#1

623 58 1
                                    

Aku kaget mendengar suara ayam yang melengking dari luar kosan. Aku merasa ada yang mengganjal di bawah badanku, aku duduk dan baru tersadar kalau semalaman aku tertidur dengan buku yang tertindih oleh tubuhku. Aku mengambil buku itu, menaruhnya di rak buku.

Aku meraih handuk yang tergantung di belakang pintu, beranjak ke kamar mandi. Selesai mandi, aku menarik kemeja putih dari tumpukan baju di dalam lemariku, lalu memakainya.

Aku berdiri di depan cermin, cermin yang sengaja kubeli dengan ukuran yang kurang lebih sama tingginya dengan tinggiku.

Aku merasa keren memakai kemeja putih yang dipadukan celana hitam seperti ini. Aku tersenyum sambil mengikat rambut panjangku. Tidak lupa, sedikit kuberi warna pada bibirku agar tidak terlihat pucat.

Setelah memoles wajahku, aku berjalan beberapa langkah untuk mengambil jas almamater, dan membalutkannya di atas kemeja putihku. Aku bercermin kembali, memastikan tidak ada yang kurang, penampilanku sempurna!

Namun, beberapa detik kemudian, senyumku jatuh. Mata sembabku tidak tersamarkan meski aku memakai kacamata.

Aku mengingat obrolan dengan ibuku melalui telepon, di malam yang sudah larut. Ibuku bercerita, kesan yang ia rasakan selama bekerja di bawah tekanan seorang majikan di luar kota. Ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga. Setiap hari, ibuku harus mendengar bentakan dan menerima sikap kurang ajar dari majikannya.

Hatiku teriris mendengar itu, aku meminta ibuku berhenti bekerja dan mengatakan biar aku yang bekerja serta memenuhi kebutuhan rumah. Tetapi, ibuku menolak, bersikeras akan tetap bekerja. Ibu tidak ingin belajarku terganggu oleh pekerjaan. Ibu berpesan, pesan yang selalu disampaikan setiap kami mengobrol di telepon;

Kamu fokus belajar aja, nggak usah mikirin kerja dulu, biar ibu yang berusaha. Kamu harus semangat belajar supaya cita-cita kamu tercapai.

Selesai bercerita itu, ibu melanjutkan bahasan, kali ini membuat air mataku mengalir lebih deras. Ibu bilang kalau ia sudah mengurus dokumen persyaratan untuk bekerja ke luar negeri, setelah kontrak pada pekerjaan sekarang habis bulan ini. Itu artinya hanya beberapa hari lagi ibu akan terbang lebih jauh.

Aku ingin menahan, tidak perlu sebegitunya ibu berusaha untuk mimpiku. Tetapi, lagi-lagi ibu menenangkanku dengan kata-kata andalannya

"Nggak apa-apa, ibu senang bekerja kok."

Aku memejamkan mata sambil menarik napas dalam, lalu membuangnya pelan. Kupaksa bibirku tersenyum, aku harus memastikan raga dan jiwaku baik-baik saja di tempat magangku.

Hari ini memasuki hari ke-tujuh aku menjalani kegiatan magang di salah satu kantor kedinasan di kota ini, aku menjabat di bidang data analisis, sesuai dengan program studi yang kutempuh. Walaupun aku selalu mengeluh dengan tugas-tugas seabrek dari dosen, aku sangat mencintai jurusanku, aku juga menyukai posisi magangku ini. Aku sangat berharap, suatu hari nanti aku bisa kembali ke tempat yang sama, bukan sebagai mahasiswa magang tapi sebagai pegawai.

Sejak kecil, aku suka melihat tetanggaku berangkat kerja menggunakan seragam pegawai negeri. Dulu, aku mengira, itu seragam pramuka karena warnanya sama dengan seragam yang biasa kupakai di sekolah setiap hari Jumat dan Sabtu. Biasanya, setelah tetanggaku meluncur dengan mobil meninggalkan pekarangan rumahnya, aku langsung berlari memeluk ayah dan berkata aku ingin seperti tetanggaku. Dia keren! Kemudian ayah, mencium pipiku berulang kali dan membalas ucapanku,

"Kamu pasti bisa kaya dia, bahkan bisa lebih, ayah akan kerja keras agar bisa lihat anak ayah pake seragam kaya Om Ardi, ya."

Iya, nama tetangga yang kukagumi setiap pagi itu, Om Ardi. Beliau teman seangkatan ayahku, tapi mereka berdua memiliki nasib yang berbeda. Ayahku bekerja sebagai buruh harian yang upahnya hanya mencukupi makan kami sehari-hari.

Aku selalu protes kalau ayah pulang larut malam, aku marah karena aku tidak tega melihat ayah memasuki rumah dengan kelelahan menyelimuti wajahnya. Tapi, ayahku selalu membalas omelanku dengan senyuman sambil mengelus kepalaku.

Sampai akhirnya, tubuh ayahku tidak mampu lagi menerima rasa lelah. Dia menyerah. Dia pergi sebelum melihatku memakai pakaian seragam seperti Om Ardi. Aku sangat terpukul, duniaku seakan hancur.

Kepergian ayah, meninggalkan luka dalam pada keluarga kecil kami. Tanpa ayah, rumah kami hanya terisi oleh dua manusia. Aku dan ibuku. Demi melanjutkan hidup, ibuku harus bekerja dari subuh sampai malam. Sebenarnya, aku sudah berniat untuk langsung bekerja seusai lulus SMA. Tapi, ibuku melarang aku bekerja. Aku harus kuliah, katanya.

Aku berpamitan kepada ibu, meminta restu atas perjalananku. Aku merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke universitas. Aku berhasil memasuki kampus impian melalui tes tulis. Sayangnya, aku tidak mendapat beasiswa. Aku ingin mundur tapi ibuku selalu mendorong untuk terus maju. Hingga, di tahun ke dua, aku menjual ponsel peninggalan ayahku karena aku harus beli buku. Karena ini juga, aku bertemu Kak Sisca. Awal dari kisah cinta pertama dalam hidupku.

Aku tidak ingin berbagi terlalu panjang tentang kisah cintaku bersamanya.

Setelah hubunganku dengan Kak Sisca berakhir, aku memutuskan untuk kembali ngekos di kosan yang pernah kutempati.

Aku tidak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya, kita benar-benar tidak ada komunikasi setelah aku meninggalkan apartemen. Tetapi, aku sempat datang di hari wisudanya. Aku berniat menemuinya dan meminta maaf. Tapi, niat itu aku urungkan.

Aku sudah kalah, aku melihat dia menggandeng tangan lelaki, sepertinya itu lelaki yang suaranya kudengar di telepon waktu itu. Dia bahagia, dia tertawa lepas bersama lelaki itu.

Aku berbalik badan, menarik seseorang yang tak kukenali dan memberinya buket bunga yang sebelumnya akan aku persiapkan untuk Kak Sisca.

Huf!

Aku mengambil tas, mengingat yang sudah terjadi hanya membuat hatiku kembali berkeping, walau sampai saat ini, utuhnya hatiku belum benar-benar menyatu sempurna.

PERJALANANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang