Sesuai namanya, budaya populer itu merupakan sesuatu yang populer; sesuatu yang menjadi tren pada kurun masa tertentu dan pada kelompok masyarakat tertentu. Kalau sesuatu itu populer, pastilah hal itu dianut, dimiliki, atau dipakai oleh banyak orang sehingga budaya populer dicirikan pula oleh keseragaman. Kalau keseragaman itu sudah tercapai, di situ ada peluang pasar yang besar sebab produk yang tren itu akan dikonsumsi oleh banyak orang.
Sampai titik ini, mulai terlihat kalau budaya populer itu erat kaitannya dengan permainan pasar yang kendalinya ada pada para pemilik modal. Begitulah permainannya, supaya semakin banyak produk yang terjual, para 'pemain' bekerja sama dengan media massa dan influencer (selebriti, blogger, youtuber, dll.) menciptakan tren lain menggantikan tren sebelumnya. Pergantian ini mesti cepat supaya tren sebelumnya tidak sempat mengakar terlalu dalam. Kalau sudah terlanjur mengakar, nanti beberapa orang akan jadi fanatik pada tren tersebut dan tidak mau mengikuti (baca: membeli) tren yang lain. Untuk menaikkan penjualan, pada kurun waktu yang sama diciptakan beberapa tren untuk kelompok masyarakat yang berbeda; bisa secara usia, minat, atau demografis. Mereka biasa menyebutnya "target pasar". Demikianlah bisa kita sarikan beberapa kata kunci untuk menjabarkan budaya populer: tren, seragam, konsumtif, cepat, dan bertarget.
Saya baru saja menyelesaikan satu tahun masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Menengah Wacana Bhakti, Jakarta. Acapkali kalau saya duduk agak berjarak dari para seminaris, muncullah rasa kagum dalam hati. Mereka itu paling muda baru umur 16 tahun, tapi sudah berani memasuki suatu cara hidup yang bagi kebanyakan orang, tidak populer. Atas keputusannya sendiri, mereka mau mencari sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar menjadi seorang Katolik. Kala wawancara sebelum diterima menjadi seminaris, mereka mantap berkata, "saya mau jadi Romo." Betapa hebat! Tapi tantangannya besar. Setelah melalui tahun pertamanya mereka akan diutus untuk belajar di sekolah SMA Gonzaga; sekolah yang menurut salah satu survey dinobatkan sebagai sekolah swasta terbaik se-Jakarta Selatan. Tak terelakkan lagi, para seminaris akan terpapar budaya populer karena sehari-hari berelasi dengan siswa-siswi terpilih dari seantero ibu kota.
Budaya populer itu bukannya semata-mata buruk, hanya kurang kompatibel untuk formasi calon imam. Kalau dipertentangkan dengan kata-kata kunci budaya populer di atas, kadang-kadang saya punya tekad untuk melindungi para seminaris dari segala yang tren, seragam, konsumtif, cepat, dan bertarget. Menjadi murid Kristus itu berarti mengosongkan diri dan mengendapkan diri. Demi pengosongan diri, tidak apa-apa untuk tidak populer, untuk tidak memiliki semua barang terbaru, untuk tidak menjadi sama dengan remaja kebanyakan. Demi pengendapan diri, tidak semuanya harus segera diputuskan, sebab keputusan yang baik itu butuh waktu; seperti anggur. Kalau para seminaris mau meluangkan waktu untuk refleksi, mereka akan sanggup membedakan kebutuhan dari keinginan; mana yang sungguh kehendak Allah dan mana yang hanya rasa suka-tidak suka. Saya paling senang kalau seminaris mampu tidak lekat dengan media sosial dan bersedia banyak hening, sebab suara Roh itu laksana bisikan di tengah riuhnya pasar.
Saya dan para formator tak pernah bosan memelihara moral seminaris. Tidak apa-apa menjadi tidak populer karena tidak pakai sepatu mahal, karena tidak punya gawai terbaru, karena tidak pernah ke tempat wisata kekinian, karena tidak pacaran, atau karena tidak main game tertentu. Justru karena tidak mengikuti budaya populer itulah seminaris jadi populer; jadi saksi Kristus di antara remaja lain. Pepatah bijak mengatakan, orang baik pasti populer. Para seminaris diarahkan untuk mencapai popularitas bukan via jalur budaya populer melainkan jalur kebaikan; seperti Yesus. Kalau seseorang itu pintar, rendah hati, mudah melayani, berpenampilan rapi, bertutur santun, menebarkan semangat positif, dengan sendirinya ia akan populer.
YOU ARE READING
Seputar Panggilan
Short StoryTulisan-tulisan seputar panggilan, seminari, dan pengolahan hidup.