Mimpi

0 0 0
                                    

Suasana yang awalnya terasa nyaman, sekarang menjadi runyam. Keadaan menjadi hening setelah Clara mengutarakan keinginannya yang selama ini dipendam.

"Kita ga salah denger kan, Ra?" ujar Papa seakan mewakili tatapan semua orang

"Kamu ngapain sih, segala mau kuliah tata busana. Gak ada gunanya. Mau jadi penjahit kamu? Cihh." ucapan mama sungguh menohok hatiku.

"Lagian kenapa sih, Ra. Perempuan kan ujung-ujung nya juga bakalan di dapur. Gak perlu sekolah tinggi-tinggi. Mending lo cari suami yang kaya, enak tuh tinggal nikmati hasilnya." canda Devano. Ia tidak tahu candaan nya sangat menyakiti hati Clara

"Pokoknya kita gak setuju. Kalau kamu tetep nekat, Papa gak bakal mau biayain kuliah kamu. "

Keputusan Papa meruntuhkan rasa percaya diri yang telah kubangun. Mereka kembali ke kamar masing-masing. Aku berjalan lesu menuju kamar, menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.

"Kapan ya, mereka sadar jika aku juga anak mereka kayak Bang Vano? Aku juga berhak menentukan jalan hidupku, kan?"

Runtuh sudah pertahananku. Aku menangis sejadi-jadinya. Tanpa kusadari, Bang Vano sedah berada di belakang ku

"Lu nangis, Ra? Busett ... gitu doang, baperan lu." Tanpa permisi, Devano membalikkan badanku menghadap ke arahnya. "Apa sih, Bang. Pergi deh, jangan ganggu gue."

"Oke.. Gue minta maaf, Ra. Sumpah, gue bercanda doang tadi. Ya kali, gue ga ngedukung mimpi lo."

"Beneran, Bang. Ahh, lo mah suka gitu. Gak tau situasi. Tau ah, gue bete sama lo."

"Hehh ... Ngambek beneran nih anak. Padahal gue mau ngajakin beli es krim. Gak mau ya udah." ia sudah ancang-ancang untuk pergi dan seketika Clara menahannya

"Enak aja main batalin. Gak ada, ayo berangkat." Seketika tawa Devano pecah mendengarnya

~~~

Banyak orang menghabiskan waktunya di taman ini. Rasanya tempat ini tidak pernah sepi. Sejenak, Clara dapat menenangkan dirinya dari berbagai masalahnya.

"Bang, es krim nya 2 ya. Vanila dan coklat." selepas memesan, Devano menghampiri Clara

"Bengong aja lo, awas kesambet. Nih es krim kesukaan lo, coklat. Cocok tuh untuk meredakan stres" gurau Devano.

"Hmm..." keadaan menjadi hening sesaat. Devano sibuk dengan es krim nya dan Clara sibuk dengan pikirannya

"Bang, apa gue ga berhak ya buat bahagia?" mendengar celetukanku, Devano tersedak es krim yang sedang ia makan

"Apa sih Ra, jangan ngomong gitu ah. Udah, jangan pikirin omongan Mama sama Papa, ya. Suatu saat mereka bakalan sadar kok."

"Tapi, sampai kapan Bang? Gue capek tau dibandingin terus ama lo. Mentang-mentang gue ini bodoh, ga kayak lo yang pinter, terkenal lagi di sekolah."

"Ra, dengerin gue. Tuhan itu ga pernah salah dalam menciptakan makhlukNya. Semua orang itu pinter, Ra." Vano berhenti sejenak, memikirkan kata-kata. "Setiap orang itu punya kelebihan masing-masing. Okeyy, mungkin emang gue pintar di akademik sekolah. Tapi, bukan berarti lo ga pinter, Ra."

"Gue tau tuh lo setiap saat nggambar desain baju. Bagus tau, kreatif. Dan gue pun bahkan ga bisa menggambar. Apa lo bakal bilang kalau gue ini bodoh, cuma karena ga bisa dalam suatu hal?" Clara menggeleng keras

"See. Lo udah dapet jawabannya." sontak Clara memeluk Vano erat

"Uhhh...Abang gue emang best deh." Vano berusaha melepaskan pelukan Clara

"Iya.. gue tahu. Tapi lepasin kek, gue malu tau diliatin orang."

"Ah, gak asik lu." walau sedikit kesal, Clara melepaskan pelukannya juga

"Bentar lagi gue lulus nih, lo harus belajar yang bener. Gue bakalan kerja buat nambah in uang kuliah lo nanti."

"Eh, ngga usah Bang. Gue bisa kok, nyari uang sendiri."

"Tenang, lo kayak sama siapa aja. Kan emang tugas gue juga sebagai Abang lo." Setelah itu, mereka kembali ke pikiran nya masing-masing

'Gue lupa masih punya Bang Vano yang peduli. Lo ga sendiri, Ra.' batin Clara

'Lo tenang aja ya, Ra. Gue bakal selalu ada buat lo.'  batin Vano



I'm Different with My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang