Kinan menghempaskan badannya ke kasur, menepuk-menepuk pundaknya yang pegal. Pekerjaan memotong kacang selesai lebih dari empat jam, dua jamnya dipakai untuk memotong ulang kacang yang dikerjakan Juan. Jika bukan karena menahan rasa malu, mana mau Kinan membantunya.
Gadis itu meraih handuk yang terlipat rapi di ujung kasur, mandi sore dengan air hangat dan sabun chamomile mungkin bisa membantu pikirannya rileks. Baru akan beranjak ponselnya berdering, satu pesan masuk. Dari Citra, kawan lamanya yang kini sudah resmi masuk dalam daftar musuh. Kinan mendecak, mengambil ponselnya kasar.
Palingan juga Citra menghubunginya untuk minta maaf, seperti kebiasaannya selama dua tahun terakhir. Salah sendiri berani-beraninya cewek munafik itu menjadi selingkuhan Indra, mantan pacar Kinan. Padahal saat itu bisa dibilang hanya Kinan teman baiknya. Memang yang namanya kelakuan buruk pasti ada imbasnya, apes perselingkuhan itu tak bertahan lama, baik cinta maupun persahabatan keduanya tidak Citra dapati.
Baru setelah nasi sudah menjadi bubur, Citra memohon maaf pada Kinan. Mana sudi Kinan memasukan Citra dalam lingkaran pertemanannya lagi. Makan tuh cinta! katanya waktu itu.
Kali ini pesannya sedikit berbeda, wajah Kinan mendadak pucat, tangannya juga gemetar. Napas Kinan tercekat tepat di pangkal tenggorokannya, membuat dirinya batuk kecil beberapa kali.
Tenang Kinan, tenang Kinanti, batinnya berbicara sementara mulutnya tidak dapat tertutup namun tidak juga bersuara.
Lamat-lamat dia memandangi layar ponselnya, tidak percaya.
Ini kabar duka. Citra meninggal sore tadi, entah apa penyebabnya. Pesan ini adalah pesan terusan, mungkin saja orang tua Citra yang membagikannya. Tubuh kinan mendadak lemas, hatinya gundah.
Meski begitu membenci Citra, pesan ini mampu meluluh-lantahkan ruang pikirnya. Kenangan indah bersama temannya itu seperti menamparnya kuat, menyisakan pipinya terasa panas. Kinan mengemas barang-barang pentingnya ke dalam sebuah tas jinjing. Dia membatalkan niatnya untuk mandi terlebih dahulu, memilih cuma mengganti pakaiannya dengan dress hitam selutut, membiarkan rambutnya menjuntai ke bawah.
Kinan harus datang menyambangi rumah Citra, gadis itu keluar dari rumahnya, tangannya meraih kunci di dalam tas berniat mengunci pintu pagar dengan gembok.
Pak Kusno sedang menyapu daun pohon nangka yang rontok mengotori halaman menghentikan aktivitasnya, dia melihat anak gadis kontrakannya dengan ekspresi linglung dan muka yang pucat sama seperti tiga tahun lalu saat Kinan kehilangan Papanya.
"Kinan, mau kemana?" tanya Pak Kusno.
Gadis itu tidak menjawab, dia kewalahan untuk mengunci pagar dengan gembok. Tangannya mendadak mati rasa akibat gemetar hebat.
"Nduk!" Pak Kusno menahan tangan Kinan, terkejut mendapati tangan anak itu dingin sekali. Menyadari sesuatu tidak beres. Pak Kusno melambaikan tangan, memanggil Juan yang juga berada di halaman untuk merokok.
Juan sigap menghampiri bapak tirinya, menahan badan Kinan. Gadis itu hanya mematung, tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Pak Kusno membantu menggembok pagar, kemudian memasukan kunci itu ke dalam saku celananya.
Kinan tidak menangis, wajahnya datar tetapi tatapannya kosong. "Lantas mau pergi kemana, nduk?" tanya Pak Kusno nyaris berteriak.
Glup. Kinan menelan ludahnya berat, tetapi tetap tidak mengeluarkan kata-kata.
Mendengar suara ribut-ribut, Mbok siah keluar dari beranda bersamaan dengan Tiara yang baru saja turun dari motor Dwi, segera menghampiri Kinan.
"Pak." ucap Tiara. Bapaknya hanya mengangguk seolah sudah menebak apa yang dimaksud Tiara.
"Saya antar." Juan memegangi lengan Kinan.
Pak Kusno menoleh agak kaget, Juan balik badan menghadap Mbok Siah di belakangnya. Berpamitan untuk mengantar Kinan, sang ibu hanya mengangguk setuju.
Juan mengambil motor matic jadul milik Tiara yang biasa dipakai untuk antar getuk ke pasar. Pak Kusno membantu Kinan naik di belakangnya, gadis itu masih sama linglungnya, tanpa menolak langsung saja dia duduk.
Pak Kusno meremas sapu, memandangi dengan cemas ketika motor itu melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Suasana murung terpancar dari tiga orang yang berdiri di sana. Kejadian ini sama persis ketika Kinan mendapat kabar Papanya meninggal setelah pulang menjenguknya. Wajah Kinan pucat pasi, tatapannya kosong, tidak menangis lebih cenderung seperti orang bingung, kehilangan arah.
Malam itu juga Pak Kusno dan Mbok Siah yang mengantarnya pulang ke rumah, sesampainya di sana Kinan juga tidak menangis, tetapi setelah jasad papanya dikubur baru tangis gadis itu pecah. Traumanya begitu mendalam menjadi salah satu alasan mengapa dia tidak pernah pulang ke rumah aslinya malah memilih untuk ngontrak di rumah bagian belakang gudang getuk. Kinan juga tidak mengizinkan ibunya datang menjenguknya, berjaga-jaga takut terjadi hal yang sama.
Ibunya hanya bisa menurut, menanti anak ragilnya pulang menjenguk atau sekedar menelpon sesekali. Siapa sangka dibalik sikap sembrono nya Kinan menyimpan duka. Tak banyak yang tahu, kecuali keluarga Pak Kusno.
Motor matic itu melenggang di jalan besar, jalanan ramai tapi berduaan diatas motor dalam situasi seperti ini terasa sunyi. Juan sesekali melirik wajah Kinan dari kaca spion. Tiba-tiba lelaki itu duduk tegak saat kepala Kinan menyender pada punggungnya. Sedikit kaget tapi dia tidak protes.
"Alamatnya di mana?" tanya Juan.
"Gang kecil samping toko emas Anita, di belakangnya ada rumah dengan pagar hijau." Kinan menjawab sebisanya.
Juan tak melanjutkan pertanyaan padahal lelaki itu juga tidak tahu di mana toko emas Anita, hapal jalan sini saja enggak.
Seingatnya 12 tahun lalu Tegal tidak seramai ini, belum ada akses besar menuju jalan tol, kios-kios di bahu jalan juga tidak ada. Bermodal sok tahu dia bergantung pada ingatannya yang sudah berkarat mencari lokasi tujuan yang dimaksud Kinan.
Setelah setengah jam mengemudi, Juan hampir putus asa memperhatikan jalan, kanan-kiri dia lihat papan nama dari kios-kios yang berjejeran tidak satupun bertuliskan "Toko Emas Anita" paling-paling sate kambing muda atau tahu aci. Lelaki itu memutuskan untuk berhenti sejenak di warung rokok pinggir jalan, ada banyak ojek online di sana mungkin salah satunya tahu lokasi toko yang dicarinya.
"Gue turun dulu, mau beli minum." ucap Juan pelan, berbalik badan menggeser kepala Kinan dari punggungnya perlahan.
"Gak usah, kita minum di sana aja. Nanti gak keburu ketemu Citra."
"Masih ketemu, sebentar doang." pinta Juan.
Terpaksa Kinan menarik kepalanya dari punggung Juan, dia menaikkan dagunya, melihat pantulan dirinya dari kaca spion. Menyedihkan.
Juan berlari kecil menuju warung, di sana dia mengobrol akrab dengan beberapa orang menanyakan arah. Kemudian kembali membawa air kemasan botol, diberikannya ke Kinan. Gadis itu hanya menggeleng tidak mau.
Juan kembali tancap gas, memutar balik toko emas itu sudah terlewat sekitar 500 meter. Kata salah satu ojol tadi plang toko sudah lama dicabut karena bangkrut, sekarang berganti jadi toko beras dan minyak curah. Kinan tidak bertanya apapun pada Juan yang memutar arah.
Tak lama toko beras yang dikatakan terlihat, sepotong bambu dengan bendera kuning diikat pada sebuah tiang listrik yang ada di muka gang. Ramai kendaraan terparkir dari para pelayat, Juan ikut memarkirkan kendaraannya di sana.
Kinan turun lebih dahulu, tapi tidak segera masuk ke dalam. Gadis itu menunggu Juan menyusulnya, keduanya berjalan sejajar. Ekspresi Kinan tetap sama, tapi dari maniknya matanya sudah nampak bulir air mata.
Sesampainya di ambang pintu, suara-suara tangis kian jelas terdengar. Berpegangan dengan Juan, Kinan duduk di samping Bu Dini, ibunda Citra.
"Maafkan Citra ya kalau pernah berbuat jahat sama Kinan." ucap Bu Dini.
Tangan Kinan begitu dingin seperti membeku, bibirnya juga terlihat biru. Gambarannya saat ini hampir seperti mayat hidup. Gadis itu hanya diam, mematung memandangi kain jarik yang dibawahnya ada tubuh Citra sudah terbujur kaku.
Juan tak berani mengeluarkan sepatah kata penghiburan hanya ikut duduk bersebelahan dengan Kinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Mohon, Jangan Dulu Hari Senin (Kinan. Vers)
Teen FictionBerharap mendapat ketenangan di hari libur, Kinan malah harus terlibat serangkaian kejadian dengan keluarga Pak Kusno, sang pemilik rumah kontrakan di belakang gudang getuk goreng. Mulai dari saat Kinan bangun tidur karena suara nembang dari Mbok Si...