Bagian Dua

162 23 4
                                    

"Aku mencintaimu, selalu."

"Aku tahu."

Sasuke tidak memberi jawaban atas permintaanku untuk mengejarnya kemarin, ia hanya diam, tertawa sebentar sebelum akhirnya mengatakan terima kasih. Lalu, pria itu mengambil hadiahnya dan menawarkan diri untuk mengantarku pulang, tanpa membalas apa yang aku katakan sebelumnya.

Aku tidak tahu, tapi barangkali Sasuke tengah menghindar.

Setidaknya aku mengerti reaksinya. Mana mungkin dia akan memberi izin semudah itu untukku—perempuan yang lima tahun lalu meninggalkannya tanpa penjelasan apa-apa. Hanya sekedar mengatakan bahwa aku ingin berpisah dengan alasan singkat bahwa aku sudah lelah, dan kemudian memutus segala kontak dengannya.

Aku mengerti bahwa tidak memberi penjelasan apa-apa kepada Sasuke bukanlah hal yang benar, pun dengan fakta bahwa aku bahkan tidak membiarkan pria itu kembali menghubungiku, padahal jelas, dia tidak salah apa-apa atas kandasnya hubungan kami.

Semua kesalahan berpusat padaku, dan akan selalu begitu.

"Hinata, hati-hati di jalan." Ino melambaikan tangan kepadaku, berpamitan pulang dengan Sai disampingnya yang langsung meninggalkan Cafe dimana kami sebelumnya berbincang, bertemu sapa atas kembalinya aku ke Konoha beberapa saat yang lalu.

Ino dan Sai akan menikah.

Begitu kabar yang aku dengar, dan alasan utama mengapa aku kembali kesini—selain untuk bertemu dengan Sasuke.

Konoha bukan kota yang memiliki kenangan indah. Aku sedikit menyimpan hal-hal baik disini, dan yang lainnya hanya seperti tumpukan kutukan yang membuat hidupku berjalan seperti mimpi buruk. Jarang rasanya mengulas senyum ketika berjalan di jalanan ramai Konoha. Aku selalunya terdiam sembari menatap kosong jalanan, atau bahkan kadang menangis. Terlebih ketika kakiku menjejaki lantai rumah yang dingin, tubuhku lekas gemetar, kemudian,

aku ketakutan.

"Antarkan aku ke Hotel Senju."

Supir taksi yang aku pesan lekas membelah jalanan Konoha yang ramai, membawaku menuju Hotel tempat aku menginap untuk tiga malam. Setidaknya sampai Ino menikah lusa nanti, aku akan menetap disana, dan mempertimbangkan untuk menyewa apartemen jika Sasuke benar-benar menghendakiku untuk mengejarnya kembali.

"Apa yang kamu suka?"

"Cinnamon Roll. Kalau kau?"

"Aku suka Hinata."

Tanganku meraih telepon yang kini tergeletak di sampingku. Kemudian mengetik nama yang selalunya menjadi hal yang teramat sakral dalam hidupku.

Sasuke

Nama itu terpampang disana, dengan obrolan kosong yang seolah mengejek bagaimana lima tahun lalu ruang obrolan itu diisi oleh banyak hal. Aku termenung sesaat, berusaha mengumpulkan keberanian untuk sekedar mengetik kata sapaan pada ruang obrolan yang selalunya kosong selama bertahun-tahun.

Ada banyak hal yang aku pikirkan setelah aku memutuskan untuk kembali mengejar Sasuke.

Barangkali benar bahwa pria itu kini tengah sendiri, tidak memiliki kekasih ataupun hal lain seperti tunangan. Tapi, itu tidak menutup kemungkinan bahwa ada yang ia suka, bukan? Mungkin, kini Sasuke tengah mengganggumi orang lain, dan menjadi seseorang yang mengganggu hubungan mereka bukanlah sesuatu yang aku inginkan.

Jika benar begitu, maka aku akan berhenti, sebab mungkin hati pria itu kini bukan terisi oleh namaku, namun telah terisi nama wanita lain.

Aku cukup tahu diri untuk mundur, dan membiarkan Sasuke hidup lepas dariku yang barangkali hanya membuatnya sedih.

To My Favorite PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang