Bab 2

133 22 3
                                    

Bab 2

Begitu melihat sosok Gino, tangan Gia langsung menepuk punggung lelaki itu keras-keras. Gino kontan menoleh sambil mengelus punggungnya yang terasa panas, sudah menebak tidak mungkin ada yang menepuknya sekeras itu selain kakak kembarnya sendiri. Begitu juga sebaliknya – tidak ada orang lain yang akan Gia pukul sekencang itu selain Gino.

"Gino! Udah nunggu lama?"

Gia tahu Gino tidak suka dengan nama panggilannya. Maka dari itu, ia selalu menyebut nama Gino setiap kali ada kesempatan. Nama asli Gino adalah Giovani dan ia selalu memperkenalkan diri sebagai Gio. Tetapi sejak kecil, Gia selalu memanggilnya 'Gino' karena tidak mau nama panggilan mereka terlalu mirip. Gino sendiri sering protes mengapa Gia dipanggil 'Gia' padahal nama aslinya adalah Anggita. Mengapa bukan Gia saja yang mengalah dan mengganti nama panggilan? Berkali-kali Gino mengatakan ini pada kakak kembarnya dan Gia selalu berdalih ia boleh memilih nama panggilan karena ia lahir lebih awal.

"Udah selesai ngobrolnya?" tanya Gino sambil berdiri dari kursi peron. "Tadi gue mau nyapa, tapi nggak enak."

Gia mengerlingkan matanya. "Ngapain pakai nggak enak segala? Biasanya, lo juga nyela kalau gue lagi ngobrol sama temen-temen gue yang lain."

"Kan gue nggak kenal sama yang itu," tukas Gino. "Temen sejurusan lo?"

Gia mengangguk. "Nggak temenan juga sih, cuma acquaintance. Kita sekelompok semester ini di satu matkul."

Mendengar jawaban kembarannya, Gino menaikkan satu alis. "Kok nggak temenan? Dia nggak mau temenan sama lo?"

"Kenapa lo nebaknya dia yang nggak mau temenan sama gue? Bisa jadi, gue yang nggak mau temenan sama dia, kan?" Gia balik bertanya sambil melotot galak.

Gino tiba-tiba mengendus puncak kepala Gia. Sejak masuk SMA, Gino memang melesat jadi lebih tinggi dibanding kakak kembarnya – yang tentu membuat Gia sebal karena ketika masih kecil, Gia suka mengejek badan Gino yang lebih pendek darinya.

"Soalnya rambut lo bau matahari," ucap Gino asal. "Itu sebenernya penyebab lo nggak punya temen selain Kaila."

Kontan, Gia memukul lengan saudaranya. "Kalau gue bau matahari, lo bau apa? Jigong?"

Gino memegang dadanya dengan tangan kiri. "Gue yang selalu wangi gini, lo bilang bau jigong?"

Gia mendengus pelan, lalu menarik pergelangan tangan kanan Gino. "Ayo, jalan ke ujung. Gue kira, lo nungguin gue di sana."

Gino tidak menolak ketika Gia menyeretnya menuju ujung peron. Sejak keduanya masih kecil, Gia memang suka bermain tangan dengan saudara kembarnya itu – entah menarik tangan, menepuk bahu, atau mendepak bagian belakang kepala. Menurut Gino, itulah love language Gia kepadanya. Di sisi lain, Gino lebih suka mengganggu Gia lewat kata-kata, seperti mengomentari hal-hal tidak penting yang memicu emosi Gia atau mengulang ucapan Gia berkali-kali sampai membuat kakaknya kesal.

Belum sampai tiga menit mereka berjalan, kereta sudah datang. Tidak terlalu ramai. Bagus! Gia, yang masih memegang pergelangan tangan Gino, tetap menyeret adiknya itu memasuki kereta sampai mereka akhirnya tiba di gerbong paling ujung sebelum gerbong khusus perempuan. Barulah ketika keduanya berdiri di depan pintu yang agak sepi, Gia melepas pegangannya dari pergelangan tangan Gino.

"Cowok yang tadi namanya siapa, Gi?" tanya Gino ketika Gia baru saja mau mengenakan headset-nya.

"Ario," jawab Gia singkat.

Gino menaikkan satu alisnya, lalu menyengir kecil. "Lagi deketin lo ya?"

Mendengar ucapan Gino, kedua mata Gia kembali melotot. "Mana ada!"

Perhatikan Celah PeronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang