bab 5 (Alasan diluar Nurul)

273 7 0
                                    

Jadi gitu ceritanya, Om Bas belum mau apa-apain aku gara-gara masih kebayang terus sama masa kecilku. Kalau sepuluh tahun lalu tahu, bahwa dia akan jadi suami di masa mendatang, pasti aku bakalan rajin mandi, gak mainan tanah dan petakilan. Biar yang diingat adalah Sisy yang cantik, manis, imut dan menggoda.

Intinya, dia masih kesulitan menganggapku sebagai istri. Di matanya, aku tetaplah bocah ingusan yang belum tumbuh dewasa. Padahal sebagai wanita, fisikku sudah ideal, kok. Gak kalah sama supermodel atau finalis kontes kecantikan. Masa iya gak ada keinginan buat nyicipin dikit gitu. Belum juga tahu gimana rasanya.

"Astaga, Bas. Jadi selama ini kamu belum--" Mama menyatukan dua jari telunjuk kanan dan kiri isyarat anu.

"Iya, Ma. Gimana cara mengatasinya ya, Ma?" Om Bas menghela napas sambil mikir.

Apa selama ini dia juga tersiksa gak bisa mengatasi sugestinya sendiri? Secara kasat mata aku cukup dewasa dan menarik. Namun, bagi Om Bas berbeda, yang dilihatnya adalah sosok Sisy kecil sepuluh tahun lalu. Jangan-jangan, ini adalah penyakit psikologis terbaru.

"Mama juga gak tahu, Bas. Ada-ada saja kamu ini. Kalau begini terus, mama bakalan tambah lama nimang cucu." Mertua saja ikutan pusing, apalagi aku.

"Bas ke kamar dulu, Ma!"

Gawat! Cepat-cepat aku lari dan melompat ke ranjang pura-pura tidur, kasih nada ngorok  biar meyakinkan.

Dari derap langkah yang kudengar, Om Bas seperti meletakkan sesuatu di meja laci, mungkin laptop tadi. Setelah itu ranjang sedikit berguncang karena salah satu empunya sudah berbaring dekatku. Aku membuka mata sedikit, mengintip apa yang dia lakukan sekarang. Lampu temaram memudahkanku mengamati tanpa takut ketahuan.

Om Bas melamun menatap awang-awang. Gak tahu di situ ada siapa, kok betah banget dilihatin. Coba nengok kanan, pasti nemu bidadari.

Ebuset! Tanpa kasih tahu, dia nengok beneran. Untung mata langsung terkatup otomatis. Wah, gak bisa ngintip lagi ini. Namun, gak lama ada sesuatu yang menutupi setengah tubuhku. Ada yang hangat, tapi bukan lingkaran lengannya, melainkan selimut tebal. Bukannya dibuka malah ditutup, padahal gak bakalan dilalerin juga biar polosan.

Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu takluk, Kisanak?

***

[Om, aku boleh jalan sama temenku, gak?]

Tanyaku melalui chat WA.

'Teman yang mana? Memangnya di sini kamu punya teman?'

[Teman dari Malang juga, teman SMA]

'Perempuan atau laki-laki?'

[Ibuk-ibuk]

'Oke, tapi ingat waktu.'

[Iya]

Setelah semingguan terkurung sepi di Surabaya, akhirnya bisa jalan-jalan juga. Om Bas sibuk melulu, Mama cuma dua hari menginap setelah itu pulang. Untung ada Amel yang sekarang sibuk jadi wanita karier. Menekuni bisnis konveksi kecil-kecilan, tetapi sudah kelihatan prospeknya.

Seminggu sekali, Amel hunting kain di pasar Atom sekaligus refreshing. Biasanya akhir pekan malah warga Surabaya yang ngadem ke Malang. Ini si Amel malah kebalikannya.

"Wih, sekarang kamu keren ya, Mel. Kemana-mana setir mobil sendiri." Aku kagum sama keahlian Amel yang sudah lihai bawa mobil.

Di antara genk gesrek, bisa dibilang Amel yang paling dekat denganku. Banyak kesamaan yang bikin kita makin klop, termasuk pecinta Om-om. Dia berubah jadi elegan dan memesona begini karena berhasil gaet Om duda pengusaha furniture.

DITOLAK OM-OMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang