Bagian Tiga

156 26 2
                                    

"Kamu menghindar."

"........"

"Kamu masih menyukaiku, kan?"

Ino memintaku untuk menemaninya melihat dekorasi pernikahannya yang akan digelar besok pagi. Perempuan itu tampak gembira dengan senyum lebar yang selalunya menghias wajahnya yang cantik. Sai tidak bisa menemaninya, itu dikarenakan Ino menolak melihat wajah calon suaminya sebentar lagi. Mereka bertengkar, karena alasan klasik calon pengantin baru.

"Oke, jadi bagaimana?"

Ino bertanya kepadaku dengan wajah sumringah, matanya menyipit dengan senyuman manis yang selalunya menjadi favorit seorang Shimura Sai.

"Apa?" Ujarku, kebingungan.

Kami mampir di sebuah kedai kopi setelah berkeliling melihat dekorasi pernikahan, dan berbelanja—tentu saja. Calon Nyonya Muda Shimura mengatakan bahwa berbelanja adalah satu-satunya cara menikmati masa lajangnya yang hanya tersisa beberapa jam, dan aku juga tidak mungkin menolak keinginan Ino yang datang padaku dengan mata memelas.

Jadi, begitu kegiatan kami selesai di sore hari yang cerah ini. Ino mengajakku bersantai menikmati senja di kedai kopi yang tak jauh dari tempat acara.

"Tentang Sasuke. Apa yang terjadi dengan kalian setelahnya?" Ino menatapku, harap-harap cemas bahwa apa yang terjadi diantara kami tidak seperti apa yang selama ini ia bayangkan.

Mudah bagiku untuk menebak jalan pikiran Ino. Ia selalu ingin kami kembali bersama, menjalin kasih, dan bahagia untuk selamanya. Jelas, meski Ino seringkali datang untuk mengumpat tentang betapa bodohnya Sasuke yang hanya diam ketika aku pergi menjauh, Ino juga satu-satunya orang yang mengerti bagaimana aku dan barangkali Sasuke cukup menderita dengan berjalannya waktu.

Kami kesepian, dan Ino melihat itu semua. Terlebih ketika ia adalah satu-satunya orang yang mengerti mengapa dahulu aku memilih untuk menjauh. Jelas, kali ini, Ino berharap besar bahwa kami bisa bersama.

"Dia sepertinya memberiku izin untuk mengejarnya," balasku, sembari tersenyum tipis, mengaduk kopi hangat di cangkir dengan hati yang menghangat.

Ino memekik setelahnya, memeluk tubuhku dengan senyuman riang yang barangkali akan membuat Sai iri kepadaku karena tak sempat melihatnya. Lalu, seperti apa yang aku duga, perempuan berambut pirang itu lekas menangis dengan perasaan yang bahagia.

"Oh Tuhan, aku senang!"

Wajah senang Ino membuatku lekas menyungging senyuman lebar, merasa turut senang meski jantungku kini berdetak sangat kencang.

"Ino, ini benar, kan?"

"Apanya?"

"Keputusanku untuk mengejar Sasuke."

"......"

"Aku takut mengulang kesalahan yang sama."

Bayang-bayang tentang apa yang terjadi lima tahun lalu terngiang, yang membawaku pada penyesalan dan penderitaan untuk lima tahun ke depan. Bagaimanapun, aku yang sekarang menolak untuk kembali mencicip rasa sakit yang sama. Namun, meski aku sudah mengantisipasi semuanya, tidak ada yang menjamin bahwa aku—yang barangkali belum sembuh ini, mengulang kesalahan yang sama.

Ino mengerti tentang kegelisahan ku, dan kemudian tersenyum tipis. Ia mengelus pelan telapak tanganku yang tergenggam, dan kemudian menatapku dengan permata Aquamarine yang ia miliki.

"Kau tidak akan," katanya.

"Tapi, tidak ada yang menjamin itu, kan?"

"Jika kau melakukannya, aku akan segera memukul kepalamu dan membuatmu sadar!"

To My Favorite PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang