Di sebuah kota kecil yang penuh kehangatan dan cerita, Zara sering kali datang ke masjid selepas salat Ashar. Ia menikmati suasana tenang di sana, tempat di mana hatinya merasa damai. Di masjid inilah ia pertama kali mengenal Farhan, seorang pemuda tampan yang selalu tekun beribadah. Setiap kali bertemu, mereka hanya saling tersenyum, namun di dalam hati Zara, ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh—rasa yang sulit ia pahami.
Sore itu, setelah selesai membaca beberapa lembar Al-Qur'an, Zara duduk di beranda masjid. Udara sejuk membelai wajahnya, membuat pikirannya tenang. Ia menatap langit yang mulai memerah di ufuk barat, dan tanpa sadar, pikirannya kembali melayang pada sosok Farhan—pemuda yang diam-diam telah mengisi hatinya. Namun, Zara selalu menahan perasaannya, menyadari bahwa Farhan bukan orang yang bisa Ia miliki.
Tiba-tiba, di tengah lamunannya, terdengar suara yang sangat ia kenal. "Assalamu'alaikum, Zara," suara itu lembut, menyentuh telinganya seperti angin sepoi-sepoi. Zara tersentak, sejenak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menoleh dan mendapati Farhan berdiri di belakangnya dengan senyuman hangat di wajahnya.
"Wa'alaikumussalam, Farhan," jawab Zara sambil berusaha menenangkan dirinya, meski hatinya berdebar. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba melanda.
Farhan duduk di sebelahnya, namun menjaga jarak dengan sopan. Zara bisa merasakan kehadirannya begitu dekat, tetapi juga jauh karena keterbatasan yang mereka miliki. Ia berusaha fokus pada Al-Qur'an di tangannya, meski pikirannya terpusat pada sosok di sampingnya.
"Kamu sering ke sini ya, setiap sore?" tanya Farhan, membuka percakapan dengan nada ramah. Suaranya terdengar tenang, seakan mengisi keheningan sore itu.
Zara menatap Al-Qur'an di tangannya, berusaha menenangkan hatinya. "Iya, aku suka suasananya. Tenang, damai," jawabnya dengan senyum kecil, masih berusaha menjaga ketenangan meskipun dalam hatinya bergolak.
Farhan mengangguk pelan. "Aku juga merasa masjid ini istimewa. Setiap kali datang ke sini, rasanya lebih mudah untuk fokus pada ibadah." Ia menatap sekeliling, menikmati keindahan masjid yang sederhana tapi penuh makna bagi keduanya.
Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin sore membawa keheningan. Zara tahu bahwa ini adalah kesempatan langka baginya untuk bisa berbicara dengan Farhan lebih dari sekadar salam atau senyuman. Namun, perasaannya yang semakin hari semakin dalam membuat suasana hati Zara sedikit gelisah. Bagaimana ia bisa terus memendam perasaan ini?
Zara akhirnya memberanikan diri bertanya, walaupun kata-katanya keluar dengan perlahan, hampir ragu. "Farhan..." ia memulai, suaranya agak bergetar. "Bagaimana caranya... tetap kuat ketika hati kita menginginkan sesuatu yang mungkin tidak bisa kita miliki?"
Farhan menoleh ke arahnya, sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Wajahnya terlihat berpikir sejenak sebelum ia menjawab, "Maksudmu, Zara?" tanyanya dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian.
Zara menggenggam erat Al-Qur'an di pangkuannya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Kadang... kita merasa ada sesuatu yang sangat kita inginkan, tapi kita tahu itu mungkin bukan yang terbaik untuk kita. Bagaimana caranya kita bisa ikhlas?"
Farhan menarik napas dalam, menatap lurus ke depan sebelum menjawab. "Itu adalah bagian dari ujian hidup, Zara. Terkadang kita merasa yakin apa yang kita inginkan adalah yang terbaik, tapi Allah lebih tahu apa yang sebenarnya kita butuhkan. Kalau kita mencintai sesuatu atau seseorang, yang terbaik adalah menyerahkannya kepada Allah. Ikhlas itu bukan berarti menyerah, tapi percaya bahwa Allah tahu apa yang terbaik untuk kita."
Kata-kata Farhan menembus hati Zara. Ia tahu bahwa perasaannya ini bukanlah sesuatu yang bisa ia ungkapkan, dan mendengar jawaban Farhan membuatnya semakin yakin bahwa ia harus menyerahkan semua ini kepada Allah.
"Apa kamu pernah merasakan hal seperti itu?" tanya Zara, suaranya lembut namun penuh dengan rasa ingin tahu.
Farhan tersenyum samar, matanya masih tertuju ke arah langit yang mulai berubah warna. "Tentu saja. Semua orang pasti pernah merasakannya. Aku sendiri pernah berada di posisi di mana aku harus melepaskan sesuatu yang aku inginkan, karena aku tahu itu bukan yang terbaik menurut Allah. Tidak mudah, tapi percayalah, Allah selalu menggantinya dengan yang lebih baik."
Zara terdiam, meresapi kata-kata Farhan. Meski hatinya terasa sakit, ia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh. Cinta yang terpendam ini bukanlah sebuah kesalahan, tetapi ia harus meletakkannya di tempat yang tepat—dalam tangan Allah.
"Farhan," Zara memberanikan diri berbicara lagi, meski kini suaranya lebih tenang. "Mungkin kamu benar. Kita memang harus lebih banyak menyerahkan semuanya kepada-Nya."
Farhan menatap Zara dengan senyum hangat. "Kamu sudah berada di jalan yang benar, Zara. Aku bisa lihat kamu punya kekuatan yang luar biasa untuk melewati semua ini."
Zara tersenyum kecil, meski dalam hatinya ada kesedihan yang mendalam. Tapi kali ini, ia merasa lebih ringan. Percakapannya dengan Farhan seolah menjadi jawaban atas doa-doanya selama ini. Meskipun Farhan tidak tahu bahwa dialah yang menjadi sumber kegelisahannya, Zara kini lebih yakin bahwa cintanya harus ia pendam dalam-dalam dan ia serahkan kepada Allah.
Hari-hari berlalu, dan Zara semakin rajin datang ke masjid, bukan lagi karena ingin bertemu Farhan, tetapi karena ia merasa perlu lebih mendekatkan diri kepada Allah. Suatu hari, setelah salat Maghrib, Farhan mendekatinya lagi, kali ini dengan berita yang membuat hati Zara campur aduk.
"Zara," panggil Farhan, suaranya tenang seperti biasa. "Aku akan pindah ke kota lain untuk melanjutkan studi agamaku. Ini adalah keputusan yang sudah lama aku pikirkan."
Zara terdiam sejenak, perasaannya bercampur antara kesedihan dan lega. "Oh... kapan kamu akan berangkat?"
"Bulan depan, insya Allah," jawab Farhan sambil tersenyum tipis.
Zara mengangguk, menahan segala emosi yang berkecamuk di dadanya. "Semoga Allah selalu melindungimu dan memudahkan jalanmu, Farhan."
Farhan tersenyum, kemudian berpamitan. Saat Farhan pergi, Zara menatap punggungnya yang menjauh. Ia merasa ada sesuatu yang lepas, namun sekaligus merasa lebih bebas. Zara tahu, hijrahnya Farhan adalah tanda baginya untuk mulai fokus pada hijrahnya sendiri—untuk mencintai Allah lebih dari apapun.
Malam itu, di kamar kecilnya yang sederhana, Zara memutuskan untuk berhijrah. Bukan untuk mengikuti Farhan, tetapi untuk mengikuti jalan yang telah Allah tunjukkan. Dengan keyakinan baru di hatinya, Zara berdoa, "Ya Allah, aku serahkan semua cintaku ini kepada-Mu. Berikan aku kekuatan untuk mencintai-Mu lebih dari segala hal di dunia ini."
Dalam perjalanannya yang baru, Zara menemukan bahwa cinta kepada Allah adalah yang paling indah dan abadi. Farhan mungkin tidak pernah tahu tentang perasaan Zara, tetapi kehadirannya telah menjadi katalis yang membawa Zara menuju perubahan besar dalam hidupnya. Meski cinta kepada Farhan terpendam dalam hatinya, cinta kepada Allah kini bersinar terang, memberi Zara kekuatan dan kebahagiaan yang sejati.
cerita ini aku ambil dari kisah nyata ya guys....
KAMU SEDANG MEMBACA
oneshoot/twoshoot story
Teen Fictionbanyak orang-orang yang punya cerita tapi bingung buat menceritakannya, jadi aku sebagai perantara dari mereka untuk mengabadikan momen-momen itu dalm bentuk tulisan.