Aku pernah nyaris mati.
Dan aku berharap bahwa hal itu bukan lagi mengenai nyaris, tapi tentang sebuah hal yang benar-benar terjadi.
Hyuuga Hinata bukan orang yang sempurna. Ada banyak cacat di dalamnya, dan semuanya seolah membuatku lemah, rapuh, dan barangkali menjadi sebuah penyakit yang selalunya membuatku ingin pergi menuju ujung kehidupan yang kekal.
Jika hidup bukan lagi sesuatu yang sanggup memberi bahagia, lantas untuk apa bagiku bertahan ketika yang datang hanya sebuah rasa perih yang menjalar?
Ada saat-saat dimana aku membenci Tuhan. Kerap mengutuk-Nya sebab tidak memberi berkat kepada hidupku yang berantakan. Terlebih ketika orang-orang di sekitarku menyicip bahagia dan aku hanya diberi ruang untuk berpatah hati, aku mulai tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Aku ditinggalkan, dan semua orang diberi berkat, membiarkanku menangis sendirian ketika semua orang tersenyum lebar.
Aku iri, jelas.
Pun begitu aku mulai beranjak remaja, menyicip hal-hal baru mengenai romansa. Ada banyak hal yang aku perhatikan. Tidak melulu mengenai perasaan, pun hanya sekedar permainan remaja yang akan berpisah ketika sudah tiba waktunya. Kegagalan hubungan orang-orang yang penting bagiku di masa lalu sudah cukup menampar. Aku tidak ingin ada hubungan kedua atau ketiga. Aku hanya ingin sekali, serius, dan kemudian semoga saja berjodoh. Sebab mengenal orang baru dan memulai hidup baru bukan hal yang aku inginkan. Itu terlalu merepotkan, dan aku benci perpisahan.
Jadi, begitu Tuhan akhirnya membawa seorang Uchiha Sasuke dalam hidupku. Aku diliputi bimbang. Lantas, membuatku semakin membenci Tuhan sebab telah menumbuhkan perasaan yang seharusnya sejak awal tidak perlu ada.
Aku menyukai Sasuke, tapi kita harus berpisah. Sebab ketika perasaan romansa kian menggelora. Aku sadar bahwa seorang Uchiha Sasuke tidak seharusnya hidup dengan manusia lusuh sepertiku.
Sasuke sempurna dengan segalanya. Ia cocok bersanding dengan seseorang yang bak putri cantik. Barangkali Haruno Sakura—Ketua kelas kami saat kelas 12 lebih cocok bersanding dengannya daripada aku yang tidak bisa apa-apa. Oh, ia bahkan akan sangat cocok bersanding dengan Miku Shion—gadis dari tim paduan suara yang memiliki wajah malaikat serta suara yang lembut. Semuanya yang cantik dan sempurna cocok untuk Sasuke. Maka dari itu, aku lagi-lagi semakin membenci Tuhan dan takdirku.
Sebab aku, nyatanya tidak akan pernah cocok dengan Sasuke yang seperti itu.
Aku rumpang dan sangat kotor.
*****
Sasuke manarik koperku sepanjang lorong apartemen. Kami sudah sampai di Apartemen Taka yang sebelumnya disebut oleh Ino sejak bermenit-menit yang lalu. Berjalan bersama Sasuke di sebelahku, aku turut memperhatikan tiap-tiap nomor yang tertera di pintu apartemen.
"Disini," ujarku setelah kami sampai di apartemen dengan ruangan 2627 di pintu.
Sasuke turut menghentikan langkah. Ia menatap pintu yang menjulang tinggi di depan kami. Tangannya mencengkram pegangan koper kuat-kuat, ekspresinya memang tidak banyak berubah. Tapi aku tahu, ia pasti sedang banyak bertanya-tanya. Barangkali sekarang, otak kecilnya yang selalu penuh dengan penjelasan matematika mulai dipenuhi tanda tanya.
Mungkin, kalimat yang paling muncul di daftar nomor satunya adalah; Mengapa Hinata tinggal disini alih-alih di rumah?
Aku tersenyum. Entah menggambarkan apa. "Aku akan tinggal disini sampai satu bulan ke depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
To My Favorite Person
FanfictionKupikir, cinta atau hal semacamnya tidak akan cocok untukku. Berpacaran, dan kemudian menikah, semuanya berakhir dengan kata perpisahan. Entah karena keduanya sudah saling tidak cinta, atau memang Tuhan yang berniat memisahkan. Tapi intinya sama...