Dua

347 24 4
                                    

Jauh sudah langkahku
Menyusuri hidupku
Yang penuh tanda tanya

Kadang hati bimbang
Menentukan sikapku
Tiada tempat mengadu

Hanya iman di dada
Yang membuatku mampu
Selalu tabah menjalani

***

"Kenapa kamu tidak tinggal bersama papamu nak?"

Bibir Friska mencebik kesal. "Friska gak bisa melihat papa tanpa ingat pengkhianatannya sama mama. Tiap Friska ketemu papa kebencian itu pasti muncul."

Mama Friska membelai rambut anaknya yang tiduran di pangkuannya. "Friska sayang, kamu harus bisa maafin papa kamu. Jika memang kamu tidak siap kembali pada papamu, mama harap kamu bisa segera menemukan imammu. Mama baru bisa tenang jika sudah ada yang menjaga kamu."

Friska mengerang frustasi mengingat mimpi yang beberapa malam terakhir ini mengganggu tidurnya. Mimpi yang sama, wasiat mama untuk kembali ke papa atau segera menikah hanya karena alasan yang menurutnya klise. Supaya ada yang bisa melindungi Friska. Padahalkan dia bukan anak kecil lagi, dia sudah dewasa bisa hidup sendiri. Tapi dia tak ingin jadi anak durhaka, membiarkan mamanya tidak tenang di alam sana.

"Apa yang harus kulakukan?
Aku tidak ingin tinggal sama papa. Tapi aku juga tak mungkin bisa segera menikah.
Memangnya siapa yang mau menikahiku?
Pria yang kucintai justru tengah berbahagia dengan keluarga kecilnya." Batin Friska.

"Aaarrrggghhh..." Friska mengerang untuk yang kesekian kalinya.

"Friska kamu baik-baik saja?"

Pria yang baru saja ia pikirkan kini ada di depannya.

"Eh Pak Reza . . . Saya baik-baik saja." Jawab Friska canggung.

"Baguslah. Oh ya, saya turut berduka cita atas meninggalnya ibumu. Maaf tidak bisa hadir ke pemakaman karena saat itu saya masih di Bali."

"Tidak apa-apa."

Friska tersenyum miris. Disaat dia sedang berduka karena kehilangan mamanya, justru pria yang dicintainya tengah berbahagia menjalani bulan madu keduanya.

Kenapa hidupnya harus semalang ini?

***

"Kamu jangan seperti ayah, usia sudah 60 tahun belum punya cucu. Makanya kamu cepat nikah dan beri ayah cucu."

Bintang mengacak rambutnya mengingat ucapan ayahnya tadi pagi. Kata-kata sama yang diucapkannya setiap Bintang pulang ke rumah.

Sebagai putra pertama, ayahnya terus mendesak Bintang agar segera menikah. Itulah alasan Bintang memilih tinggal sendiri di apartemen, dia bosan dengan desakan kedua orang tuanya. Dan ia menyesal kenapa harus pulang tadi malam.

Bintang memainkan ponsel berusaha mengalihkan pikirannya. Sesekali ia tertawa geli melihat foto dirinya saat bersama Friska di salah satu wahana permainan di taman hiburan minggu lalu. Di foto itu Bintang dan Friska bergaya konyol seperti anak alay jaman sekarang.

"Tante mohon kamu bisa segera menikahi Friska dan menjaganya dengan baik. Agar almarhum kakak saya bisa tenang di alamnya."

Kata-kata Tante Marina terngiang di telinga Bintang. Tante Marina salah paham menganggapnya sebagai kekasih Friska dan dia tidak sempat mengklarifikasi kesalah pahaman tersebut.

Friska harus menikah jika tidak ingin tinggal bersama papahnya.

Bagaimana kalau dia mengajak Friska menikah?

Bintang KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang