Keputusan yang Tepat

4 1 0
                                    

Di sebuah perusahaan advertising yang ramai, Lisa adalah seorang desainer grafis berusia 27 tahun. Dia selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya, dan semangatnya membuatnya sering menjadi sorotan di antara rekan-rekannya. Namun, ada satu sosok yang lebih menarik perhatian Lisa: Arman, manajer pemasaran yang karismatik.

Setiap pagi, saat Lisa datang ke kantor, dia merasa bersemangat dan berharap bisa berinteraksi dengan Arman. Meskipun dia tahu bahwa Arman sudah beristri dan memiliki dua anak, perasaannya yang tak terduga membuatnya sulit menahan ketertarikan itu.

Suatu hari di ruang rapat, saat semua orang duduk mengelilingi meja besar, suasana menjadi lebih hangat dari biasanya.

"Lisa, desain kamu untuk kampanye ini keren banget! Kamu bisa tambahin sedikit warna cerah di sini?" tanya Arman sambil menunjuk sketsa yang sudah disiapkan Lisa.

"Ah, terima kasih! Pasti, saya akan coba buat lebih berwarna. Keceriaan itu penting, ya?" jawab Lisa, tersenyum lebar.

"Betul! Kita butuh sesuatu yang menarik perhatian orang," Arman berkata, matanya berbinar.

Saat rapat berakhir, Lisa merasa senang. "Gila, dia benar-benar perhatian," pikirnya. Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa ketertarikan ini tidak seharusnya ada.

Setelah beberapa minggu, kedekatan mereka semakin kuat. Suatu malam, saat mereka terpaksa lembur, Lisa dan Arman duduk di meja yang dikelilingi tumpukan kertas dan laptop.

"Ini semua berkat kamu, Lisa. Tanpa kamu, proyek ini bakal berantakan," puji Arman, sambil bersandar di kursinya.

"Senang bisa bantu! Kamu juga bikin kerjaan jadi lebih gampang," balas Lisa, merasa jantungnya berdebar.

"Kadang aku merasa terjebak antara pekerjaan dan keluargaku. Ini sulit, lho," Arman menghela napas, mengungkapkan perasaannya.

"Aku bisa mengerti. Mungkin kamu perlu waktu untuk diri sendiri?" tawar Lisa, berusaha memberikan dukungan.

"Ya, terkadang aku merasa seperti tidak ada yang mengerti. Aku mencintai keluargaku, tapi tekanan kerja sangat berat," Arman menjawab.

Lisa merasakan empati yang mendalam. "Kita semua punya beban masing-masing, ya. Yang penting, kita tetap bersama orang-orang yang kita cintai."

Beberapa hari kemudian, saat Lisa menunggu di kafe dekat kantor, Maya, sahabatnya, datang.

"Hey, gimana kabarmu? Masih sering lembur sama Arman?" tanya Maya, sambil menyeruput kopi.

"Ya, dia memang asik diajak ngobrol. Tapi... aku merasa ini semakin rumit," jawab Lisa, mengerutkan dahi.

"Rumit gimana? Kamu suka sama dia, kan?" Maya menggoda.

"Yah, mungkin... Tapi dia sudah beristri, Maya. Aku tidak mau jadi orang ketiga," Lisa menjawab, menatap cangkir kopi.

Maya mengangguk. "Kamu perlu menjaga jarak, deh. Jangan sampai terjebak perasaan."

Setelah pertemuan itu, Lisa mulai merasa tertekan. Setiap interaksi dengan Arman semakin membuatnya bingung. Suatu malam, dia duduk di sofa, merenungkan hidupnya. "Aku harus memikirkan masa depanku," gumamnya.

Keesokan harinya, Lisa memutuskan untuk berbicara dengan Maya lagi. "Aku merasa harus melakukan sesuatu, mungkin resign," ucapnya, terlihat serius.

"Resign? Gila, itu keputusan besar!" kata Maya, terkejut. "Kamu yakin? Bagaimana kalau kamu menyesal?"

"Tapi ini terlalu sulit untukku. Aku tidak mau merusak rumah tangga orang lain," Lisa menjawab dengan tegas.

Maya menghela napas. "Kalau itu yang kamu rasa benar, aku akan mendukungmu. Tapi kamu yakin kamu siap untuk itu?"

"Ya, aku siap," jawab Lisa, merasa lega setelah mengatakannya.

Hari terakhir di kantor tiba. Saat Lisa bersiap-siap pulang, Arman menghampirinya.

"Hey, Lisa! Kamu terlihat serius. Ada apa?" tanya Arman, menatapnya dengan khawatir.

"Ini hari terakhir saya di sini," jawab Lisa, berusaha tersenyum meski hatinya berat.

"Kenapa? Kamu tidak mau kerja di sini lagi?" Arman tampak terkejut.

"Saya rasa ini keputusan terbaik untuk saya. Saya perlu mencari jalan baru," jawabnya.

Arman mengernyitkan dahi. "Tapi kamu sangat berbakat. Kami akan merindukanmu di sini."

"Terima kasih, Arman. Kamu juga luar biasa. Tapi aku rasa ini yang terbaik untuk kita semua," balas Lisa, berusaha meyakinkan dirinya.

"Kalau gitu, semoga kita bisa tetap berhubungan, ya?" tanya Arman, sedikit ragu.

"Ya, tentu saja," jawab Lisa, namun hatinya terasa berat.

Setelah berpamitan dengan rekan-rekannya, Lisa melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Meski hatinya berat, ia merasa lega. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah langkah untuk menyelamatkan dirinya dan menjaga keluarga orang lain.

Di luar kantor, Lisa menatap langit senja yang indah. "Aku akan melanjutkan hidupku," bisiknya pada diri sendiri, bertekad untuk menemukan kebahagiaan tanpa harus merusak kebahagiaan orang lain.

..........

Beberapa bulan kemudian, Lisa mulai bekerja di perusahaan baru. Ia merasa lebih ringan dan bersemangat. Suatu sore, saat sedang beristirahat, ia menerima pesan dari Maya.

"Hey, gimana kabarmu di tempat baru?" tanya Maya.

"Baik, terima kasih! Aku merasa ini adalah keputusan yang tepat. Semua berjalan lancar," jawab Lisa dengan senang hati.

"Bagus! Aku senang mendengarnya. Apa kamu sudah melupakan Arman?" tanya Maya, penasaran.

"Ya, aku sudah berusaha. Aku lebih fokus pada pekerjaanku sekarang," balas Lisa, meski terkadang bayangan Arman masih menghantuinya.

Suatu hari, saat Lisa beristirahat di taman dekat kantor barunya, dia bertemu dengan Dimas, seorang pria yang bekerja di divisi pemasaran.

"Hey, kamu Lisa, kan? Aku Dimas. Desain kamu yang kemarin keren banget!" ucap Dimas dengan senyum lebar.

"Ah, terima kasih! Senang kamu suka," jawab Lisa, merasakan kehangatan baru.

Seiring waktu, Lisa dan Dimas semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di luar jam kerja, berbincang-bincang tentang banyak hal.

"Jadi, apa hobi kamu selain desain?" tanya Dimas suatu hari.

"Saya suka menggambar dan jalan-jalan. Bagaimana dengan kamu?" jawab Lisa.

"Aku suka fotografi. Kadang aku pergi ke tempat-tempat baru untuk memotret pemandangan," ungkap Dimas, matanya berbinar.

"Seru banget! Mungkin kita bisa jalan-jalan bareng suatu saat," tawar Lisa, merasa nyaman.

"Ya, pasti! Aku senang bisa kenal kamu," balas Dimas dengan penuh semangat.

Seiring waktu, Lisa menyadari bahwa dia bisa mencintai tanpa harus merusak kebahagiaan orang lain. Dengan keyakinan baru, ia siap menghadapi masa depan dan menjalin hubungan yang lebih sehat.

"Aku tidak akan membiarkan perasaan itu menguasai hidupku lagi," gumamnya, merasakan semangat baru dalam hidupnya.

Dengan Dimas, Lisa merasa bahagia dan lebih percaya diri. Dia akhirnya bisa menjalani hidup dengan penuh warna, tanpa bayangan masa lalu yang mengganggu.

Dan dengan itu, Lisa menjalani hidupnya dengan bahagia, fokus pada impian dan harapan yang baru. "Ini adalah langkah baru, dan aku tidak akan menoleh ke belakang," ujarnya, penuh keyakinan.

Ketika ia menatap masa depan, Lisa tahu bahwa cinta sejati dimulai dari mencintai diri sendiri.

terimakasih untuk kamu yang sudah memberikan cerita, keputusanmu sudah tepat..........

oneshoot/twoshoot storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang