Benarkah Tuhan itu mencintai manusia melebihi segala ciptaan?
Kita sepakat bahwa Tuhan itu baik dan memelihara manusia melebihi burung pipit di udara dan bunga bakung di taman, namun kita telah menggantungkan diri pada berbagai macam hal dan segala upaya mandiri kita telah mengkhianati kesepakatan tersebut. Kita terlalu takut untuk meminta, atau terlalu takut untuk ditolak. Kita kurang merendahkan diri.
Selama empat hari saya berjalan kaki sejauh 117 kilometer dari Ciamis menuju Bandung, tanpa bekal dan uang. Perjalanan ini disebut peregrinasi. Selama empat hari itu pula saya makan dan minum dari belas kasih orang lain, tidur di tempat-tempat publik. Semua demi mengalami Tuhan yang baik, bahwa orang-orang baik itu masih ada, mereka yang memberi dari kekurangannya.
Selasa, 7 juli 2017
09.00 Berangkat dari Fermentum
Perjalanan diawali dengan doa bersama di parkiran seminari, selanjutnya kelompok Karawang dan kelompok Pamanukan diantar oleh RD Martin, sementara kami (kelompok Ciamis) dan kelompok Tasik diantar oleh RD Wilfred. Saya berangkat mengenakan kaos jersey, celana pendek, topi dan sandal jepit. Di pundak tergantung tas serut yang berisi buku catatan, surat jalan, sarung, botol minum, dan alat mandi. Sepanjang perjalanan rasa khawatir mulai muncul, mobil melaju dengan kencang, menghantar saya semakin dekat ke 'medan tempur'. Pikiran mulai berkelana membayangkan yang belum terjadi, meski jalanan menuju Ciamis berkelok dan bergelombang, saya coba menenangkan diri dengan tidur.
14.40 Kuasi Ciamis
Sampai di gereja kuasi Ciamis kami disambut dengan hangat oleh RD Kelly melalui hidangan lezat yang berlimpah. Kata hangat disini memang sebenar-benarnya hangat, karena selain makanan, kami juga disuguhi minuman fermentasi buah markisa yang kadar alkoholnya sudah cukup tinggi. Minuman menyegarkan sekaligus menghangatkan itu berhasil membuat frater Jojo teler, begitupun 4 frater yang lain merasakan efeknya. Bagi saya, ini semacam minuman 'penyemangat'. Setelah RD Wilfred dan dua frater kelompok Tasik meninggalkan kuasi sekitar pukul 16.00, kami masih berlama-lama di pastoran sampai pukul 17.00. Berlama-lama di pastoran ini memang sebuah tindakan menunda yang tersirat, kalau bisa malah tidak usah berangkat. Ada ketakutan untuk memulai langkah pertama.
17.00 Start
Tapi ketakutan itu mesti kami lawan. Di awal perjalanan kami masih menyamakan ritme langkah, sambil menentukan ketentuan-ketentuan selama perjalanan. Ketentuannya adalah, tidak ada sistem pemimpin, siapa yang ingin berjalan di depan, silakan, urusan minta makan akan bergantian supaya semua kebagian.
20.30 Menemukan koin 500 untuk plester
Menjelang malam punggung kaki kanan saya yang bergesekan dengan sandal mulai sedikit lecet. Pikir saya, kalau malam pertama sudah lecet bagaimana hari-hari kedepan? Saya mulai khawatir, supaya tidak tambah parah, luka ini perlu ditutup plester, sementara saya tidak ada uang untuk membelinya. Maka sepanjang jalan saya melihat ke bawah, ke arah jalan berbatu, siapa tahu ada uang koin. Dan memang ada, saya temukan koin 500 untuk mencegah lecet ini bertambah parah. Ini adalah momen pertama saya merasakan kebaikan Tuhan. Momen menemukan koin 500 memang sangat biasa, tapi di saat seperti ini rasanya sangat bermakna. Segera saya menyadari bahwa seluruh perjalanan peregrinasi ini adalah sebuah perjalanan spiritual, di mana momen sekecil apapun mampu menjadi jembatan kehadiran Tuhan.
21.45 Minta minum di pos satpam perumahan
Ini adalah pertama kalinya kami meminta sesuatu. Awalnya saya merasa ragu, ada perasaan takut ditolak. Tapi setelah dijalani nyatanya ini tidak sesulit yang dipikirkan.
22.30 Tidur di Musola sebelah kantor desa
Awalnya kami berencana untuk berjalan sampai tengah malam, nyatanya kami mulai lelah dan ngantuk, sehingga diputuskan untuk mencari tempat bermalam. Sayangnya dalam kelompok ini hanya saya yang membawa sarung, sementara frater Sandy dan Jojo memilih membawa pakaian ganti daripada membawa sarung. Maka saya yang berjalan di depan mesti mencarikan tempat yang dapat melindungi dua teman saya dari dingin dan nyamuk. Sampai di depan sebuah kantor desa, kami menemukan Musola yang sepi. Saya meminta izin pada penjaganya lalu kami tidur dengan nyaman beralaskan karpet.
YOU ARE READING
Seputar Panggilan
Short StoryTulisan-tulisan seputar panggilan, seminari, dan pengolahan hidup.