7A. PENDIDIKAN DAN MASA DEPAN

391 14 1
                                    


01.

Siang ini menjadi pertemuan pertama aku dengan Bunda setelah pertengkaran besar kami hari itu. Pagi tadi aku sudah janji pada Tante, begitu urusan selesai, aku akan segera pulang. Tadi, saat memarkirkan motor di pekarangan rumah, aku menyadari banyak yang berubah dari terakhir kali aku ke sini. Banyak pot-pot bunga kemboja yang berjejer rapi, juga halaman yang jauh lebih hijau. Aku terlibat beberapa basa-basi canggung dengan Bunda dan sedikit terkejut saat Bunda langsung mengajak makan siang karena sudah menyiapkan beberapa menu ayam di meja makan. Sebelumnya aku memang memberi kabar, ternyata Bunda tetap bersikap seakan kami tidak pernah terlibat pertengkaran apa pun sebelumnya. Aku tidak datang tanpa alasan karena ada yang ingin aku utarakan.

            "Bun, Kakak mau kuliah," kataku akhirnya, membuka obrolan tepat saat Bunda menggigit paha ayam goreng. Bunda terlihat diam sebelum menatapku.

"Memangnya kamu sanggup kuliah?"

Sebenarnya aku sudah tidak terkejut sebab sejak dulu pertanyaan yang selalu Bunda layangkan terdengar seakan tidak pernah yakin dengan kemampuanku, termasuk yang kali ini.

"Sanggup kok, yang nggak sanggup itu bayar UKT-nya, makanya aku ke sini mau ngobrol sama Bunda," Ucapku terus terang.

Bunda tiba-tiba tertawa, lalu menatapku. "Bilangnya sanggup, tapi kok nggak bisa bayar UKT? Gimana, tuh?"

Aku menipiskan bibir, sedikit menunduk. Aku tahu bunda sedang menyinggung soal rasa percaya diriku yang bisa menangani semua kesulitan ekonomi. Nyatanya aku tidak benar-benar sanggup.

"Maksudnya aku sanggup mengikuti perkuliahan, tapi untuk sekarang, aku belum bisa bayar sendiri. Boleh nggak kalau UKT awal kuliah, bunda yang bayar dan untuk semester selanjutnya jadi tanggung jawabku kok," pintaku mencoba melunak.

Obrolan kami sering tidak berujung, aku tahu hal-hal begini bisa memancing prahara berikutnya. Namun, satu-satunya yang bisa aku mintai bantuan hanya Bunda. Aku tidak bisa melibatkan Nenek atau Tante. Apalagi sampai Devira.

"Bunda keberatan bayarin UKT kalau kamu belum pulang ke rumah dan kamu minta tanggung jawab soal UKT, Kak. Kalau memang butuh, ya ayo pulang. Mau sampai lulus pun, akan bunda bayar."

Lagi-lagi soal pulang. Aku meremas sendok kuat-kuat. Bunda tidak akan cuma-cuma memberikannya. Pada akhirnya Bunda akan menyinggung keinginannya supaya aku kembali tinggal bersamanya lagi. Diam-diam, aku tersenyum miris, begitu mudahnya Bunda meminta aku kembali padahal, lukaku ada di sini. Aku tidak mungkin tinggal bersama luka yang menjadi alasan aku pergi.

"Kak?" Bunda kembali menegur.

Aku menggeleng. "Nggak bisa."

"Ya sudah, Bunda juga nggak bisa kasih."

"Kali ini aja, Bun. Satu kali, UKT-nya nggak besar kok, dua juta buat satu semester, setelah itu aku nggak akan minta kok, dan aku nggak akan tinggal di sini lagi." Aku masih mencoba keberuntungan membujuk. Namun, sesaat kemudian aku terperanjat saat Bunda sedikit membanting sendok di atas meja. "Kamu datang cuma kalau butuh uang ya, Kak?"

Aku buru-buru menggeleng. "Bukan, bukan begitu, Bun. Bunda pasti tahu keuanganku. Aku baru lulus dan belum bisa bayar UKT. Buat harian, nanti aku nggak akan minta Bunda kok.."

"Nah, Kan? Sekarang kamu tahu sulitnya mencari uang di luar sana," tembak Bunda yang justru senjata makan tuan. Aku meremas tangan kuat-kuat untuk tidak menuruti emosi.

"Tapi Bun, Meminta biaya untuk pendidikan itu kan hak aku dan jadi salah satu kewajiban orang tua, kan? Apalagi kalau orangtua masih mampu. Jujur, Bun, kali ini... aku butuh Bunda," pintaku mencoba lebih lunak.

Kisah Issa & SangkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang