'Kepada rindu aku sampaikan, kepada angin aku riuh, kepada luka aku merengkuh, kepada siapa aku pulang? Jika rindu yang telah sampai semakin membuatku riuh pada luka yang kurengkuh sendiri'
-Salma Abdurrahman-
***
"Kamu!"
Gadis itu berhenti, tatkala mendengar teriakkan yang membuatnya muak. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan segala rasa yang membuat dadanya semakin sesak.
"Hmm?" Ia memutar tubuhnya, mata indah tersebut menatap nyalang penuh kebencian pada sang empu. Dengan gestur acuh, Salma berusaha bersikap sopan pada lelaki paruh baya yang disebut sebagai Abah.
Abdurrahman memajukan langkahnya semakin dekat dengan putri semata wayangnya. Matanya penuh kemarahan, tangan keriput tersebut mengepal kuat, seperti menahan sesuatu yang tak seharusnya ia layangkan ke putrinya.
Gadis itu tak gentar sedikitpun, ia malah semakin menantang sang empu dengan mencondongkan tubuhnya ke depan. Membuat Abdurrahman semakin geram dengan tingkah Salma.
"Kali ini! Kamu benar-benar keterlaluan Salma!" teriaknya dengan menekankan setiap kalimat. "Okey? Hanya karena wanita itu Abah bertindak seperti ini, oh begitu. Baiklah," lanjut Salma dengan nada mengejek. Ia berlalu meninggalkan Abdurrahman yang masih bergeming menatap kepergian dirinya.
Segala cacian makian Salma ucapkan, hanya untuk meredamkan amarah yang semakin membuatnya gila. Apalah daya, dirinya tidak berani mengatakannya langsung di depan sang Abah.
Salma Abdurrahman, sebuah nama yang indah dengan maknanya. Sal-- diambil dari nama depan ibunya--Salwa. Sedangkan, Ma--diambil dari nama depan abahnya--Ma' Tukidi Abdurrahman. Begitupun nama terakhirnya, Abdurrahman yang sama dengan nama belakang abahnya.
Gadis berkulit kuning langsat dengan tinggi semampai, membuat tubuhnya terlihat jangkung. Matanya berwarna cokelat terang, dengan alis tebal serta bulu mata yang lentik, seperti perawakan gadis Arab. Hanya saja hidungnya sedikit bangir. Bibirnya mungil dan tipis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana dengan wajah manisnya.
"B*ngsaaaaaaaat!!"
Semua mata kini tertuju padanya. Bagaimana tidak? Salma meluapkan emosinya di taman, walaupun sudah sangat larut malam. Namun, segelintir orang masih berlalu-lalang untuk mencari angin segar, sama halnya dengan Salma. Gadis aneh yang mengumpat dengan nada tinggi di tempat umum pada jam sebelas malam!? Sangat aneh memang.
Salma berusaha menahan malu. Namun, amarahnya lebih besar dari urat malu. Untuk saat ini gadis dengan pribadi yang dikenal pemalu tersebut, mengeluarkan sisi lainnya. Gadis berusia tujuh belas tersebut merapikan anakan rambut yang mulai menutupi wajah manisnya.
Diam-diam seseorang nan jauh dari tempatnya berdiri, memandang Salma dengan senyuman licik. Seakan puas dengan apa yang menimpa gadis malang tersebut.
Tangisnya pecah, ia memukul dadanya yang semakin sesak. Namun, kali ini urat malunya telah terkoneksi kembali, gadis itu memilih meluapkan emosinya di rumah pohon. Rumah pohon yang tak jauh dari lingkungan rumahnya. Rumah tersebut berdiri di tanah milik keluarganya. Maka dari itu lingkungan rumah pohonnya menjadi privasi untuknya.
Untuk kesekian kalinya. Beberapa goresan mulai menghiasi pergelangan tangannya. Untuk kesekian kalinya, ia benar-benar tak kuat dan kesekian kalinya ia berusaha melampiaskan rasa sakit dihatinya dengan membuat goresan tersebut.
Salma duduk tak berdaya, tatapannya kosong melihat foto keluarganya. Tujuh tahun lalu. Ia adalah anak yang paling bahagia. Keluarganya, nyaris sempurna. Hidup berkecukupan, dan juga ibu yang selalu ada disampingnya. Namun, semua berubah. Tatkala Tuhan mengambil milik-Nya kembali.
Hancur. Tak bersisa. Cintanya pergi, begitupun dengan sang Abah. Seseorang yang menjadi harapan terakhirnya untuk bangkit kembali.
"Aku harus apa ma! Aku harus apa?!" Salma menjambak rambutnya dengan frustasi. Ia benar-benar tak mengharapkan pertengkaran dengan sang Abah selalu terjadi hanya karena perempuan lain.
"Apa aku harus melakukan ini! Hah?!" Tangannya menekankan pisau kecil ke pergelangan tangannya cukup dalam. "Hah?! Aku harus begini?! Lagi!" ucapnya sambil menggoreskan pergelangan tangannya di tempat yang lain. Yang tidak ada luka.
Lelah. Ia sangat lelah.
"Aku harus kemana ma?" lirihnya dengan tak berdaya. Salma melepaskan pisau kecil dari genggamannya. Perlahan ia mulai menatap iba pada luka yang ia ciptakan sendiri. Dengan cepat Salma mengambil kain lalu mengikatnya dengan kuat untuk menghentikan darah yang mengalir cukup deras.
Kali ini ia puas. Lega dengan rasa sakit di tangannya. Perlahan, gadis kemayu tersebut mulai menutup matanya. Ia sangat ngantuk. Tapi kali ini rasanya berbeda. Raganya seolah terasa ringan dan tak berdaya. Ia tak kuat.
"Salma!"
Bersambung ....
🌵🌵🌵
Hai Guys!
Bismillah Ini cerita pertama di tahun 2024. Kenalin yuk sama aku.
Tak kenal maka tak sayang. Sudah kenalan dengan Salma kan? Sekarang sama pengarangnya yah. Heheh. 🌵🤎Nama penaku, Putu bambu, biasa dipanggil nda. Tapi kalau kalian mau panggil putu juga bolehh.
Insyaallah cerita ini akan update setiap hari. Jadi stay tune yaaaa!Oh iyah boleh kasih kritik dan saran, tapi yang membangun yah. Hehe.
Salam hangat
🌵Putu bambu🌵
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu
Teen Fiction"Salma! Jangan!" Gadis berambut panjang tersebut berdiri menatap nyalang sang empu. Ia mengambil pisau yang tak jauh dari tempatnya berdiri. "Abah, mau aku cepat-cepat mati kan?!" Tangannya menempelkan mata pisau ke nadinya. Abdurrahman menangis...