"Aca kenapa?" tanya Vania yang sedang mengunyah snack sembari bersandar di sofa markas.
Lelaki yang baru saja menutup telepon dari Aca hanya menggeleng, "gue suruh ke sana."
"Ikut!" sambar Edgar.
"Gue juga ikut!" sahut Bryan tak mau kalah.
Aksa adalah lelaki yang paling normal dari kedua temannya--Edgar dan Bryan--yang selalu bertingkah konyol. Ia menghela napas pasrah, "ya udah ikut semua."
Edgar dan Bryan bersorak riang, sedangkan Vania malah memejamkan matanya setelah meneguk satu gelas air lemon.
"Lo ikut, nggak?" tanya Bryan pada Vania.
"Ntar gue nyusul," jawab Vania cuek.
"Kebiasaan, habis ngemil molor, gendut baru tau rasa!" cibir Edgar sembari memakai jaket kulitnya.
Vania membuka matanya, menatap Edgar dengan tatapan tajam, "besok-besok nggak usah minta snack gue lagi!"
Mendengar itu, Edgar langsung gelagapan, "eh eh! Vania cantik, gue cuma bercanda, kok."
Vania mendengus sebal.
"Ayo, Van," ajak Aksa yang sedari tadi menunggu teman-temannya sedang berdebat tak jelas.
Vania mengangguk lalu beranjak, meraih kontak motornya.
Mereka berempat pun segera melenggang pergi menuju rumah seseorang yang mereka anggap sebagai ratu mereka, yaitu Aca.
*****
"Assalamu'alaikum..." salam Vania dengan suara cemprengnya di depan pintu rumah Aca.
"Wa'alaikumussalam," jawab seorang lelaki paruh baya yang baru saja membuka pintu.
"Kakek," sapa Aksa lalu meraih tangan sang Kakek untuk ia cium tangannya disusul dengan yang lain.
"Aca ada, Kek?" tanya Aksa.
Atmaja mengangguk, "ada di dalam, lagi nangis kayanya."
Keempatnya terkejut, "nangis, Kek? Kenapa?" tanya Vania khawatir.
Atmaja hanya tersenyum, "kalian masuk aja."
"Kakek mau ke mana? Bukannya Kakek masih ambil cuti?" tanya Aksa penasaran karena melihat Atmaja yang sudah berpakaian seragam lengkap.
"Seharusnya sih gitu. Tapi tadi Kakek ada laporan kalo pelaku perampokan bank kabur, dan Kakek harus turun tangan," jawab Atmaja menjelaskan.
Ya. Atmaja adalah seorang polisi yang di mana pangkatnya tertinggi yaitu Jenderal Polisi. Jadi mau tak mau ia harus turun tangan jika anak buahnya tidak bisa menghendel kasus ini.
"Kalo gitu, kami masuk dulu, Kek," pamit Vania yang dibalas anggukkan oleh Atmaja.
Keempatnya langsung menuju kamar Aca tanpa ragu karena sudah biasa mereka ke sini. Mereka berempat sudah seperti saudara karena mereka berteman sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Terutama Aca dan Aksa, pertemanan mereka begitu erat, bahkan mungkin sudah tumbuh perasaan. Namun, mereka memendamnya masing-masing karena tidak mau merusak persahabatan.
"Aca..." panggil Vania pelan sembari melangkah masuk ke dalam kamar Aca.
Aca yang sedang meringkuk di atas lantai pun mendongakkan kepalanya menatap teman-temannya yang datang.
"Lo kenapa?" tanya Vania khawatir.
Aca merentangkan tangannya seakan minta dipeluk. Vania pun mendekat. Namun, niatnya terhenti karena Aca bukan memanggil namanya.
"Aksa..." rengek Aca pada lelaki tampan yang sedari tadi masih berdiri di ambang pintu.
Vania menghembuskan napas kesal. Sudah mau mendekat dan memeluk Aca malah Acanya memanggil nama Aksa. 'Kan Vania malu.
Aksa tersenyum tipis lalu mendekat pada Aca dan memeluk gadis itu. "Kenapa, hm?" tanyanya lembut sembari mengusap surai Aca.
Tangis Aca pecah dalam pelukan Aksa. Inilah yang selalu ia butuhkan di saat dirinya sedang sedih atau terpuruk, pelukan Aksa.
Plak.
"Sakit goblok!" maki Bryan karena Edgar tiba-tiba memukul pipinya.
Edgar hanya menyengir kuda, "'kan, kita nyamuk."
"Ngapain gue yang lo pukul, emang pipi lo kenapa?" tanya Bryan merasa geram sambil mengusap-usap pipinya yang masih terasa panas.
"Kalo ada pipi teman, kenapa enggak?" ujar Edgar sambil cekikikan.
Vania hanya memutar bola matanya malas melihat Bryan dan Edgar yang selalu bertengkar. Ia pun memilih merebahkan tubuhnya di kasur besar nan empuk milik Aca.
"Aca kenapa? Cerita dong sama kita?" tanya Bryan pada Aca yang masih menangis.
Aca mengangkat tangannya menunjuk lemari di sudut ruangan dengan jari telunjuknya. Semuanya pun langsung mengikuti arah tunjuk jari Aca.
Kosong.
Mereka langsung paham. Dan mereka pun terkejut.
"Kosong? Ca?! Ini koleksi-koleksi lo ke mana?" tanya Vania histeris dan langsung beranjak menuju lemari itu.
Bryan dan Edgar pun ikut melangkah menuju lemari. "Ada yang maling, Ca? Siapa, Ca, yang maling? Ayo kita bunuh sekarang!" ucap Bryan bar-bar karena merasa kesal dengan koleksi-koleksi Aca yang menghilang bahkan tidak tersisa satu pun.
Tangis Aca semakin keras, membuat Aksa kelimpungan. Ia pun menatap ketiga temannya nyalang, seakan menyuruh mereka untuk tutup mulut.
"Udah jangan nangis. Cerita pelan-pelan sama gue, ada apa? Hm?" tanya Aksa lembut berusaha untuk menenangkan Aca.
Tangis Aca mulai reda. Lalu ia mengurai pelukannya dengan Aksa.
"Kakek sita semua koleksi gue," Aca mulai bercerita setelah merasa tenang.
Semuanya yang mendengar membulatkan matanya terkejut, "kok bisa?!" tanya Edgar keras.
Aca pun menceritakan kejadian sebenarnya kepada teman-temannya dari awal hingga akhir.
"Jadi... Sekarang kita udah nggak boleh mencari buronan-buronan yang kabur?" tanya Edgar memastikan.
Aca mengangguk lemah, "Kakek suruh kita fokus sama sekolah, kalo nggak gue bakal di pindahin ke pesantren."
"Demi Aca, sekarang kita berhenti untuk ikut campur urusan Kakek Atmaja," final Aksa.
"Yah... Padahal tadi ada laporan kalo perampok bank kabur," ujar Bryan lalu menghela napas lemah.
Vania memelototi Bryan, seharusnya lekaki itu tidak memberi tahu Aca tentang kaburnya perampok bank. Jiwa psycopath Aca pasti berkobar.
Bryan pun langsung menipiskan bibirnya karena merasa salah berucap. Ia merutuki dirinya sendiri.
"Tuh, 'kan! Sekarang gimana? Gue pengen cari itu perampok!" rengek Aca.
"Ca, udah ya? Jangan berurusan lagi sama hal-hal kaya gitu," ucap Aksa berusaha membujuk Aca.
Aca hanya menghela napas pasrah. Ia tak yakin akan baik-baik saja jika tidak ikut campur dengan urusan Kakeknya.
☠︎☠︎☠︎
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SANTRI OF PSYCHOPATH
Fiksi Remaja"What!? Gue ke pesantren? Pake hijab? Terus siapa yang mau gue bunuh?!"