2🍒

60 4 0
                                    

Seindah Langit yang dicintai oleh Naisa🌹

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seindah Langit yang dicintai oleh Naisa
🌹

Di pertengahan jalan pulang aku bertemu Langit. Melambai ke arahku.

"Hai, kita bertemu dua kali pagi ini," sapaku riang. Mematung sejenak untuk menunggunya menyusul langkahku. Hingga setelah kami berdampingan, kaki ku melangkah kembali bersamanya.

"Kamu sudah selesai membantu PR nya?." Langit menoleh ke arahku.

Aku mengernyit, balas menatapnya. Tahu dari mana dia?

"Mengajak berdiskusi, itu artinya ada persoalan yang harus diselesaikan. Bagi siswa seperti kalian, apa lagi yang di diskusikan selain tugas sekolah?. Diskusi soal kehidupan atau lebih tepatnya 'adu nasib' selalu kalian lakukan di taman bermain, kan?," Tuturnya dengan gaya menebak asal-asalan seolah menjawab ekspresi kebingungan ku.

Aku terkekeh, "kalian? Bukannya kamu juga seorang siswa?"

"Aku... Sebentar lagi kan bukan siswa," sahutnya singkat, berubah raut.

"Kamu sedih?"

"Tentu saja tidak. Ada banyak hal yang harus di lakukan orang dewasa selain bersedih." Langit selalu membuatku kagum, pembawaannya yang tenang dalam segala situasi membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Tidak ingin nampak terpana di hadapannya, aku menjadikan tawa sebagai tameng.

"Ahahaha... Apa kamu sudah merasa dewasa?," Ledek ku, berpikir bahwa dirinya tidak cukup dewasa di mataku. Remaja 17 tahun yang menyukai kucing, tidak suka didekati gadis lain di sekolah, malah lebih suka bermain game yang baru dirilis. Tapi ada satu hal keren yang ku akui darinya, suaranya bagus. Apalagi ketika mendengarkannya murotal di mesjid. Membuatku takjub dan sejenak melupakan tingkah anehnya saat bersamaku.

Langit tidak merespon tawaku, hingga ketika tawaku terhenti jalanan kembali lengang. Ada apa dengan langit? Akhir-akhir ini selera humornya berkurang.

"Langit?" Aku menegurnya, "kamu baik-baik saja?," Tanyaku dengan raut khawatir sembari menangkup kedua pipinya dan menolehkannya padaku.

Dia pun tersenyum manis, menepuk kepalaku lembut, "Terima kasih, Chii. Usiamu yang lebih muda dariku tidak membuatku merasa berbicara dengan anak kecil?," Ucapnya. Padahal baru saja aku membuat kesalahan.

"Eh?" Aku pikir dia akan marah.

"Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu sebenarnya remaja seumuran ku yang terjebak di tubuh anak kecil," lanjutnya santai.

"Hahh?!!!" Lagi-lagi hanya kata heran yang keluar dari mulutku.

Apa yang dipikirkan oleh Langit?

"Aku mau ke rumahmu, boleh?," Pintanya padaku, "ingin melihat Inchii." Langit mengangkat plastik putih di tangan kanannya yang ku lupakan.

"Kamu membeli wortel?" Dia balas mengangguk, "hanya untuk Inchii?" Dan Langit mengangguk lagi.

"Yah, payah. Kamu tidak mengerti azas ekonomi, sekarang kan wortel mahal tahu!" Seruku tidak terima karena Langit membuang-buang uangnya hanya untuk memberi makan kelinci kesayangan ku. Padahal aku terbiasa memberi pakan seadanya. Bahkan terkadang daun ubi ungu.

Seandainya Aku Jadi Awan Where stories live. Discover now