bab 8

232 5 3
                                    

Beberapa pasang mata lihatin aku sama Om Bas gandengan tangan. Aku bisa menangkap ada jiwa-jiwa jomblo di sana. Kasihan ... semoga aja gak sampai berliuran kepingin kaya kita ini--pasangan paling uwuw dan dicintai emak-emak wp.

"Om, mau itu, dong!"

Aku menunjuk mas-mas penjual aneka pentol alias bakso tanpa kuah. Namun, khusus jajanan satu ini campuran tepungnya lebih dominan ketimbang daging sapi atau ayamnya. Gak kaya yang di bakso-bakso kuah pada umumnya.

"Ya sudah beli sana, saya tunggu di sini." Om Bas duduk di bangku berkapasitas dua orang.

"Uangnya mana?" Aku menengadahkan telapak tangan.

Om Bas menoleh kanan kiri, mungkin malu dengan tingkahku yang kaya anak kecil minta duit jajan sama bapaknya. Oh iya, aku kan lagi belajar jadi dewasa. Belum ada sehari sudah lupa. Buru-buru kutarik lagi tangan yang terlanjur terulur.

"Nih!" Om Bas menarik selembar uang berwarna biru dari dompetnya.

Gerobak Mas Pentol mulai sepi antrean karena matahari sudah mulai meninggi. Aku lebih leluasa memilih varian rasa yang lama kurindukan. Pentol mercon, cumi, jamur, udang, ayam dan telur puyuh masuk dalam list pesanan. Daripada penasaran, lebih baik dicoba semua. Gak tahu Om Bas suka rasa apa, yang pasti bukan rasa yang pernah ada.

"Nih, punya Om."

Aku menyodorkan bungkusan plastik miliknya. Tanpa saos, sambel atau kecap. Kalau pentol aja sukanya yang polosan. Terus kapan gantian Sisy yang dipolosin? Eh, lupa lagi kalau masih berada di mode sabar.

Khusus punyaku gak perlu pakai tusukan bambu. Cukup diikat plastiknya, terus digigit sedikit di salah satu ujung plastik. Ya, untuk urusan perpentolan, aku berada di kubu tim kenyot. Gak suka pakai tusukan, sensasinya beda.

Om Bas melirik aneh, tepatnya geli.  Jangan-jangan teringat lagi dengan kebiasaanku dari kecil ini. Oh iya, jaman dulu kan sering palakin Om Jatmiko suruh beliin es krim dung-dung yang suka lewat depan rumah eyang. Kalau esnya mulai meleleh ke tangan suka kujilat-jilatin. Mubadzir kalau kebuang.

"Ngapain Om lihatin aku sampai segitunya? Terpesona?"

"Geli."

Tuh, kan, bener. Padahal di dunia ini gak cuma aku aja yang makan pentol model gini.

"Enak tauk."

"Eh, apa ini? Kok tiba-tiba lidah saya jadi kaya kebakar." Om Bas membuang kunyahan makanan di mulutnya. Aku ngakak.

Sukurin! Kena prank pentol mercon yang isinya cabe utuh. Anggap itu hukuman kecil karena Om Bas gantungin aku melulu. Eh, apa hubungannya?

Lagipula jadi orang sok steril dan higienis banget. Akhirnya ikut merasakan juga kan gimana nikmatnya menyeruput es plastik pakai sedotan. Cuma itu penjaja minuman terdekat, sedangkan Om Bas udah gak kuat nahan pedes. Kalau pedes aja gak kuat nahan, terus kapan gak tahan ngajak Sisy anuan? Astaghfirullah, ke situ lagi. Mode sabarmu ke mana, Sy?

Pokoknya hari ini hepi banget bisa nostalgia mengenang jalan-jalan dan kulineran kaya jaman SD dulu.

Puas bikin kaki pegal-pegal di taman. Kita gak langsung pulang, tapi mampir ke Royal plaza dulu buat hunting barang. Entah apa yang ingin dibeli Om Bas.

Gak kaya di taman tadi, kali ini tanganku gak digandeng lagi. Langkah panjangnya bikin aku kesusahan mengimbangi. Pas hampir bertabrakan sama orang, aku mulai ketinggalan jauh. Tepatnya ditinggal dan gak ditoleh-toleh lagi. Mikirin apa, sih, sampai kelupaan istri sendiri.

Kesal, kutinggal duduk-duduk saja di kursi-kursi yang tersedia untuk beristirahat. Diabaikan itu ternyata lebih nyesek ketimbang mau bersin tapi gak jadi. Mau nangis takut dikira anak kecil yang terpisah dari ibunya di keramaian. Namun rasanya kurang lebih sama. Sedih.

DITOLAK OM-OMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang