28 - Sakit

208 55 10
                                        

.

.

"Rasa sakit sekecil apapun yang dialami muslim, termasuk ketika sakaratul maut, adalah penggugur dosa, insya Allah."

.

.

***

Yunan masih heran dengan cara Theo menatapnya dari seberang meja sana. Mereka masih dalam acara gelar perkara di ruang pertemuan tertutup di kantor kepolisian.

Apa yang dipikirkan pria itu? batin Yunan. Sorot mata Theo sangat janggal. Yunan sudah bertemu beragam karakter manusia. Yang satu ini, tak sanggup dibacanya. Dan lagi, gelombang pekat yang nampak di sekelilingnya, seperti gelombang orang yang kerasukan, tapi juga tidak sama persis. Lagi pula, Theo terlihat normal gerak-geriknya. Tak ada gejala seperti orang kerasukan.

Lelaki normal jika ditatap dengan cara seperti cara Theo menatap, pasti akan berpikir bahwa Theo sedang cari keributan, tapi Yunan bukan lelaki kebanyakan. Alih-alih marah, Yunan malah tersenyum.

Alis Theo berkerut, sebelum ia membalas senyum Yunan dengan senyum meledek.

"Sayang! Kamu gimana, sih? Kok malah senyum sama dia!" omel Arisa pada suaminya.

"Dia ngeliatin aku terus soalnya. Mungkin dia mau kenalan," tebak Yunan sambil mengangkat bahu.

"Mana mungkin dia mau kenalan?? Itu sih namanya mengintimidasi!" lanjut Arisa dengan sedikit penekanan pada suaranya.

"Tapi, dia balas senyumku," jelas Yunan, masih merasa tak ada yang salah dengan senyumnya barusan.

"Itu sih bukan senyum, tapi ngeledek!" ujar Arisa ketus. Gemas pada jalan pikiran suaminya.

Di samping Arisa, Elena nyengir kaku. Syeikh Yunan keterlaluan husnuzonnya, pikir Elena.

"Kamu harus ingat kalau mereka musuh kita!" kata Arisa, masih mengontrol suaranya.

Yunan terdiam. "Oh ya? Aku tidak merasa begitu. Sobri memang berbuat salah. Tapi aku tidak menganggapnya musuh. Apalagi pengacaranya Sobri. Kita 'kan baru saja melihat dia belakangan ini. Memangnya, kesalahan apa yang dia lakukan?" tanya Yunan dengan alis berkerut.

Elena meringis mendengarnya. Mau saya ceritakan gosip horor tentang dia, Syeikh? Elena membatin.

"Tetap saja! Kita tidak sepatutnya beramah tamah dengan mereka! Kita harus menjaga perasaan Raesha sebagai korban yang paling banyak disakiti!" tegas Arisa mengutarakan protesnya.

Mendengar nama Raesha disebut, Yunan mengucap istigfar pelan. "Kamu benar. Aku mestinya lebih berempati. Baiklah." Yunan mengubah mukanya menjadi sok sangar.

Arisa melengos, sementara Elena nyaris terkikik geli, melihat muka sangar Yunan yang tidak alami.

.

.

Elena berjalan di parkiran kantor kepolisian. Mengecek penunjuk waktu di pergelangan tangannya. Ternyata gelar perkara berakhir lebih sore dari yang dia kira. Sebaiknya langsung ke rumah saja. Ke kantornya besok pagi saja, pikir Elena.

Tombol di kunci mobil Elena ditekan, terdengar bunyi singkat dua kali, pertanda pintu mobilnya sudah tak lagi terkunci.

Tepat saat jemari Elena hendak membuka pintu mobil, bayangan sesosok pria yang tinggi tiba-tiba muncul di sisi kirinya. Membuatnya nyaris menjerit lantaran terkejut bukan kepalang.

"Bu Elena."

Bibir Elena gemetar saat melihat siapa pria yang ada di sampingnya. Sejak kapan dia berdiri di situ? Kenapa Elena tidak mendengar suara langkah kaki sebelumnya?

ANXI EXTENDED 2 (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang