Satu jam duduk bersila membuat kaki Juan kram, dia memelas memandangi gadis yang baru dikenalnya siang tadi. Kinan tak kunjung berdiri dari duduknya masih menatap nanar kain jarik di hadapan mereka.
Tak tahan, lelaki itu berdiri, berjalan keluar bergantian dengan para pelayat yang hendak masuk menengok. Juan meraih bungkus rokok dari sakunya, mengeluarkan rokok sebatang. Sial! Karena tadi terburu-buru dia lupa pemantiknya tertinggal di kursi.
"Ada korek, Mas?" Juan bertanya pada seorang pria berbadan tambun yang juga ikut keluar untuk merokok.
Pria itu menyalakan rokoknya terlebih dahulu kemudian diberikan pemantiknya ke Juan, segera Juan menyambutnya dan melakukan hal yang sama. Kepulan asap dari keduanya membumbung tinggi.
"Mas atau Mbak nih?" pria tambun di sampingnya memulai percakapan.
Juan tersenyum lantas menjawab. "Saya cowok tulen."
"Siapanya Kinan, Mas?"
Juan menoleh, kaget jika pria itu mengenal Kinan. "Teman atau tetangga ya? bisa dibilang teman meskipun baru kenal tadi siang."
"Bagus!" seru pria itu, mengacungkan jempol tangan kirinya.
Senyum getir muncul dari sudut bibir Juan berusaha mencerna seruan barusan.
"Karena baru dekat lebih baik segera jaga jarak, susah kalau sampai suka sama perempuan egois, maunya menang sendiri, ngerasa paling benar," pria itu menghisap dalam-dalam rokoknya.
"Mana ada perempuan setahun pacaran diajak married gak mau, alasannya karena trauma sama bapaknya. Cah wedok problematic!"
Juan berdecak, meludah dengan kasar, pria tambun itu melongok menatapnya. Seakan-akan tidak ada yang salah dengan ucapannya. Entah mengapa kalimat-kalimat yang keluar dari bibir pria itu tidak disukainya. Bisa saja dirinya tidak ambil pusing akan perkataan pria itu, tetapi berbicara tidak baik di sebuah keadaan duka tidak dibenarkan.
"Ada obrolan yang lain gak, Mas? Seperti kapan Indonesia Merdeka?siapa pencipta teori bumi itu kotak? Atau kenapa katak disebut hewan amfibi? Apapun itu selain Kinan,"
"Dia lagi berduka, keburukannya gak perlu dibahas." Juan mematikan rokoknya yang masih setengah.
"Justru niat saya itu baik lho, supaya kamu gak dipermainkan sama cewek brengsek itu. Mukanya saja cantik, hatinya zero akhlak, Bro."
Tangan kanan Juan sudah mengepal sempurna, tinggal diayunkan saja tepat ke wajah pria itu. Standarnya pukulan Juan bisa mematahkan dua gigi atau lebih. Itu lebih dari sekedar cukup untuk membungkam mulut ember pria itu.
"Apa beda-"
"Dia gak ada urusannya sama kamu ya, Ndra!" seru Kinan yang tiba-tiba saja muncul di antara keduanya. Memotong perkataan Juan, juga menunda pukulan Juan yang hampir mendarat.
Entah sejak kapan Kinan mendengarkan percakapan antara dua pria itu, tapi kini wajahnya terlihat agak mendingan gak linglung, pucet apapun itu yang mirip zombie walaupun mode galak. Terpintas heran dalam benak Juan jika gadis itu memiliki kepribadian ganda.
Pria tambun itu Indra, mantan kekasih Kinan sekaligus selingkuhan mendiang Citra. Kinan mengumpat kesal dalam hatinya. Baginya Indra tak pantas hadir di sini, dia adalah sumber kehancuran persahabatannya dengan Citra.
"Lo sama gue udah gak ada urusan lagi, gak usah sok kenal, bawa-bawa nama gue buat apa sih? Ngasih tau aib gue ke seluruh dunia pun gak bakal bisa jadi senjata penyelamat, apa efeknya buat buat dunia? Gak ada!"
Celotehan Kinan, hampir mengundang beberapa mata tertuju ke arah mereka bertiga. Wanita memang sulit ditebak, moodnya naik-turun seperti roller coaster asal jangan sampai remnya blong.
Juan merenggangkan kepalan tangannya, membuang muka, memilih tidak ikut terlibat lebih jauh. Ini masalah masa lalu dia tidak ada hubungannya. Usahanya percuma baru hendak menuju motornya, tangan Kinan lebih dahulu menarik lengan lelaki itu.
"Mau gue nikah atau gak nikah bukan urusan lo! Sama dia atau bukan juga bukan urusan lo, lo urus aja tante-tante girang lo!"
Berada di situasi yang tidak menguntungkan membuat Juan terpaksa memasang muka kambing congek andalannya. Indra tercengang saat dihujani omelan Kinan, pria itu bahkan hampir membakar tangannya dengan rokok yang tengah dia pegang. Speechless, kalau bahasa Indonesianya cengok. Kini terlihat mukanya yang menyesal setelah meracau tidak jelas perihal mantan kekasihnya itu. Kapok, gak lagi-lagi.
Kalau Kinan saat ini? jangan ditanya sumpah serapah sudah keluar dari bibir mungilnya alangkah lebih baik jika tidak didengar, kalau di dalam acara televisi mungkin sudah berkali-kali terdengar bunyi beep-beep.
"Lo juga kenapa diladenin orang kayak dia?" kini Juan ikut kena omelan Kinan. "Ayo, pulang!"
Kinan berjalan di depan Juan, tangannya masih mencengkram lengan lelaki itu dengan kuat. Emosinya masih berapi-api, tak ingin menambah masalah baru tanpa banyak gaya Juan langsung menyalakan sepeda motornya.
Kendaraan itu berdecit ketika Kinan naik seperti membanting dirinya di kursi boncengan. Juan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian berlenggang meninggalkan rumah berpagar hijau.
Apes! Masih sekitar 35 lagi menuju kediamannya, mana motor matic Tiara banter-banter hanya bisa berjalan di kecepatan 40 cc menyamai kecepatan motor kecil yang sering disewakan untuk anak-anak saat pasar malam.
"Denger apa aja lo dari mulut buaya air tawar itu?" tanya Kinan sensi.
"Gak banyak." Juan menjawab dengan terbata-bata.
"Dia mantan gue, sekaligus mantannya si Citra yang tadi kita ngelayat. Dia selingkuh-"
"Tunggu, tunggu!" Juan memotong kalimat Kinan. "Gue gak mau denger soal masalah lo," tambahnya.
"Bagus deh!" singkat Kinan.
"Kalau gitu, nanti di tukang burjo berhenti ya."
"Kata siapa gue mau berhenti? Ini motor aja jalannya kayak bebek lagi fashion show, lo bisa-bisanya minta gue buat mampir-mampir dulu."
"Lo harus makan, ini bubur kacang ijo khas indonesia. Mana ada di Malaysia lah, takde lah tuh." Kinan menirukan suara kakak perempuan yang ada di serial kartun.
"Bahasa melayu lo kacau, pake Bahasa Indonesia aja." Juan berusaha untuk tidak balik memarahi gadis itu. Dia tahu konsekuensinya Kinan bisa kembali ke mode galak seperti saat memaki-maki Indra tadi.
"Deal!" seru Kinan menutup mulutnya.
Berhenti di tukang bubur kacang hijau di pinggir jalan, Juan memarkirkan motornya sembarang. Kinan sudah duduk lebih dulu, Juan mengikuti Kinan.
"Bubur kacang hijau satu, eh lo mau apa?" Kinan menyikut lengan Juan di sebelahnya.
"Sama aja." Lelaki itu menjawab dengan lesu.
Diagnosa asal-asalan Juan sepertinya benar, Kinan memiliki kepribadian ganda, sesaat sedih, linglung, tiba-tiba marah dan kini berlaku normal, sekalipun dia tidak benar-benar tahu kondisi gadis itu dalam keadaan normal.
Dua mangkuk bubur kacang hijau hangat disuguhkan ke hadapan mereka. Kening Kinan yang mengernyit mulai terlihat kembali tenang saat suapan pertama masuk. Membuat Juan melihatnya heran, apa seenak itu rasanya? batin lelaki itu.
"Bukannya makan malah ngeliatin gue, emangnya bisa bikin kenyang." celetuk Kinan, manik matanya memperhatikan Juan yang sedari tadi menatapnya.
Juan mengaduk-aduk sendok di dalam mangkuk. "Gue emang kenyang, gak bisa makan banyak."
"Alah, paling kalau sampai rumah langsung nyeduh mie."
"Ada cerita dibalik bubur kacang ijo ini," Kinan berdiri dari kursinya. "Mbak, minta karet gelang satu."
Pedagang dengan cepat memberikan karet gelang pada Kinan, gadis itu membalas tersenyum manis.
Kinan memberikan karet gelang itu ke Juan. "Kuncir nih! pasti gerah."
Awalnya lelaki itu terlihat bingung, tidak menyangka Kinan memperhatikannya. Juan langsung menguncir rambutnya, sembarang yang penting angin bisa berhembus melewati tengkuk lehernya yang banjir keringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Mohon, Jangan Dulu Hari Senin (Kinan. Vers)
Novela JuvenilBerharap mendapat ketenangan di hari libur, Kinan malah harus terlibat serangkaian kejadian dengan keluarga Pak Kusno, sang pemilik rumah kontrakan di belakang gudang getuk goreng. Mulai dari saat Kinan bangun tidur karena suara nembang dari Mbok Si...