Sepanjang hidup, aku meyakini jika setiap orang selalu punya alasan bahagia, tertawa, dan sedih. Saat mendengar lelucon di stand-up comedy misalnya, kita bisa langsung terbahak sampai memukul-mukul paha atau bertepuk tangan berulang kali meski nantinya bisa kehabisan tenaga karena capek. Saat menonton film atau beberapa potongan video sedih di media sosial, tahu-tahu sudah ikut menangis sampai sesenggukan, Sekalian memberi komentar siapa yang naroh bawang sekilo di sini? Atau... kalau aku, saat Tante pulang kerja membawa satai kambing, hari itu juga aku bahagia sekali karena bisa makan enak. Namun, kenapa saat Juan bilang, "Sa, ayo putus." Aku tidak memiliki reaksi selain berbalik bertanya padanya.
"Putus?"
Di teras rumah selepas hujan yang baru saja reda, bahkan aroma basahnya yang sudah bercampur dengan aspal dan tanah pekarangan masih tercium dan hatiku baru saja hancur. Aku tahu, setiap hubungan memang memiliki ujung, entah karena maut yang memisahkan, entah karena berakhir di pelaminan, atau seperti apa yang Juan katakan barusan; putus.
Selama ini, hubungan kami nyaris tidak pernah memiliki masalah, cukup untukku menganggap Juan selalu menyayangiku, bahkan berpikir untuk berpisah pun tidak terbesit. Namun, hari ini, Juan ingin kami berakhir.
Dia mengangguk seakan ingin meyakinkan pendengaranku tidak salah. "Iya. Putus, Sa," ulang Juan sebelum mengusap ujung kaus putihnya.
"Kenapa tiba-tiba minta putus?"
Ini bukan adegan slow motion, tetapi waktu terasa Lebih lambat. Aku bisa melihat angin sore yang menerbangkan beberapa helai anak rambut Juan yang lembut itu. Aku mencoba menyelami dua bola mata hitam legam Juan, tetapi tidak ada jawaban yang bisa aku tebak selain tatapannya yang mulai meredup. Langit yang cerah bisa mendung. Sepatu putih yang setiap hari minggu aku cuci juga bisa kotor. Warna bajuku yang cerah tiap tahun bisa luntur. Apa perasaan Juan juga begitu?
"Nggak apa-apa, Sa." Sesaat Juan diam menunduk. Padahal, di ubin tidak ada yang menarik selain beberapa ekor semut yang berjalan. Lagi pula, seisi dunia nyaris tahu jika kalimat 'Nggak apa-apa' menyimpan ribuan alasan. Mungkin itu luka, mungkin juga kecewa.
"Oke. Jika itu yang kamu mau." Aku akhirnya memutuskan mengiyakan.
"Itulah!" Suara Juan tiba-tiba lebih melengking. Tatapan matanya padaku bahkan berubah tajam. "Kamu dan hal yang nggak pernah aku pahami, Sa."
Apa katanya barusan? Aku dan hal yang nggak pernah dia pahami?
Juan terlihat diam sesaat, aku belum ingin menyela karena sepertinya dia masih ingin bicara.
"Aku capek. Aku ngerasa nggak pernah kamu anggap pacar. Kamu sadar nggak, sih?"
Aku mengernyit. "Maksud kamu?" Bagian mana yang aku tidak menganggap Juan sebagai pacar? Kami pacaran sambil motoran lalu biasa mampir beli jajanan jalanan. Selain Juan yang menyempatkan main ke rumah dan mengobrol dengan Tante juga, aku juga beberapa kali main ke rumah Juan dan mengobrol dengan keluarganya yang hangat.
"Kita nggak cocok, Sa." Ucapan Juan membuat aku mengernyitkan kening.
Sebuah hubungan akan dianggap tidak cocok saat sering bertengkar, sering tidak bertemu, dan sering menyalahkan, tetapi hubungan kami baik-baik saja. Lantas, bagian mana yang menggambarkan jika kami tidak cocok?
"Kamu nggak pernah cerita soal masalah kamu ke aku. Itu bikin aku merasa kalau kita bukan kayak sepasang kekasih, Sa, tapi sebatas teman yang tiap hari bareng aja. Nggak ada bedanya, kan? Kalau lebih dari teman, aku ngerasa jadi ayah kamu yang harus memperlakukan kamu kayak anak kecil kalau lagi ngambek. Kalau nggak gitu, kamu pasti cuma diem dan tahu-tahu menghilang. Susah aku hubungin. lalu, tiba-tiba dateng seakan nggak pernah terjadi apa pun."
"Tap–"
"Nggak ada tapi-tapian, Sa," potong Juan membuatku membeku.
Gerak-gerik Juan terlihat gelisah, dia beberapa kali mengusap wajahnya dan mendesah seakan ingin membuang seluruh sesak dadanya, sementara dadaku tidak kalah sesak.
"Aku tuh mau jadi pacar kamu, bukan ayah kamu, Sa." Dan saat itulah aku menyadari jika Juan seakan sedang menahan amarah sebelum satu kalimat yang kembali meluncur membuat dadaku semakin sesak.
"Aku... nggak pernah kenal kamu, Sa." Suara Juan kali ini lebih lembut, tetapi rasanya jauh lebih menyakitkan.
Dia menggeleng tegas. "Nggak pernah," tekannya.
Juan tidak pernah mengenalku dan aku mengaminkan, tidak juga memiliki cara membantah ucapan Juan barusan. Hidupku rumit dan itu bukan hal yang perlu aku ceritakan, apalagi perihal keluarga. Meskipun aku sudah bercerita seputar sekolah juga teman-temanku, tetapi sepertinya itu tidak cukup untuk Juan.
"Setiap hubungan seharusnya saling mengenal kan, Sa? Tapi, aku nggak kenal kamu. Aku pikir, kita nggak bisa lagi bareng-bareng."
Aku masih diam dengan isi kepala lebih kalut, karena aku memang tidak memiliki pembelaan apa pun untuk hal yang mungkin sering kali mengusik Juan.
"Aku senang pernah jadi pacar kamu, Sa. Senang sekali. Tapi, kita nggak bisa lanjut, Sa," ucapnya lirih bersamaan dengan setetes air mata yang melewati garis pipinya. Aku melihatnya. Hatiku sakit, tetapi aku tidak memiliki alasan cukup kuat untuk membenci Juan. Perpisahan kami bahkan sempat membuat Juan menangis, aku pun juga.
Aku menatap Juan yang mungkin untuk terakhir kalinya, mencoba merekam perpisahan kami, tetapi yang teringat justru serpihan-serpihan kebersamaan yang membekas. Juan orang yang baik, dia yang mengisi kisah cinta masa SMA-ku yang penuh warna.
Tidak lama, Juan berdiri sehingga aku sedikit panik. Dia belum mengisi perut dengan camilan.
"Aku pulang, Sa," pamitnya tiba-tiba dengan wajah yang lebih tenang, Juan bahkan sempat mengulas senyum. Sedangkan tubuhku justru membeku. Camilan setoples kacang asin dan beberapa potong brownies kukus yang aku siapkan untuk Juan bahkan belum dia sentuh, tetapi derap langkah kaki Juan yang menjauh terdengar sangat tegas seperti genderang di telingaku. Embusan angin selepas hujan yang seharusnya dingin itu justru terasa panas di tubuhku. Panasnya bahkan menjalar hingga membuat dadaku kembali terasa sesak dan rasa sakitnya akhirnya hanya bisa terlampiaskan melalui air mata yang luruh. Aku menangisi Juan untuk pertama kalinya sejak 14 bulan hubungan kami. []
Catatan Issa:
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Issa & Sangkara
DiversosIssa merasa selalu terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Patah hati, keluarga yang berantakan, dan pertemanan yang selalu gagal. Hingga, Issa mencoba mengambil keputusan besar untuk memulai hidup baru dengan cara merantau ke kota lain. Na...