Menyakitkan, begitu menyakitkan melihat Vinindya yang kembali mengalami masa kritisnya.
Pagi ini, niat Garendra adalah ke kampus setelah itu siangnya dia akanlangsung menjenguk Vinindya. Namun belum ada beberapa menit setelah kelasnya selesai, dia mendapatian telfon darurat oleh Gilang, cowok itu bilang Vinindya kritis, tubuh gadis itu mengalami kemunduran karena tidak mengkonsumsi apapun sehari yang lalu.
Mendengar itu rasanya Garendra seperti diombang ambing oleh rasa khawatir, sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, dia tidak berhenti menangis dan merapalkan doa.
Vinindya yang dia kenal adalah gadis periang dengan celotehan jenakanya. Kehadiran gadis itu saja sudah membawa kesenangan bagi orang disekitarnya. Tidak pernah putus asa dan menyerah begitu saja ketika itu menyangkut keinginanya.
Jauh berbeda dengan Vinindya yang saat ini, bahkan semua orang bisa melihat kalau tidak ada pandangan bersinar atau kehidupan di matanya. Yang gadis itu tunjukkan hanyalah rasa sakit, kecewa, dan pandangan kosong yang sangat menyakitkan untuk dilihat.
Sungguh, rasanya dia harap dia dapat kembali ke masa SMA.
"Nek, saya bantu dorong ya?"
"Ga usah non, udah cakep gitu mau sekolah masa dorong gerobak?"
Namun gadis yang menyuguhkan bantuan itu malah menggelengkan kepalanya, tanpa banyak bicara dia bergegas berdiri di samping si Nenek dan mendorong gerobak Nenek tersebut. Gerobak yang tidak terlalu besar, namun berisikan makanan disana sebagai sumber mata pencaharian si Nenek yang sedang dia bantu itu. Mungkin sang Nenek berniat untuk berjualan, begitu pikirnya.
Gadis itu juga sempat kesal, di tengah tanjakan yang lumayan tajam ini, mengapa tidak ada sama sekali orang yang berniat membantu si nenek.
Padahal tidak ada habis 5 menit, tapi orang-orang di tengah keramaian ini seakan tidak perduli.
Setelah sampai pada tujuan yang Nenek tersebut tuju, lantas gadis itu menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan kotoran yang menempel disana. Namun, si Nenek malah mengambil kedua tangannya, meneteskan hand sanitizer di tangan gadis itu dan membersihkannya menggunakan tissue. "Udah Nenek bilang tadi anak bageur, cakep-cakep malah bantu dorong gerobak, kumaha si eneng!"
Tanpa di duga gadis itu malah tersenyum, dia menyalim tangan Nenek seusai tangannya di bersihkan.
"Makasih ya, Nek."
"Atuh Nenek yang harusnya makasih sama si geulis! Udah di bantu bawa gerobak berat sampe kotor gitu tangannya.." ucap si Nenek, sembari menepuk-nepuk pundak gadis di depannya.
Lagi dan lagi, gadis itu malah tersenyum mendengar ucapan Nenek, membuat Nenek bingung bahkan menggelengkan kepalanya sendiri.
"Yaudah kalau gitu aku pamit ya Nek?"
"Iya atuh neng, hati-hati nyak! Makasih banyak udah bantu Nenek.."
"Sami-sami Nek!"
Gadis itu lagi-lagi tersenyum, dia berjalan mundur sembari melambaikan tangan kearah si Nenek yang sempat dia bantu tadi. Sampai dirasa sudah cukup jauh, akhirnya dia membalikkan badannya dan melirik arloji di tangan kirinya.
"Mampus gue!" Gadis itu lantas berlari kencang menuju kearah sekolahnya.
Iya, karena terlalu meluangkan waktu untuk menolong orang lain, gadis bernama lengkap Brigitte Btari Vinindya Halim yang kerab dipanggil Vindy ini malah berakhir menunda ke pentingannya sendiri. Bukan sekali dua kali seorang Vinindya datang terlambat ke sekolah dengan alasan menolong orang lain terlebih dahulu.
"Alasan lo apa hari ini? Macet? Ban mbledos? Apa lagi alasan lo pagi ini?"
Vindy tersenyum, lebih tepatnya senyuman tengil yang dia tunjukan kepada Ketua bidang kedisiplinan osis sekolahnya, Garendra Nuga Natarama.
"Ya gimana, namanya juga kecelakaan dijalan siapa yang tau kak?"
Garendra mengerutkan dahinya lalu memandang gadis di depanya dari ujung kepala sampai ujung kaki, gadis itu baik-baik saja kecuali dengan goresan panjang di kaki kananya dan beberapa lebam disana yang membuat Garendra berdecak. "Kali ini gue biarin lo masuk, besok terlambat lagi satu lapangan indoor lo yang beresin, ngerti?" Katanya sambil menuliskan catatan yang sedari tadi dia pegang, "Nama panjang lo siapa?"
"Brigitte Btari Vinindya Halim, kak!"
Cowok itu mengerutkan kening lagi, kenapa namanya susah sekali sih? Dia lalu menyodorkan kertas catatan yang tadi dia pegang kearah Vinindya beserta pulpen yang bertengger di tangannya. "Tulis, sekalian sama kelas dan alasan terlambat,"
"Susah ya kak nama saya?"
"Jangan banyak tanya, tulis!"
Vinindya mengerucutkan bibirnya yang tidak lepas dari pandangan Garendra. Cowok itu pun menghilang dari pandangan Vinindya yang baru dia sadari setelah selesai menuliskan apa yang diminta oleh Garendra.
"Kak, ini kak Garen kemana ya?"
"Garendra? Kayaknya lagi balik ke ruang osis bentar, kenapa?"
Vinindya menghela napas lalu memberikan kertas catatan tadi ke kakak osis yang dia ajak bicara, dia mengintip badge nama cowok di hadapannya lalu tersenyum. "Tadi kak Garen minta aku nulisin nama, kelas sama alasan terlambat disini kak, terus ini habis ini aku udah boleh masuk ke kelas?"
Cowok itu mengambil tumpukan kertas catatan lalu membolak-balik kertas tersebut, dia mendongak lalu menganggukan kepalanya. "Udah boleh, tapi gue bikinin surat masuk terlambat bentar ya?"
Kakak osis itu sibuk dengan surat kecil yang ada di pahanya, karena tidak ada alas untuk menulis makanya cowok itu menggunakan pahanya sendiri, sampai akhirnya selesai dan memberikan surat izin itu kepada Vinindya.
"Nih," katanya sambil menyerahkan surat, cowok itu menunjuk kearah kaki kanan Vinindya. "Itu ga sakit? Setakut itu terlambat sampe gak nyadar kalau kaki lo luka sama lebam?"
Vinindya terkejut lalu menunduk melihat betisnya, ternyata memang benar ada beberapa lebam dan goresan luka disana. Dia hanya meringis sambil tertawa kecil, baru terasa sakitnya setelah melihat luka dan lebam di kakinya.
"Ga kerasa sih kak tadi, hehe,"
Cowok itu menggelengkan kepala, menunduk lalu meraih sapu tangan yang selanjutnya dia basahkan. "Ijin bentar ya? Maaf, gue cuman mau bersihin luka lo kok."
Vinindya yang kaget hanya bisa menganggukan kepalanya, tidak biasa mendapatkan perlakuan seperti ini. Mana dia saat ini mendapati beberapa orang yang curi curi pandang menatap kearahnya dan kakak osis yang tengah membantunya ini.
"Beres, udah bersih lukanya, udah gue kasih hansaplast juga, tinggal lebam aja nanti lo kasih salep ya?"
"Makasih kak, Jehian."
Jehian, cowok, kakak osis yang sedari tadi membantu Vinindya hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Dia membiarkan Vinindya yang pamit itu pergi, lalu kembali sibuk mengurus yang lainnya.
"Ini kotak P3K kenapa bisa ada disini?" Tanya Jehian kepada teman osisnya yang lain.
"Tadi dibawa sama Rendra, tapi sekarang orangnya malah sibuk ngurusin hukuman tuh!"
Jehian menoleh, menatap kemana Garendra berada dengan tertawa kecil. Emang tidak ada habisnya sikap tsundere seorang Garendra. Dia melangkahkan kakinya, sambil melirik kearah tanah dimana ada satu bungkus hansaplast disana. Lalu kembali berjalan menuju kearah Garendra yang tengah mengamati beberapa anak berlari mengelilingi lapangan.
"Kenapa ga lo samperin aja tadi? Lumayan kan kalau dia dapet salep sama obat merah?"
Ucapanya berhasil membuat Garendra menoleh dengan tatapan muak, "Mending lo urus nih bagian lo, gue mau balik ngurus catetan pagi ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Center Of A Time
Hayran Kurguwe're not Juliette and Romeo, even our toes aren't made for each others. but you're the most beautiful things that ever happened in my life.