3

24.8K 375 27
                                    

Pagi ini, Jessi sudah merasa sangat-sangat sehat, tubuhnya juga segar bugar dan kuat kembali. Tapi... Halim Perdana Kusuma, kembaran bandara itu melarangnya masuk ke kantor. Lelaki itu hanya memerbolehkan Jessi melakukan 2 hal, makan dan tidur. Tidak ada aktifitas berat, bahkan haram hukumnya bagi Jessi untuk keluar kamar.

Jangan bertanya kenapa? Karna Halim itu gila, sangat gila, dan gila bangeet.

Padahal, Jessi sudah merasa lebih baik sejak tiga hari kemarin, tapi Halim tetap menganggapnya sakit. Bahkan tidak hanya sakit, melainkan jompo sekarat, yang mana semua kegiatannya harus dibantu.

Merasa tidak ingin mati bosan, Jessi menghubungi Andri,  mengajak untuk pergi jalan-jalan. Tidak mungkin dia meminta Vanya, mengingat karibnya itu sudah menikah. Apalagi Vanya menikah dengan Kakanya, yang mana sahabat dekat dari Halim, sudah pasti Ibra akan melapor nantinya. Sekarang yang Jessi butuhkan adalah menghirup udara bebas, sebelum Halim kembali sore nanti.

Sejak Jessi sakit, Halim memang tinggal bersama Jessi. Tidak, lelaki itu memaksa tinggal. Katanya agar ada yang menjaganya, alih-alih menyuruh Jessi pulang ke rumah orang tuanya.

Kesempatan dalam keheningan.

Halim juga memaksa tidur seranjang dengan Jessi, lelaki itu menolak di tempatkan di kamar tamu. Dengan alasan yang sama, menjaga, padahal Jessi tau jika itu hanya akal-akalan lelaki itu saja.

"Pawang lo nggak marah?" tanya Andri setelah mendudukkan diri. Dia cukup kaget saat Jessi menghubunginya tadi, di tambah perempuan itu mengajaknya keluar ke sebuah bar. Suntuk katanya. Padahal Andri tahu, Halim tidak mungkin membiarkan Jessi masuk ke tempat yang penuh minuman beralkohol itu setelah kejadian Vanya dan Ibra.

"Males banget gue bahas dia." saut Jessi dengan menengguk minuman kesukaanya. Matanya mengedar, menatap sekeliling yang terlihat lumayan ramai walapun hari masih siang.

"Kenapa lagi, sih? Lagian tinggal nikah apa susahnya."

"Kuping lo jadi sendalnya Aladin, ngaca kalau ngomong!"

"Kasus gue beda." sanggah Andri. Sebenarnya dia dan Jessi bernasip sama, sama sama di jodohkan. Bedanya Jessi dengan laki laki yang sudah berstaus duda, sedangkan Andri dengan gadis desa yang udik parah.

Walapun mereka belum pernah bertemu, tapi Andri yakin gadis yang akan dijodohkan denganya adalah gadis jelek dengan wajah kucel dan bau matahari. Umurunya saja baru 19 tahun, membuat Andri benar benar yakin bahwa gadis itu bukan levelnya. Walapun sama sama berasal dari desa, tapi Andri yang sudah lama menetap di kota merasa tidak lagi setara dengan orang desa.

"Sama aja. Lo nggak mau dijodohin, gue apalagi. Dan lo tau sendiri gimana Halim, gue kencing aja kalau bisa dia liat."

"Udah deh, kita ini sama sama pejuang buat batalin perjodohan, nggak perlu adu nasip. Mending mikir gimana itu semua nggak terjadi."

"Tumben pinter," Jessi mengerling. "Dan gue tau caranya."

Andri sudah akan bertanya, tapi meliht Jessi bangun menghampiri seorang laki-laki yang tidak jauh dari mereka membuatnya tau apa rencana perempuan itu. Ide yang bagus, Andri juga akan mencari seseorang untuk membatalkan perjodohannya.

Ketika Andri sibuk mencari, matanya tidak sengaja melihat sosok laki-laki denga aura gelap. Andri meringis, sepertinya bukan situasi baik, lebih baik dirinya mencari aman saja dengan pergi membiarkan Jessi dengan malaikat mautnya.

Jessi menghampiri sebuah meja yang di isi satu orang lelaki necis, dia cukup peka jika orang itu selalu memerhatikanya sejak tadi. Melihat itu, Jessi jadi memliki ide, dia ingin berkenalan tipis-tipis untuk mengusir kebosanan.

Tapi, baru saja tanganya terulur, sudah ada yang menariknya kembali berdiri. Jessi pikir itu Andri, dia sampai mengumpat karna kesal. Sayangnya, yang menariknya bukanlah sahabatnya, melainkan manusia yang ingin Jessi hilangkan dari bumi. Halim, siapa lagi. Karna memang lagi-lagi lelaki itu.

Jessi pasrah ketika tanganya ditarik untuk keluar dari bar. Dia mendesiskan nama Andri, pasti sahabat sialanya itu yang mengadu. Terbukti dengan Jesii yang sudah tidak melihat Andri di meja mereka tadi, pasti lelaki itu sudah kabur karena berhasil mengadukannya.

Ah, sial!

"Apa, sih!?" Jessi menyetak tangan Halim yang masih mencengkramnya setelah sampai di apartemnya. Lelaki itu memang tidak berlaku kasar, tapi tetap saja, Jessi tidak menyukai tindakan Halim yang menyeretnya pulang dari bar. Padahal dia masih ingin melepas rasa bosan setelah 1 minggu terkurung di apartemen.

"Kenapa kamu ke sana? Kamu masih sakit, Jessi." ucap Halim dengan suara lembut.

"Lo yang napain nyusulin gue? Karna lo gue gagal dapet pacar. Lagian sakit sakit terus, gue udah sembuh! Bahkan gue bisa minum 2 gelas margarita."

"Itu sebabnya saya datang kesana. Saya nggak mau kamu punya pacar."

"Apa hak lo, hah?! Lo siapa? Bokap gue? Abang gue?  Atau lakik gue? Lo bukan siapa-siapa, jangan sok ngatur!"

"Saya calon suami kamu."

"Gue nggak sudi nikah sama lo!"

"Saya—"

"Apa? Lo mau bilang kalau nggak butuh pendapat gue?" potong Jessi. " Lo egois, Halim! Lo berengsek! Lo sialan! Gue benci baget sama lo!" Jessi menjerit dan berlari masuk ke dalam kamar. Dia menutup pintu dengan kecang lalu menguncinya.

Di dalam kamar, Jessi yang merasa emosinya masih membara memilih berendam. Setidaknya dia harus mendinginkan kepalanya, sebelum niat untuk membunuh manusia egois yang ada di partemenya itu menjadi terlaksana.

Baru saja Jessi selesai melepas baju dan menyalakan kran air di bathup yang belum terisi, pintu kamar mandi terbuka. Tidak usah bertanya siapa? dan kenapa bisa? Halim dan segala kelicikanya tidak akan bisa Jessi anggap remeh.

"Saya mandikan ya." ucap Halim. Dia sudah melepas jas dan menggulung lengan kemejanya saat mendengar suara air dari kamar mandi tadi.

Jessi tidak menyahut, dia duduk di dalam bath up dengan memeluk lututnya. Tidak peduli dengan apa yang akan di kakukan Halim. Sekeras apapun dia menolak, Halim akan tetap memaksa.

Halim mulai menuang sabun di tanganya, dia mengosok punggung mulus Jessi lebih dulu setelah membasahinya. Semenjak Jessi sakit, Halim memang kerap memandikan perempuan itu. Dia begitu senang memperlakukan Jessi bak putri, tapi sayangnya Jessi meresa tertekan dengan sikapnya.

"Maaf." ucap Halim saat tanganya mulai berpindah pada bahu Jessi dan turun hingga dada perempuan itu. "Saya akan berubah, saya tidak akan egois lagi. Maaf."

Jessi tidak berniat menyahut, dia malah menutup mata ketika Halim sedikit memberinya pijatan.

"Saya tau kamu tidak menyukai apa yang saya lakukan, tapi semua demi kamu. Saya tidak ingin terjadi apa-apa dengan kamu."

Jessi masih belum menyahut, dia berubah mendesis ketika Halim meremas buah dadanya. Rasanya begitu menyenagkan, sampai dia tidak begitu mendengar apa yang Halim ucapkan.

"Hemmm."

Satu tangan Halim terulur mematikan kran air yang sudah terisi penuh. Dia menatap Jessi yang berubah sayu.

"Maafkan saya, ya. Saya janji tidak akan egois lagi. Tapi jangan tinggalkan saya."

Jessi meraih tangan Halim yang menganggur untuk menyetuh miliknya. Jessi memang gila, baru saja tadi dia memaki halim, dan mengatakan benci, tapi sekarang dia meminta kepuasan pada lelaki itu. Tapi, demi Tuhan, Jessi tidak tahan dengan tatapan tajam juga lembut dari Halim, apalagi tangan lelaki itu yang tidak berhenti meremas dan memilin sebelah buah dadanya.

Sorry for typo.

Luvv❤❤

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang