"Mau ngapain kesini Ren? Lo tau Vindy lagi butuh banyak istirahat, keluarga gue juga udah ngeultimatum siapapun buat nggak ngejenguk Vinindya karena kondisinya terus nurun."
Garendra memasang wajah lelahnya. Dia paham dengan keadaan Vinindya yang terus memburuk, beberapa kali dia ada di tempat ketika gadis itu mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Namun, dia benar-benar hanya ingin melihat Vinindya barang 5 menit pun cukup. Dia ingin tau bagaimana kabar gadis itu setelah bangun, ingin melihat langsung bagaimana keadaan gadis itu.
Tapi Gilang selalu siap siaga, menahan tubuhnya sebagai benteng di depan pintu kamar Vinindya, melarang siapapun bahkan keluarga dekat untuk masuk dan bertemu adiknya.
Jujur, ini sangat menyulitkan bagi Garendra.
"Gue cuman mau liat Vindy sebentar, Lang. Gue cuman mau tau keadaanya sekarang gimana?"
"Kalau ada kodisi baru soal adek gue, lo selalu jadi orang pertama yang gue kasih kabar Ren."
"Lang.."
"Gilang, turun sama mba yuk? Kamu belum makan dari pagi," Bianca yang baru saja keluar dari ruangan Vindy langsung menghampiri Gilang dan mengajak anak itu untuk pergi mencari sarapan.
"Terus siapa yang jagain Vindy mba?"
"Ada Garendra," Bianca menoleh kearah Garendra dengan pandangan penuh percaya. "Mba percaya Garendra ya?"
Diberi kesempatan berharga membuat Garendra langsung menganggukan kepalanya, dia tersenyum senang sambil bergegas masuk ke dalam ruangan Vindy setelah mendengar pesan dari kedua kakak Vinindya.
Katanya jangan mengajak bicara gadis itu mengenai kejadian yang dia alami, bicarakan hal apapun yang membuat Vinindya senang karena gadis itu masih sangat kacau hatinya sampai sekarang. Mendengarnya saja sudah membuat Garendra merasa sedih dan kecewa, bagaimana bisa gadis dengan hati semulia Vinindya mendapatkan perlakuan seperti ini?
"Kak Garen?"
Garendra mendongak, dirinya yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu sambil menundukkan kepalanya lantas langsung menghampiri Vinindya. Tersenyum dihadapan gadis itu, berusaha seriang mungkin menyapa gadisnya.
"Hey, udah lama ya kita nggak ketemu?"
Vinindya mengangguk setuju sambil tersenyum, tangan gadis itu terulur menyapa lembut telapak tangan Garendra, rasanya hangat, Garendra sangat lega masih merasakan hangat gadis dihadapannya ini.
"Kamu sudah mendingan?"
"Jauh, jauh lebih baik sekarang. Maaf ya, dua minggu kemarin aku emang gak bisa ketemu sama siapapun. Tapi Mba Bianca sering cerita kalau banyak banget yang mau ngunjungin aku, termasuk kakak,"
"Gak masalah, yang penting itu kesehatan kamu sekarang."
Garendra tersenyum untuk membalas senyuman Vinindya kepadanya, dia mengusap-usap punggung tangan gadis itu sayang, sesekali mengecupinya untuk meluapkan rindu yang begitu besar. Kalau tidak ditahan, mungkin sejak tadi Garendra sudah menitihkan air mata yang terbendung baik di matanya, benar-benar menyakitkan melihat orang yang kamu cintai terbaring lemah di bangsal rumah sakit.
"Kamu udah makan? Atau ada mau sesuatu?"
Vinindya menganggukkan kepala, "Aku udah makan kok kak, cuman gak habis. Aneh ya? Padahal biasanya aku tukang makan, sekarang semua makanan rasanya gak bisa aku telan.." gadis itu terkekeh sambil memandang troli berisikan makanan rumah sakit yang masih bersisakan banyak lauk pauk disana. Jelas saja, wong Vinindya hanya makan sebanyak 8 sendok suapan kecil, itu pun Bianca sudah sangat bersyukur.
"Gapapa, ini pasti cuman sementara kok. Sebentar lagi, pas kamu sudah lebih sehat nafsu makan kamu pasti bertambah!"
"Kenapa kakak yakin banget soal itu?"
Garendra memasang wajah bingungnya, kenapa Vinindya bertanya ya? Sudah jelas jawabannya adalah karena sedang sakit, jadi nafsu makan kita wajar akan menurun.
"Karena kurang enak badan, aku juga pernah ngalamin kok dulu. Semua yang akan di makan keliatan buat mual ya?"
Vinindya mengangguk sambil menghela nafasnya lega, baru kali ini dia merasa ada yang memahami dirinya dengan baik karena selama ini kedua kakaknya hanya memaksa dia untuk makan, katanya penting agar lebih cepat sembuh.
"Kamu beda tau kak sama mas Gilang, mas Januar sama mba Bianca, udah berapa minggu ini mereka selalu maksa aku buat makan yang banyak.."
Garendra tertawa mendengarnya, dengan masih setia mengelus punggung tangan gadis di hadapannya, dia tersenyum sambil menjawab. "Ya namanya juga mereka cuman khawatir sama kamu, kamu yang sehat itu hal paling penting buat mereka. Nah kamu mau buah gak? Biasanya kamu suka stroberi kan? Mau aku bersihin ya?"
"Sehat gimana kak? Orang aku udah cacat,"
Mendengar ucapan Vinindya membuat Garendra menghentikan langkahnya, dia kembali duduk ke kursi dan menarik nafas panjang.
"Kenapa? Kok kamu ngomong gitu?"
Kini Vinindya tidak menatap kearahnya, bahkan tersenyum pun tidak. Hanya memandang jendela kamar yang memperlihatkan keadaan diluar sana.
"Kak, aku ngerti semua kata dokter, aku udah besar dan udah bukan waktunya lagi buat kalian bohongin aku." Vinindya menunduk menatap kedua kakinya yang terbalut selimut tebal milik rumah sakit. "Aku tau, aku paham kalau kelumpuhan yang aku alamin ini sifatnya cuman sementara, tapi aku lebih paham kalau kedepannya aku bukan lagi Vinindya yang dulu. Sebagian otot dan saraf ku rusak, mana mungkin aku bisa ikut nari kayak dulu lagi?"
"Kak, aku juga paham kalau ada kemungkinan lumpuh.."
Garendra mendengarkan semua ungkapan Vinindya sembari memberi kecupan demi kecupan di punggung tangan gadis itu, niat6a berusaha menguatkan walaupun sebenarnya dia yang sudah tidak sanggup.
"Mungkin... aku yang sekarang nggak akan bisa nerima semua kenyataan ini, makanya beberapa kali aku marah dan milih nyerah sama keadaan ini. Tapi, aku yakin perlahan-lahan nanti aku bisa nerima semua kenyataan yang ada, walaupun butuh waktu yang lama.."
Keduanya terdiam mengabaikan pertanyaan yang keluar dari bilah bibir Vinindya. Begitu sulit memang rasanya menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan Garendra hanya bisa terdiam dan mengelus punggung tangan milik gadis di hadapannya.
"Kamu itu salah satu gadis yang luar biasa menurut aku. Kamu selalu jadi gadis yang sempurna. Kamu bisa menari, bisa menyanyi, melukis, menjahit, semua bisa kamu lakuin. Dan aku percaya dengan keadaan apapun kamu nantinya, pasti masih banyak hal lain, masih banyak jalan lain yang bisa kamu tempuh kedepannya."
Garendra masih mengelus punggung tangan gadisnya, sebelum akhirnya dia berani menatap mata gadis itu yang sudah berlinang dengan air mata. "Kamu luar biasa sayang, seandaikan ini semua terjadi sama aku, aku bener-bener akan jadi pria lumpuh yang nggak bisa apa-apa."
Gadisnya menangis begitu deras, membuat Garendra membawa gadis itu kedalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Center Of A Time
Fanficwe're not Juliette and Romeo, even our toes aren't made for each others. but you're the most beautiful things that ever happened in my life.