****
Rania menyimpan kembali ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menelpon Inara ke dalam saku celananya. Beberapa hari terakhir adik kembarnya itu selalu menerornya untuk datang ke acara ulangtahun anaknya, alias keponakannya juga, Ara. Memang setiap tahun hanya kado yang datang tanpa dirinya dan tahun ini Inara memaksanya untuk pulang menghadiri acara tersebut.
Masih ada waktu tiga minggu untuk Rania memikirkannya. Selama 8 tahun terakhir bisa dihitung dengan hitungan jari ia pulang ke rumah orangtuanya. Ia hanya malu dan merasa tak pantas berada diantara orang-orang baik itu. Meski tentu keluarganya masih menerimanya dengan sangat baik, hal bodoh yang sudah ia lakukan dimasa lalu
hanya membuat keluarganya malu saja.Dari kaca jendela ruang guru Rania melihat hujan diluar sana sudah mulai reda. Hanya tersisa rintik gerimis kecil yang bisa Rania lewati dengan menggunakan payung lipat yang selalu ia bawa. Ditengah cuaca yang tidak menentu seperti sekarang ini, dimana pagi sampai siang hari matahari bersinar sangat terik sedangkan menjelang sore sampai malam hujan bisa turun dengan derasnya, Rania selalu membawa payung kecil yang bisa ia masukan ke dalam tasnya.
Seorang diri Rania melangkah dengan hati-hati menyusuri jalanan becek pedesaan yang terasa sangat licin, salah melangkah ia bisa saja jatuh terpeleset. Namun meski begitu langkahnya terasa ringan, menikmati udara sejuk sehabis hujan. Suasana damai seperti ini yang selalu membuatnya nyaman.
Sepanjang perjalanan Rania menyapa orang-orang yang ia temui. Desa tempat tinggalnya saat ini bisa dibilang kecil dan kental dengan suasana kekeluargaanya. Jadi sudah bisa dipastikan sesama warga sudah saling mengenal satu sama lain. Rania memang hanya pendatang tapi 8 tahun hidup disini ia sudah mengenal dan dikenal sangat baik oleh orang-orang ditempat ini.
Rania sedikit memelankan langkahnya saat melewati sebuah lapangan, ia bisa melihat anak-anak bermain bola sambil basah-basahan digenangan air hujan. Ia sangat suka melihat anak-anak yang sedang bermain, terlihat sangat lepas dan tanpa beban. Dan ia juga pernah merasakan itu dulu, kebahagiaan semasa kecil. Meskipun tak memiliki banyak teman Rania rindu masa-masa itu.
Melihat awan dilangit sudah menggelap pertanda hujan akan kembali turun, Rania kembali mempercepat langkahnya. Ia harus cepat sampai rumah sebelum hujan deras kembali turun.
Rania sangat memperhatikan langkahnya, ia melangkah dengan lebar tapi sangat berhati-hati karena jalan yang ia lalui masih medan bertanah. Namun, mungkin karena alas kaki yang ia gunakan licin Rania tak bisa menjaga keseimbangannya hingga terpeleset dan jatuh terduduk diatas tanah basah yang digenangi air hujan.
Ada pepatah mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang terjadi pada Rania. Setelah jatuh dengan posisi mengenaskan ternyata kesialannya tak sampai disitu. Saat ia mencoba berdiri sambil menahan rasa tidak nyaman dikakinya, bersamaan dengan lewatnya sebuah mobil, meskipun melaju pelan tapi ban mobil yang meluncur melewati genangan air berhasil membuat air itu terciprat ke arahnya.
"Akhh..." Rania menjerit sebal saat tubuhnya kini basah dan kotor oleh cipratan genangan air hujan. Wajah Rania sudah memerah menahan amarah, ia sudah bersiap melampiaskan emosinya pada si pengendara mobil yang turun menghampirinya sebelum suaranya tiba-tiba tercekat saat menatap sosok laki-laki yang kini sudah berdiri menjulang dihadapannya.
"Tristan?"
****
Dengan hati-hati Tristan memapah tubuh Rania memasuki rumah perempuan itu. Masih sambil bersungut-sungut kesal Rania membuka kunci rumahnya dengan kasar.
Pintu di depan dibiarkan dibuka karena Tristan juga ikut masuk ke dalam rumah. Hingga sesaat setelah memasuki rumah Rania langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa depan tanpa memperdulikan sofa yang ia duduki kini ikut kotor dan basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Mistake
RomanceTristan & Rania Setelah semua yang terjadi dimasa lalu, akankah mereka bisa kembali untuk bersama?