"Salma!"
Setengah sadar, Salma mencoba membuka matanya yang lelah. Entahlah rasanya ia baru saja bangun dari masalah.
Tangannya dengan lemah memijit keningnya yang rasanya seperti dihantam balok berukuran sedang. "Gue di mana?" lirihnya pelan. Salma mengedarkan pandangannya, dengan pelan gadis itu mengumpulkan sisa tenaga untuk mengubah posisinya.
"Astaga, lagi?"bisiknya setengah kesal ketika melihat selang infus melingkar di tangan kirinya.
"Akhirnya sadar juga!" Salma melihat ke arah sumber suara. Cempaka, gadis berambut sebahu dengan stelan hoddie dan celana tidur itu menatap Sahabatnya dengan perasaan lega, setelah satu harian tak kunjung sadar.
Salma mengerutkan keningnya dengan penuh tanya. Seperti mengatakan emang gue kenapa, yaps! Cempaka sudah memahami alur pikiran Salma yang sedikit dangkal darinya. Sebenarnya sih sama saja. Hanya beda kepribadian.
"Lu itu pingsan! Lu masih nanya kenapa?! Bener-bener dah lu. Kalau mau nyakiti diri sendiri, mending cari aman aja. Pilih opsi yang gak nyakiti diri lu! Opsi yang lebih cepat, saran gue sih pake tali aja sekalian!" hardik Cempaka dengan penekanan intonasi di akhir kalimat.
Gadis imut dengan tinggi 152 cm tersebut sangat kesal dengan tingkah sahabat karibnya yang diluar ramalan cuaca BMKG. Bagaimana tidak? Cempaka sudah habis-habisan menasehati sang empu. Namun, hanya didengar untuk kurun waktu empat puluh delapan jam! Bayangkan! Bayangkan bagaimana kesalnya Cempaka menasehati Salma layaknya episode sinetron India yang mempunyai seribu lebih episode.
Cempaka kembali bersuara, "Sal, dengerin yah. Gue gak capek buat nasehatin lu, tapi gue lebih capek lagi kalau lu gak menghargai gue sebagai sahabat lu. Jangan buat gue kecewa lagi dengan tindakan konyol lu ini. " Cempaka menatap mata Salma, tatapan penuh kekhawatiran Salma bisa melihatnya dari mata bening milik Cempaka. Detik berikutnya, gadis tersebut menarik sahabatnya dalam pelukannya.
Lamat-lamat gadis berambut ikal tersebut mendengar isakan tangis yang semakin terdengar jelas. Salma menahan tawa. "Lu bisa-bisanya ketawa pas gue nangisin lu!" cebik Cempaka dengan kesal.
Merasa ada yang tidak beres dengan tingkah laku Salma, dengan cepat gadis itu menarik diri dan bergegas merapikan poninya dengan gaya centil.
Entahlah, Salma juga bingung bagaimana bisa Cempaka menjadi sahabatnya. Bahkan ketika mereka di kelas satu, Salma sangat tidak menyukai Cempaka yang terlihat caper atau apapun itu. Begitupun Cempaka yang menganggap Salma sok menjaga jarak dari teman sekelasnya. Aneh kan? Salma tidak sombong hanya saja ia terlalu kaku untuk berkomunikasi ataupun berbaur dengan orang lain. Hanya segelintir orang yang memahami bagaimana Salma sebenarnya.
"Lu, kuat bopong gue ke klinik?"
Bukannya menjawab, sang empu hanya tersenyum konyol. Gadis tersebut memicingkan matanya penuh curiga pada Cempaka, yang hanya cengengesan tak jelas. Cempaka yang melihat gestur tubuh sahabatnya menjadi tak nyaman, ia menggaruk-garuk belakang kepalanya, seolah bingung harus mengatakan yang sebenarnya. "Yah ... gitu deh."
"Ce," panggil Salma dengan intonasi pelan namun ditekan. "Gue serius."
Cempaka tersenyum lembut dan mengatakan, "Kemarin malam itu, Abah lu telpon gue. Dia khawatir sama lu, jadi gue inisiatif buat nyusul lu ke rumah pohon. Kan biasanya lu selalu di rumah pohon itu, dan kita udah sepakat kan. Bahwa gua boleh masuk ke area privasi lu. " Cempaka menarik napas dalam.
"Selanjutnya?"
"Selanjutnya ...." Cempaka menggantung kalimat berikutnya, membuat Salma menghela napas dalam. Kepalanya sangat berat ketika siuman, dan kini harus menghadapi makhluk ribet yang suka membuat keadaan semakin runyam. Salma kembali menundukkan kepalanya, pandangannya kembali berkunang. Sangat pusing melihat tingkah Cempaka, saat itu juga Salma rasanya ingin menjitak kepala sang empu. Namun, ia sangat lemas saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu
Teen Fiction"Salma! Jangan!" Gadis berambut panjang tersebut berdiri menatap nyalang sang empu. Ia mengambil pisau yang tak jauh dari tempatnya berdiri. "Abah, mau aku cepat-cepat mati kan?!" Tangannya menempelkan mata pisau ke nadinya. Abdurrahman menangis...