetap menenggelamkan kepalanya di atas meja. Maaf, Ario, tetapi ini masih terlalu pagi untuk mendiskusikan tugas. Lagi pula, tugas mingguan yang diberikan oleh dosen mereka sudah diselesaikan kemarin malam. Apa lagi yang mesti dibicarakan?
"Gia?" panggil Ario lagi.
Jika ia tidak memberi jawaban dalam beberapa detik, pasti Ario akan mengiranya sedang tidur dan akhirnya pergi, kan? Setidaknya, begitu pikir Gia. Namun, Ario malah duduk di sampingnya, lalu mendekatkan kepalanya pada Gia dan berbisik tepat di telinga kanannya.
"Gi, gimana nih? Gue beneran suka sama lo, tapi kayaknya lo nggak suka ngobrol sama gue ya? Maaf ya, Gi, tapi gue bakal tetep berusaha biar bisa kenal lebih deket sama lo."
Kedua mata Gia kontan membulat. Ia hampir saja mendongak dan menanyakan pada Ario apakah cowok itu sudah gila. Namun, tentu saja Gia menahan diri karena tidak mau ketahuan hanya pura-pura tidur. Di sisi lain, ia juga tidak tahu ekspresi seperti apa yang tampil di wajah Ario saat ini dan Gia terlalu takut untuk melihatnya.
Gia bisa merasakan Ario menjauhkan kepalanya dari telinga Gia, lalu berdiri dari kursinya dan berjalan menuju kursi lain. Gia kembali memejamkan matanya, tapi usahanya kali ini benar-benar gagal. Apa yang baru saja ia dengar?
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhatikan Celah Peron
Teen Fiction[SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU!] Ario tahu ia menyukai Gia, dengan semua senyum kecil dan kalimat-kalimat singkat yang keluar dari mulut perempuan itu. Tapi, di peron stasiun hari itu, ketika cahaya jingga matahari menerpa rambut hitam Gia, Ario sadar...