Satu tahun kemudian...
"Tapi, Kek, Aca nggak mau pisah sama sahabat-sahabat Aca!" tolak gadis cantik yang kini sudah menginjak umur 16 tahun.
Lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah itu hanya mampu menghela napas berat. Ia tak tahu harus dengan apa lagi agar Cucu kesayangannya itu mau di pindahkan ke pesantren.
"Oke. Kakek kasih kesempatan sampai kamu kelas sebelas, gunain kesempatan itu baik-baik. Jangan sekali-sekali kamu ikut campur urusan Kakek apalagi sampai membunuh mereka yang seharusnya menjadi tugas Kakek," Atmaja, sang Kakek memberi peringatan pada sang Cucu.
Kedua mata Aca berbinar mendengar kesempatan yang diberikan oleh Kakeknya, "serius, Kek? Aca dikasih kesempatan?"
Atmaja mengangguk. "Tapi ingat, kamu harus bisa berubah! Cukup fokus dengan sekolahmu. Kakek akan mengawasimu!"
Aca tersenyum girang, lalu mengangkat tangannya membentuk tanda hormat, "siap Kakek!"
Atmaja beranjak dari duduknya, sebelum melangkah ia menatap Cucunya sejenak, "dan semua koleksimu... Kakek sita."
Duar!
Bagai disambar petir di siang bolong. Mendengar ucapan sang Kakek sebelum melenggang pergi, benar-benar membuat dadanya sesak.
Aca segera beranjak untuk mengejar Atmaja yang kini tengah menaiki anak tangga menuju kamar Cucunya untuk menyita seluruh koleksi sang Cucu. "Kek, sisain satuuuu aja, plis!" pintanya kala ia berhasil meraih lengan sang Kakek.
Atmaja menggeleng, "nggak."
Aca berdecak. "Kakek... Aca mohon... Aca janji nggak akan ikut campur urusan Kakek lagi. Tapi sisain satu ya? Plis Kakek..."
Atmaja tidak mendengarkan permintaan Aca, ia seakan menulikan pendengarannya. Langkahnya terus berjalan hingga kini sudah berada di depan pintu kamar Aca.
Aca terus mengekor di belakang sang Kakek sambil terus-menerus memohon agar koleksinya disisakan satu. Namun, Kakek tidak pernah memperdulikannya.
Atmaja kini sudah berada di dalam kamar Aca. Tanpa pikir panjang, ia langsung berjalan mendekati lemari persegi berwarna hitam yang berada di sudut ruangan.
Kunci lemari itu ternyata menggantung, jadi Atmaja tidak perlu susah-susah untuk meminta kunci pada Cucunya yang sudah pasti tidak akan diberikan.
Aca melebarkan matanya kala melihat kunci yang menggantung di lemari, ia merutuki kebodohan dirinya sendiri, harusnya tadi gue cabut tuh kunci, terus gue umpetin, argh!!! Aca bodoh!
Lemari kini telah dibuka sempurna. Dan Atmaja tidak terkejut dengan isi lemari itu, ia malah menghembuskan napas panjang. Terakhir ia melihat isi lemari ini tidak sampai sebanyak ini. Dan tak disangka, ternyata isinya semakin hari semakin bertambah, bahkan sudah penuh.
Atmaja mengeluarkan ponselnya guna menelepon seseorang.
"Bawakan saya tas yang besar ke kamar Aca!"
Setelah memberi perintah pada seseorang di sebrang telepon, Atmaja langsung mematikan sambungannya.
Tak selang lama kemudian. Seorang lelaki berpakaian serba hitam datang dengan membawa apa yang diperintahkan oleh atasannya itu.
"Ini Tuan tasnya."
Atmaja meraih tas itu lalu menyuruh anak buahnya itu pergi.
Pertama-tama yang ia ambil adalah...
Korek api.
Lalu ia masukkan ke dalam tas berukuran besar itu. Selanjutnya...
Belati, gunting, clurit, golok, kawat, gir motor, obeng, tang, pemotong rumput, dan masih banyak lagi.
Padahal Aca terus memohon, tetapi Atmaja menulikan pendengarannya.
Aca ingin menangis kala kini tangan Kakeknya beralih pada koleksinya yang benar-benar ia sayang, dan hampir setiap hari ia gunakan.
Pisau.
"Kek, plis jangan yang itu... Itu kesayangan Aca, Kek..."
Dari berbagai ukuran, Atmaja mulai memasukkan pisau-pisau itu ke dalam tas yang kini sudah penuh dengan berbagai jenis benda tumpul dan tajam.
Setelah selesai menyita semua koleksi Aca. Atmaja langsung menutup resleting tas itu dengan sedikit kesusahan karena begitu penuh.
Tiba-tiba alisnya bertaut, merasa ada sesuatu yang janggal. "Bawa sini."
"Apanya Kakek?"
"Kakek tau, pisau kecil kesayanganmu masih kamu simpan."
Aca mengusap air matanya yang menetes, "Aca nggak simpan pisau lagi, Kek. B-beneran!"
Atmaja menatap Aca penuh selidik, "kasih ke Kakek, atau Kakek yang cari sendiri?"
Aca mendesah kesal, lalu melangkah mendekati kasurnya. Ia mengangkat bantalnya lalu meraih pisau kecil kesayangannya. Lalu ia serahkan pada sang Kakek.
"Udah, 'kan? Sekarang Kakek bisa keluar dari kamar Aca!" ucapannya sopan namun Atmaja tahu kalau Cucunya itu sedang marah.
Atmaja menenteng tas yang sangat berat itu, lalu mengusap surai Aca. "Nggak usah ngambek, ini demi kebaikan Aca."
Setelah Atmaja keluar dari kamarnya, ia menutup pintu rapat-rapat dan memandangi lemarinya yang kini sudah kosong tak tersisa apapun.
Ia meraih ponselnya lalu menelepon seseorang.
"Halo, Ca?"
"Hua..."
"Eh, eh, lo kenapa nangis?!"
"Ke sini sekarang, hiks... Gue... Hiks... Pokoknya ke sini!!!"
"Iya, iya, ini gue otw."
"Cepetan!"
Tut.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SANTRI OF PSYCHOPATH
Teen Fiction"What!? Gue ke pesantren? Pake hijab? Terus siapa yang mau gue bunuh?!"