2. Neraka Dunia

555 61 47
                                    

 Writer : Lyra (alyranair)

 Segera setelah Ayah menerima uang, ia meninggalkanku di depan bapak-bapak kekar tadi. Rambutnya sepenuhnya putih. Tubuhnya kekar. Janggut putihnya terurai berantakan di bawah dagunya, tak terurus. Brewokan.

Pria itu menatapku dengan tatapan tak suka. Lantas dengan dagunya ia mengisyaratkanku untuk masuk, mengikutinya ke dalam.

Bangunan itu berbentuk memanjang ke belakang, seperti gudang. Lantainya tanah. Di kanan-kiri berbagai macam benda tertumpuk tak beraturan menutupi dinding gudang. Mulai dari kotak-kotak berisi senjata – macam belati kecil dan pedang-pedang panjang. Di beberapa sudut karung-karung putih nampak bersandar pada dinding. Entah apa isinya. Juga kotak berisi botol-botol alkohol – yang ini sih familiar. Yang tak familiar itu wajah-wajah baru di sini. Anak-anak dan remaja lelaki berlalu-lalang membawa barang-barang (semuanya lelaki, tak ada anak perempuan). Kebanyakan dari mereka kurus-kurus. Baju mereka robek-robek, menampakkan luka-luka yang masih segar di sekujur tubuh mereka. Aku bergidik ngeri membayangkan apa yang dilakukan om-om brewokan ini kepada mereka.

BRAKK!!

Belum habis aku melihat-lihat, pria itu kasar menarik bagian belakang kausku, lantas membantingku ke sela dinding yang tak tertutup barang. Aku meringis – punggungku sakit. Bantingannya lebih keras daripada Ayah. Sejurus kemudian pria itu melemparkan salah satu karung putih setinggi tubuhku. Karung berat itu sempurna mengimpit tubuhku yang masih terduduk bersandarkan dinding kayu. Bubuk-bubuk putih mengudara layaknya kabut dari dalam karung. Saat tak sengaja kuhirup bubuk itu sedikit, rasanya sesak. Segera aku menutup hidung dan mulut dengan kedua tangan – takut terhirup lebih banyak. Mungkin itu bubuk kapur.

"Angkat karung itu ke kereta kuda, bocah! Dan jangan banyak tanya!" ia menatapku tajam. Aku bergidik ngeri, buru-buru bangun dan berusaha mengangkat karung yang ujungnya terikat itu. Astaga, karung ini sungguhan berat. Lebih berat dari ember penuh air yang kutimba setiap hari. Aku berpikir cepat, memutuskan mendorongnya saja sepanjang jalan. Baru beberapa meter aku berjalan, ah, sesuatu menyentuh punggungku lagi.

DAK!

Ujung sepatu pria itu menghantam punggungku. Keras sekali. Tubuhku terbanting ke depan, menabrak karung putih yang sejak tadi kudorong.

"LEBIH CEPAT, HEH! MASA KARUNG KECIL SAJA KAU TAK BISA??!"

Sekarang aku seratus persen paham mengapa Ayah membawaku ke sini. Ayah menukarku dengan segepok uang yang diberikan pria ini tadi. Mungkin Ayah mau membayar hutang-hutang yang ia ributkan semalam. Sebab tak ada lagi yang bisa Ayah jual, jadilah Ayah menjualku. Meninggalkanku dengan pria yang senang membanting-banting dan menendang-nendang orang sesuka hatinya.

Aku berusaha bangkit, bertumpu pada siku. Aku mendesis pelan. Punggungku terasa nyeri sekali. Mungkin seperti ini rasanya saat Ibu ditendang Ayah tadi. Semoga Ibu dan adik kecilku baik-baik saja. Aku bahkan belum tahu apakah adikku laki-laki atau perempuan. Yang aku tahu sekarang, menjadi anak baik tidak akan menjamin hidupku aman dari hal-hal buruk.

***

"Ssshhtt, kau anak baru?"

Malam itu, setelah seharian disuruh bolak-balik mendorong karung dan mengangkat kotak kayu tanpa jeda (sesekali diselingi tendangan dari om-om brewokan tadi), kami, para budak, dikumpulkan di satu kamar kecil. Kami disuruh berbaris ke samping. Entah hendak diapakan lagi.

"Hei, kau anak baru?"

Aku tersadar dari lamunanku, menoleh ke kanan.

Yang menyapaku barusan adalah seorang anak lelaki. Sedikit lebih tinggi dariku. Tubuhnya kurus dengan kulit cokelat gelap. Rambutnya yang keriting mengembang tak terurus. Tangan kanannya menggenggam tongkat. Saat aku memperhatikan ke bawah, ah... kaki kanannya sudah tak ada. Sempurna terpotong dari lutut ke bawah. Kasihan sekali. Apa yang terjadi pada kakinya?

Jalan Pembebasan - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang