Writer : Kala (nvskala)
Aku pikir seharusnya hal-hal buruk tidak akan terjadi padaku karena aku anak baik. Maksudku—lihatlah! Aku tidak pernah manja kepada kedua orang tuaku, selalu membereskan kamar, menyiapkan makanan sendiri, mandi sendiri—anak seusiaku mana mau melakukan hal seperti itu.
Aku satu-satunya orang yang mencuci piring, membuang sampah dan menimba air di rumah ini. Makanya, aku tidak pernah menolak ketika orang tuaku menyuruh untuk melakukan pekerjaan rumah. Aku tidak pernah sempat bermain dengan anak-anak lain karena sibuk mengurus rumah.
Setiap pagi, aku akan membereskan rumah, mulai dari depan teras sampai dapur belakang. Pertama, aku menyapu debu dan kotoran yang menempel di lantai–eh, itu yang kedua! Seharusnya, pertama, aku mengambil bekas botol kaca atau mengelap cairan alkohol yang tumpah. Aku harus segera menyingkirkannya karena itu akan membuat orang lain terluka.
Kemudian, ketiga, aku akan menimba air untuk minum, mencuci dan mandi. Keempat, jika ada uang sisa, aku mencoba membeli lauk untuk makan hari itu. Kadang para penjual memberiku bonus! Senang sekali!
Tak jarang tetangga dan orang lain memujiku, "Hebat sekali! Kau benar-benar anak yang mandiri. Andai saja orang tuamu orang baik ..."
Kalau itu, aku tidak menjawab dan hanya tersenyum simpul saja. Jadi, aku simpulkan bahwa aku sudah menjadi anak baik. Aku hanya perlu menunggu takdir baik datang, misalnya ayahku berhenti mabuk dan ibuku tidak menangisinya lagi.
—
Malam ini seusai meniup lilin (sebagai satu-satunya penerangan kamar) dan berdoa, aku tertidur. Tak lama, dalam kegelapan, aku melihat sebuah cahaya yang terang sekali. Tanganku mencoba meraihnya—ah, rasanya hangat. Namun, cahaya itu membesar ... besar ... dan panas!
Tepat saat mataku terpejam karena silaunya, sebuah suara menginterupsi. Suara benda jatuh—bukan, suara benda kaca yang jatuh. Saking kerasnya, aku terbangun. Mataku terbelalak dan akhirnya kembali ke dunia nyata. Benda itu bukan jatuh sendiri, melainkan dilempar oleh seseorang.
Dengan kemahiranku meraba-raba di ruangan gelap, aku lekas mengendap-endap mendekati pintu. Berdasarkan hasil pengamatanku lewat indra pendengaran, mereka bertengkar lagi. Kalau ini, memang sudah biasa—bukan sekali dua kali. Dan, lagi-lagi soal mabuk.
"Bodoh! Ini whiskey yang paling mahal! Berani-beraninya kau melempar itu!"
"Dasar pria tolol! Kita tidak punya apa-apa lagi! Ini semua karena kau tertipu permainan judi sialan itu!"
"Kau pula, berpakaian seperti wanita malam di jalanan! TIDAK PUNYA HARGA DIRI, HAH?!"
"Aku seperti ini agar kau mencintaiku lagi! Paham kau? Aku juga muak denganmu, muak dengan segala kebusukanmu. Besok, tengkuluk itu akan datang. Kita sudah tidak punya apa-apa lagi! Perhiasan dan pakaian telah kujual demi menutup hutangmu. BERPIKIRLAH SEDIKIT DENGAN AKALMU!"
"AGHH ... ini tidak akan terjadi jika kau bekerja!"
"Kau yang seharusnya bekerja, bodoh! Tapi aku malah harus mengenyangkan hasratmu, lalu lahirlah bocah sialan itu dan adiknya di perut ini!"
Aku mencoba mengintip lewat lubang kunci pintu. Nihil, tidak ada apa-apa. Semoga pertengkaran ini tidak berlangsung lama. Sebab kata-kata yang mereka lontarkan membuatku sakit hati.
Aku kembali ke kasurku dan mencoba menutup telinga dengan bantal. Nyaring suara keributan yang disusul oleh tangisan masih menggema di telingaku, seolah hendak ikut menemaniku ke alam mimpi.
Oh, Tuhan, ini sangat buruk. Mereka akhir-akhir ini sering sekali bertengkar. Sebenarnya aku tidak tahu apa itu tengkuluk, tapi aku tahu hutang. Hutang itu adalah uang yang harus dibayar dan jumlahnya menumpuk. Ayah memang punya banyak hutang. Hampir dua minggu sekali, "mereka" datang untuk menagih. Tapi sekarang kami tidak punya apa-apa. Aku tidak tahu besok apa yang mereka jual agar bisa membayar hutang itu.
Aku jadi sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Badanku masih kecil dan lemah. Aku pernah inisiatif membantu membawa satu kotak alkohol saja langsung dipukul Ayah.
Suara pintu meringkik terbuka. Seseorang datang.
Aku buru-buru membalikkan badan dan berpura-pura tidur. Dari bunyi langkah kakinya, orang itu datang dengan langkah yang putus asa. Aku bisa mendengar suara isakannya.
Itu pasti Ibu.
Aku tak bergerak satu senti pun ketika Ibu mendekatiku dan membelai rambutku. Bau parfum dari pakaiannya sangat menyengat hidungku. Namun aku masih mencium aroma alkohol dari jari-jarinya. Ia lalu mengusap-usap tubuhku yang terbaring.
Aku tidak ingin mengganggunya. Aku hanya ingin membiarkan beliau mengungkapkan isi hatinya di sini. Aku akan diam sampai Ibu keluar.
"Oh, Genah yang malang. Maafkan Ibu. Sungguh, kau tak pantas menerima kemalangan ini. Nanti, esok hari kau akan menjadi orang hebat. Kau akan bebas. Kau akan temukan makna kebebasan. Jangan sampai seperti Ibu, terjerat dan terbelenggu."
Jika boleh berbicara, aku tidak mengerti maksud Ibu–aku masih enam tahun. Mungkin tujuh atau sepuluh tahun lagi aku akan paham. Tapi tidak apa-apa, asal Ibu bisa mengungkapkan perasaannya bersamaku.
Rupanya, Ibu tidak berbicara lagi. Ia langsung keluar kamarku dan menutup pintu. Langkah kakinya sangat pelan dan lemah. Ibu sudah letih dengan semuanya.
Saat semuanya usai, di balik bantal, aku menangis dalam sunyi dan gelap. Aku juga lelah, bu.
—
"BANGUN, BOCAH PEMALAS!"
Tanganku ditarik paksa oleh Ayah. Walau mataku belum sepenuhnya terbuka, aku langsung tahu karena mencium asap rokoknya yang membuatku mual.
Aku tidak tahu mau dibawa kemana, namun aku yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres. Tepat saat aku dibawa ke teras, Ibu mengejar kami.
"GENAH! JANGAN AMBIL GENAH, TOLOL!! KEMBALIKAN DIRINYA KEPADAKU!" erang Ibu seraya menarik lengan kiriku.
Ayah membentak, "KITA TIDAK PUNYA APA-APA! INI SATU-SATUNYA JALAN, BODOH!! AYO GENAH!"
Ibu tidak peduli. Sekuat tenaga ia memegangiku dan menarikku kuat. Semua orang tenggelam dalam egonya masing-masing, hingga pada akhirnya Ayah dengan mata merah melotot menendang keras Ibu hingga terjatuh.
"IBU?!"
Aku terdiam kaku. Lantas sekujur tubuhku bergetar. Ibu ... bukankah Ibu sedang hamil? Jika Ibu ditendang seperti itu ... adikku dalam bahaya. Mataku menatap Ibu yang kesakitan dengan berkaca-kaca.
Aku melihat cipratan kecil darah di lantai. Dahinya berdarah. Menakutkan betul hari ini. Aku ingin lari.
"GENAH! JANGAN GENAH! AKU MOHON!"
"JANGAN MELAMUN TERUS, BOCAH! CEPAT JALAN!"
Aku tidak berani menghadap ke belakang. Namun, kami berjalan semakin jauh dari rumah.
Aku ingin menggigit tangan Ayah lalu pulang ke rumah. Aku ingin meminta para penjual yang memelototi kami untuk menolongku. Aku ingin berteriak minta tolong kepada para tetangga yang sibuk berbisik-bisik.
Tapi, seolah mulutku terkunci. Seluruh badanku tidak bisa mengelak. Seolah pasrah akan keadaan. Aku menatap langit, berharap sebuah petir di siang bolong menyambar Ayah. Namun, sia-sia.
Hingga, tibalah kami di sebuah markas. Seorang bapak tua berjenggot putih dan berbadan kekar rupanya sudah menunggu kami. Tampangnya tersenyum licik sambil memegangi sebotol bir.
Aku melirik ke seorang budak berkulit gelap yang menatapku sedari tadi. Aku bisa tahu dia adalah budak karena ia membawa banyak sekali barang hanya dengan dua tangannya—dan ia sangat kurus sekali. Dan, tidak hanya satu, tapi banyak.
"Bagus ... bagus. Ini bayaranmu, tuan. Besok jika kau masih ada hutang lagi, bawalah ibu dari anak ini kemari." ujar bapak tua itu seraya bergantian menarik tanganku. Menatapku dengan senyum mengerikan.
Seketika itu juga, aku tahu apa maksud Ayah membawaku kemari.
Tak lama lagi, neraka dunia akan menarikku paksa, membawaku ikut terbakar di keraknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Pembebasan - Viva Fantasy
Fanfiction"Nanti, esok hari kau akan menjadi orang hebat. Kau akan bebas. Kau akan temukan makna kebebasan. Jangan sampai seperti Ibu, terjerat dan terbelenggu." Siapa yang tidak mengenal anak itu? Yang setiap sore selalu berbelanja ke penjual lauk dengan ke...