5. MEMILIH YANG BUKAN PILIHAN

362 15 0
                                    

01.

Aku kena tipu. Aku bahkan harus berulang kali menepuk-nepuk pipi untuk menyadarkan diri. Mencoba memejamkan mata lalu membuka lagi, barang kali ini masih mimpi. Namun, ternyata ini nyata. Aku benar-benar kena tipu. Pembeli semalam menipuku. Sehabis Milla mengabari jika uangnya tidak masuk, aku baru menyadari jika sosial media pembeli tersebut tiba-tiba hilang. Nomornya juga tidak lagi bisa aku hubungi.

"Gusti Nu Agung, ini beneran nggak bisa gue hubungi nomornya?" Aku mencoba menghubungi nomor yang sama berulang kali, tetapi hasilnya nihil. Selalu berujung, nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi.

Empat belas juta bukan uang yang kecil. Kalau uang tersebut benar sudah dia kirim, lantas kenapa tidak masuk? Macet di mana uang itu? Lagi pula, uang, kan, bukan kendaraan yang jika kehabisan bensin dan bisa sembarangan berhenti di tengah jalan.

"Sial! Sial! Sial! Gini banget, sih, hidup gue!"

Aku meremas rambut kuat-kuat saat kepalaku rasanya mau pecah. Aku membanting handphone ke atas ranjang lalu terduduk lemas di ranjang. Pikiranku kalut. Aku hanya orang biasa dengan ekonomi pas-pasan, dari mana aku bisa mengembalikan uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat?

"Ya Gusti," isakku. Aku tidak lagi bisa menahan tangis. Kenapa di saat aku ingin hidup mandiri, segalanya terasa seberat ini? Padahal, kemarin aku baru senang bisa dapat banyak pembeli keripik. Ada uang lebih juga untuk menyelesaikan kebutuhan keuanganku, tetapi hanya dalam satu malam, duniaku terasa runtuh. Aku kena sial.

"Issa?"

Seketika itu, tubuhku membeku mendengar panggilan barusan. Wajahku masih basah saat beralih menatap Tante yang berdiri di ambang pintu.

"Lho, Issa... kamu kenapa?" Tante melangkah mendekat dan langsung berjongkok di depanku. Saat itu juga tangisku semakin pecah.

"Tante, aku... aku kena tipu," isakku menutup wajah yang kali ini, aku tidak bisa menutupinya dari Tante.

"Hah? Ketipu? Ketipu gimana? Ketipu temen atau siapa?"

Aku segera menggeleng. Justru aku yang sudah mengecewakan temanku.

"Aku bantu jualin hape temenku. Terus udah dapat pembeli, kita ngobrol, dia cek hape, dan kirim bukti transfer. Tapi...," Aku terisak saat tidak sanggup menyelesaikan kalimat sendiri.

"Tenang, tenang." Tante langsung duduk di sampingku lalu memelukku. Hangat. Pelukan yang rasanya lama tidak pernah aku dapatkan, kini mampu sedikit membuatku lebih tenang.

"Pelan-pelan aja ceritanya," lanjutnya.

"T-Tante... dia pakai bukti transfer palsu," kataku semakin terisak. "Hapenya dia bawa kabur."

"Ya Rabb...." Suara Tante terdengar prihatin dan itu semakin menyadarkan aku jika ini benar nyata. Sakitnya benar-benar seperti menjepit dadaku. Luka yang aku simpan sendiri mungkin masih bisa aku atasi. Namun, kali ini, aku tidak tahu harus bagaimana. Langkah pertama apa yang harus aku lakukan. Satu-satunya yang terus menari di kepala hanya kenyataan jika aku telah mengecewakan temanku. Aku tidak teliti dan tidak waspada. Empat belas juta. Kata tersebut terus berputar di kepala. Bagaimana caranya aku mendapatkan uang sebanyak itu untuk mengganti kerugian? Penghasilan tiap bulan dari berjualan saja tidak mampu menutup seperempatnya.

            "Ya udah, jangan panik. Nggak mungkin nggak ada jalan. Dengerin Tante dulu."

Tante mengurai pelukan kami. Tangannya yang sedingin es menyentuh kedua pipiku untuk bisa menghapus sisa-sisa air mata yang membekas di pipi.

"Kamu nggak salah. Kamu niat bantu temen kamu. Sekarang, coba ajak bicara temen kamu dan kalau dia minta ganti rugi ke kamu, bicarain baik-baik. Oke?"

Sambil menangis, aku mengangguk.

Kisah Issa & SangkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang