Bab 1

148 25 2
                                    

Bab 1

Wajah Ario yang berseri-seri pagi ini sukses mendatangkan rentetan pertanyaan dari teman-temannya. Orang normal mana yang akan memasang wajah semangat dan bahagia pada hari Senin pagi? Pasti ada sesuatu yang terjadi, yang berhasil membuat Ario tertawa lebar padahal tidak ada apa-apa yang lucu.

"Udah mulai stres beneran ya lo, Yo?" tanya Dival, salah satu teman dekat Ario, sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ario. "Dari tadi senyam-senyum terus, jadi takut gue."

Ario menyengir kecil, lalu menggelengkan kepala. "Nggak, gue lagi seneng aja."

"Kenapa?" Giliran Don yang bertanya, akhirnya menengadah dari mangkuk mi ayamnya. "Kakak lo akhirnya ngebolehin lo minjem mobilnya?"

Suasana kantin siang ini cukup ramai meski jam belum genap menunjukkan pukul sebelas. Namun, orang-orang seperti Ario, Dival, dan Don yang baru ada kelas lagi pada jam dua siang biasanya lebih memilih duduk-duduk di kantin daripada kembali ke kos-kosan atau singgah ke tempat lain yang tidak jauh dari kampus. Menurut Ario sendiri, jam-jam ini memang paling enak dihabiskan di kantin karena suasananya tidak terlalu ramai, tetapi tidak terlalu sepi juga. Ia selalu suka dengan white noise kantin kampus.

Mendengar pertanyaan Don, wajah Ario berubah masam. "Mana ada! Kalau Tari ngebolehin gue pinjem mobil, mana mungkin gue bawa-bawa ransel hari ini."

Walaupun sudah memiliki SIM dan lancar menyetir mobil, Tari – kakak Ario yang lebih tua lima tahun – tidak pernah mau meminjamkan mobil pada adiknya. Ario sebenarnya paham mengapa kekhawatiran Tari: ia sering menginjak gas terlalu dalam dan agak ugal-ugalan sehingga Tari takut mobilnya tidak akan kembali dalam keadaan mulus. Tapi, yang membuat Ario sebal adalah Tari tidak menggunakan mobilnya setiap hari, paling hanya dua-tiga kali dalam seminggu. Jarak kantor Tari dengan kantor ayah mereka sangat dekat sehingga mereka sering kali berangkat bersama dengan mobil sang ayah.

"Kalau bukan karena mobil... berarti ada hubungannya sama Gia ya?" tebak Dival.

Senyum Ario kembali mengembang. "Tadi pagi gue dateng agak cepet, terus baru ada Gia sendirian di kelas."

"Terus, lo ngobrol sama dia?" tanya Dival.

Ario menggeleng. "Dia lagi tidur."

Don menaikkan satu alisnya. "Terus kenapa lo seneng? Lo nontonin dia tidur?"

"Nggak!" jawab Ario cepat. "Stalker kali, nontonin orang tidur. Gue seneng aja karena dia orang pertama yang gue liat di kampus hari ini."

Kalau dipikir-pikir, alasan keceriaan Ario memang agak aneh. Ia tidak berbicara sama sekali dengan Gia hari ini – sebatas mengatakan bahwa ia menyukai Gia saat orang yang bersangkutan sedang tidur tidak bisa dihitung sebagai percakapan. Hanya saja, Ario jarang sekali bertemu Gia di kampus. Satu-satunya kelas mereka bersama di semester ini hanya kelas pagi tadi. Jadi, wajar bukan, jika Ario senang bisa bertemu Gia hari ini?

"Lo...." Don berhenti berbicara di tengah-tengah, lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum kecil. "Gue nggak habis pikir."

"Kenapa?"

"Lo orangnya simple banget ya, Iyo," gumam Dival. "Gue agak salut."

Ario mengernyitkan dahinya. "Apa sih maksudnya?"

Dival mengibaskan tangannya, mengisyaratkan Ario untuk mengabaikan ucapannya. "Nggak, nggak jadi. Gue agak culture shock aja, udah lama nggak ngeliat lo suka sama orang."

Don dan Dival memang sudah berteman dekat dengan Ario sejak SMA. Mereka biasa bermain berlima, tetapi dua orang teman mereka yang lain berkuliah di universitas yang berbeda. Sampai mereka memasuki semester lima sekarang, ketiganya masih selalu bersama, mengambil kelas yang sama karena satu jurusan sehingga tidak pernah ada hari tanpa berkumpul bertiga. Ario suka bercanda, mengatakan bahwa ia lebih sering bertemu dengan Dival dan Don dibanding keluarganya sendiri.

Perhatikan Celah PeronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang