When a heart breaks, no it don't breakeven - Breakeven, The Script
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Causeway Bay, Hong Kong.
"I'm really fine, Ann. Stop memperlakukan ku layaknya aku masih kecil, Annelise Clarkson Zenith" Aku mengeraskan suara karena jalanan begitu ramai. Suara orang yang bersahutan bergabung dengan suara konstruksi bangunan di depanku, membuat suara-suara lain terdengar kabur. "Are you crazy? Hal terakhir yang aku butuhkan saat ini adalah kakakku--josh terbang dari Sydney ke Hong Kong!"
Aku mempercepat langkahku dan dengan lincah menghindari sepasang laki-laki dan perempuan yang berjalan ke arahku dengan kecepatan tinggi. "Gila ya para manusia Hong Kong, nggak bisa jalan lebih pelan, ya?" Batinku. Aku nggak bisa bersaimg dengan mereka. Padahal aku susah berjalan secepat mungkin tanpa menggunakan high heels yang kusimpan rapi didalam tote bag ku. Mengantisipasi pedestrian traffic madness di jam-jam sibuk, untuk kebaikkan diri sendiri, sebaiknya aku menggunakan flat shoes ku.
"Yeah, patah hati. Tapi kau tidak perlu khawatir aku melemparkan good-looking investment banker disini hanya karena patah hati." Aku melirik keatas. Memastikan tanda bahwa tangga ini menuju Mass Transit Railway. "Oh ya, for your information, aku training sampai malam dan dua malam terakhir ini dihabiskan dengan Edward. Kau tak perlu mengkhawatirkan ku, Ann."Aku mengarah ke eskalator turun, berhenti sesaat untuk memastikan Octopus Card sudah tersimpan aman di saku coat sebelah kiri, lalu bersama jutaan orang lainnya menjejakkan kaki di eskalator turun. Aku bergeser ke kanan untuk memberikan kesempatam agar orang yang hendak mendahuluiku bisa berjalan di sisi eskalator sebelah kiri.
Napasku agak sedikit terengah. Staminaku habis. Aku bahkan tidak bisa berjalan 100 meter dengan kecepatan konstam menyamai para manusia Hong Kong. Aku membuat mental note, saat balik ke Sydney nanti, aku harua sering-sering jogging. Yeah, so much for promise.
"Tidak lah." Aku tertawa
"Aku belum kesana. Malam ini mungkin. Lan Kwai Fong agak jauh dari hotel, Ann." Aku membetulkan bag strap di bahu yang sedikit merosot. "Walapun alasan satu satunya aku ngga ke sana adalah jauh, Ann. Hehehe..."
Aku masih mendengar celotehan sahabat ku---- Annelise Clarkson Zenith--- ini di telingaku. Pedas dan panas. Akhirnya, ketika aku melihat sosok pria tinggi yang memandangku sambil mengerutkan kening di dekat eskalator menuju platform, aku memotong kalimatnya di telepon dengan, "Ann, aku pergi dulu ya. Sudah ada Edward disini, aku dan Ed mau masuk MTR dulu. Bye, I love you!!!!" Aku langsung memutuskan sambungam telefon ku dengan Annelise saat dia ingin bilang i love you too.Haha.kejamnya aku. Lalu aku memasulam handphone ku ke dalam saku coat dan tersenyum menghampiri laki- laki yang bernama lengkap Edward Cale. Pun aku menyapanya "Hei, Ed. Sudah lama kau menungguku, eh?" Edward, teman sebelah kubikelku, menggeleng cepat "Nggak kok, baru saja, Key." Hari ini ia memakai setelan jas body fit abu-abu, celana panjang senada dan postman bag yang talinya di selempangkan dibahu. Seumur-umur aku belum pernah lihat ia pakai outfit seperti ini kalau di Sydney."Eh, nanti malam enaknya ke mana, ya?" Aku bertanya sambil mulai berjalan beriringan bersama Edward ke arah eskalator lain.
Edward mengangkat bahu, "Terserah kau saja, Key. Cuma aku ingin bertemu dengan temanku dulu ya, ternyata dia juga lagi disini Key."
"Oh ya? Siapa?" Kataku sambil merapikan rambutku yang super berantakkan ini.
"Shuzi, dia sedang berlibur kesini." Edward mendahuluiku menuruni eskalator. Aku pun mempercepat langkah ku hingga menyamai langkah Edward.
"Key, kau mau ikut aku bertemu teman ku ngga?" Tanya Edward sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
"Of course, tapi balik ke hotel dulu ya, Ed?" Jawabku.
"Hah? Kenapa ngga langsung aja sih, Key?" Protes Edward.
"Ya masa aku pake pakain kantor begini. Nggak enak ah, aku kan juga mau tampil cantik." Aku mengedipkan mata ke arahnya sambil tersenyum lebar. "Mana tas ku berat pula, isinya materi training."
Edward membalikkan badannya kembali dan menatapku dengan saksama, "Kelihatan lebih cantik?" Ia mengernyitkan dahinya. "Tumben sekali kali kau. Sejak kapan kau di-brainwash sama iklan pemutih dan pelangsing?" candanya.
Aku tidak menjawab, hanya menampilkan senyuman yang bertambah lebar. Ia lalu berkomentar lagi, "Kalau materi sih, biar aku aja key yang bawa. Langsung aja ya, Key? Aku malas kalau harus ke balik ke hotel."
Aku mencibir, tapi setelah beberapa saat aku mengalah. "Iya, iya. Tapi belikan aku Ice Cream Vanilla kesukaan ku ya, Ed?" Rengekku sambil memberikan puppy face ku. "Done." Jawab Edward dengan malas. Ia lalu menggeleng-geleng dengan keheranan. "Kau murah juga ya, Key" Kata Edward sambil nyengir.Fuck you, Edward Cale.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Banyak orang yang bilang bahwa jika kita menghadapi masalah, hadapi dan jangan lari. Karena kalau kita lari, masalah tidak akan pernah selesai. Memudar, tapi tidak akan pernah selesai. Tapi untuk kali ini aku tidak peduli. Aku hanya ingin menjauh dari Sydney untuk beberapa waktu.
Kesempatan kabur dari Sydney itu berbentun training di Hong Kong. Aku pergi bersama Edward, teman sebelah kubikelku, sejak hari Minggu pagi untuk training selama 3 hari. Rencananya sih, kami--aku dan Edward-- akan pulang ke Sydney hari Kamis siang.
Sejujurnya, selama tiga hari training mengenai pengembangan produk dan strategi untuk bisnis kartu kredit, aku tidak menangkap esensinya sama sekali. Pikiranku melayang entah ke mana. Bahkan, sampai sekarang aku tidak ingat nama pria tampan dari Maybank Perth yang duduk di sebelahku selama tiga hari berturut-turut. Padahal dari hari pertama dia udah ngajakkin ngobrol dengan semangat.
"Kau ini perlu distraction, Key. Pengalih perhatian biar nggak mikirin si dia yang tidak perlu ku sebutkan namanya itu." Edward berkata di sela-seka diskusi kelompok kami. "Kau tau, dia berusaha mengajak mu berbicara dari hari pertama. Kenapa kau ngga menanggapinya, huh? Menurutku, lumayan lho untuk permpuan seperti mu, Key" Jawabnya sambil terkekeh. Aku hanya tersenyum sambil membuka-buka materi training untuk mencari insight atas pertanyaan yang ada didalam diskusi, aku berbisik kepada Edward. "Aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini. Lagipula, kayak masalahku ngga banyak aja." Aku mendongak menatap si pria tampan Maybank sekilas. Wajahnya terlihat serius menatap materi training di hadapannya. He's cute pikirku. "By the way, siapa namanya tadi?" aku menggedikan bahu ke arah si pria Maybank itu.
"Adam." Edward menjawab singkat. "Dia menyebitkan nama panjangnya sih, tapi, kau tau lah, aku payah dalam mengingat nama seseorang" Kata Edward sambil terkekeh.
Aku nyengir.
"Jadi bagaimana hubungan mu dengan Andrew?" Edward melemparkan tanyaan lain.
Pertanyaan yang sama sekali tak ku suka. Pertanyaan yang aku hindari selama beberapa minggu ini. Pertanyaan yang--- membuat aku kabur dari Sydney.
Sebagau jawaban untuk Edward, aku mengakat bahu. "I don't know, Ed."
"Apakah kau sudah berbicara dengannya?"
"Apakah itu perlu?" Aku balik bertanya dengan ada sinis.
"Tapi, sudah tau apa yang kau mau?"
Aku menghela napas panjang. Meletakkan pulpen di atas meja dan menatap Edward serius. "Kalau kau diposisi ku, apa yang akan kau lakukan?"
Edward terdiam dan menatapku dengan pandangan memahami. Tapi, ia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku tadi.
"Aku rasa kau mengetahui apa jawaban ku atas pertanyaan mu tadi kan, Edward Cale?"~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A/n
Haihaiiii ini ff pertama gue btw. Umm maaf kalo ceritanya gajelas hehe. Maklum masih amatir.heheBy the way, jgn lupa votemments nya ya!!! I lub yu!:*
-love, calum's future wife