Chapter 05 | Nasip Fatiha

4 0 0
                                    

Jakarta 21;00

Melihat ponsel yang terus berdering Dwi hanya menimbang untuk mengangkat atau tidak, jika diangkat ia harus pulang jika tidak diangkat sudah sejak tadi ponsel itu terus berdering. Tertera nama ibunya disana, berarti penting.

“Aku angkat telepon dulu.” Dengan jengkel ia menjauh dari teman-temannya yang sedang ada di sebuah kafe.

“Halo.” Sapanya.

“Kamu dari mana saja? Ibu dari tadi telpon.” Wanita paruh baya itu juga ternyata sudah jengkel dengan kebiasaan putranya yang enggan menerima telepon dari keluarga.

“Dikamar mandi, bu. Kenapa?”

“Pulang dulu, ibu tunggu sekarang ada yang mau dibicarakan!”

“Aku ga bisa, bu. Lagi sama teman ada kerjaan juga.”

“Cuma sebentar, Dwi! Ibu tunggu sekarang!”

Panggilan berakhir Dwi kembali berjalan mendekati mejanya seraya kembali memasukan ponselnya dalam saku.

“Balik duluan.” Ia meraih jasnya hendak pergi.

“Kemana sih masih sore?” Kata salah satu temannya.

“Ada urusan, besok malam ketemu tempat biasa.” Ia segera meninggalkan meja teman-temannya. Mengendarai mobil putih melewati tol dalam kota menuju rumah mewah orang tuanya.

Begitu sampai rumah, asisten rumah tangga sudah bersiap meraih jasnya. “Nyonya dan tuan di ruang keluarga, den.”

Tidak membalas sapaan asisten rumah tangga, ia segera masuk dalam ruang keluarga diman ibunya sedang duduk di sofa besar sedangkan ayahnya duduk di kursi kerja.

“Selamat malam.” Sapanya lantas duduk di depan sang ibu.

“Mm... sudah sampai, makan dulu?” tanya Tiyas tanpa melihat Dwi.

“Ga usah, Yah. Tadi udah makan sama temen.”

Mega membuak tas tangan lantas meletakan selembar foto di atas meja kemudian mengesernya ke hadapan Dwi. “Calon istri kamu.”

Dwi mengangkat alisnya, meraih lembar foto itu. Gadis sederhana dengan kerudung putih terurai, wajahnya tanpa polesan mek up.

“Istri?” Dwi malah tertawa. “Aku belum mau menikah. Aku masih heppy dengan pergaulan sekarang." Dwi kembali meletakan lembaran foto itu, sama sekali tidak berminat untuk berlama-lama dengan urusan seperti ini.

“Karena itu, ibu carikan kamu jodoh. Kamu keluyuran tiap malam ga jelas, gonta-ganti perempuan. Mending kamu punya istri lebih jelas. Nur juga cantik cuma sederhana saja, nanti juga kalo udah hidup di jakarta dia pasti menyesuaikan gaya dengan pergaulan kamu.”

“Yang penting dia perempuan baik-baik.” Tiyas menambahkan ucapan Mega meski sedari tadi ia hanya menyimak. Membiarkan istrinya yang bicara, karena jika dirinya yang menghadapi Dwi sudah dipastikan hanya akan berakhir perang dingin.

“Aku punya pacar sendiri.”

“Siapa? Federica itu, ibu ga suka, dia menganggap ibu kaya temennya sendiri. Terlalu tidak ada batasan, itu akibat dengan orang tuanya terlalu berteman jadi tidak ada batas orang tua dan anak.”

“Loh bukannya bagus, bu. Ibu jadi punya temen.”

“Nda. Nda seperti itu konsepnya sebuah kehormatan harus tetap dijaga. Si Nur sangat sopan juga sungkan pada kami, dia pandai menjaga sikapnya.”

“Aku menolak perjodohan ini, bu.” Kata Dwi berdiri dari duduknya bersiap keluar dari ruangan. Persetan dengan pernikahan.

“Kalau kamu tidak bisa menerima permintaan ibumu, jangan salahkan ayah jika tidak ada namamu di antara daftar pewaris.”

Sila...

Orang tua jaman sekarang memang pandai mengikat anaknya dengan hak waris. Dwi tertahan berdiri di sana masih mendengarkan dengan cermat permintaan ayahnya karena tidak mungkin ia hidup tanpa hak waris.

“Ibumu tidak sembarangan memilih wanita.” Kata ayahnya lagi.

Sesat Dwi masih diam lantas memalingkan wajahnya. “Aku pertimbangan dulu.”

Mega langsung berdiri dari duduknya, daripada anak itu mengatakan tidak. Lebih baik dengan jawaban pertimbangkan. “Anak kesayangan ibu.” Mega memeluk Dwi. “ibu jamin kamu ga kan kecewa sama dia, dia bukan anak kota yang semua lelaki pernah dekat.” Mega tersenyum bahagia. “Aku juga ingin segera punya cucu.”

“Mmm...”

“Ya sudah kamu istirahat sana.” Mega membiarkan Dwi keluar dari ruangan kerja suaminya.

Dwi yang keluar dari ruangan itu keluar dengan kepalan tangan, jadi telpon kemarin pagi benar. Anak gadis itu dari pesantren Solo. Bukannya istirahat di kamarnya, malam itu juga Dwi pergi ke club malam menghabiskan malam dengan teman-temannya juga berbotol-botol minuman sampai mabuk.

Dua teman lelaki Dwi hanya melihat heran tingkah sahabatnya malam ini, yang terlihat jengkel. “Kenapa?” wajah keduanya saling bergerak mengarah pada Dwi.

“Tau.” Akhirnya pesta sesaat diakhiri keduanya, juga para wanita yang ada di sana duduk mendekat pada sofa panjang dimana Dwi duduk.


Suara musik masih terdengar keras saat salah satu teman lelaki Dwi mendekat. “Kenapa ga ikut turun? Gara-gara ga ada Bella, dia masih ketat sekarang, mami beum luas ngeluarin semua anaknya. Semejak kejadian Vio.”

Dwi menggeleng lantas meraih gelas alkohol di atas meja. “Disuruh nikah.”

Mendengar itu teman-teman Dwi tertawa terbahak-bahak.

“Lagu lama, orang tua minta keturunan dari cewek baik-baik, sedangkan kita dajjal ga suka cewek baik-baik.”

Ketiganya kembali tertawa.

“Ya udah nikahin aja, kasih cucu yang banyak. Bisakan bikin hamil betina?" Ketiga temannya kembali tertawa. Sedangkan Dwi masih berpikir dengan senyuman licik.

Setelah pesta usai dengan sempoyongan pria itu keluar dari klub malam, sopirnya langsung berlari saat melihat tuan mudanya sempoyongan keluar dari pintu diskotik.

"Saya bantu, pak." Kata sopir Dwi. Mencoba memapah.

Dwi menggeleng ia tetap jalan sendiri menuju mobil bagian belakang yang pintunya sudah terbuka. "Antarkan ke apartemen, jangan kerumah!"

"Baik pak." Kendaraan itu segera meninggalkan halaman diskotik, sedangkan Dwi sepertinya langsung tidur di kursi belakang.

***

Solo, pagi ini.

"Bagaimana bah penampilan ibu?" Nyai Hasna meliuk-liuk tubuh yang berbalut gamis hijau muda di depan kyai Umar. "Seneng banget mau jemput calon mantu." Senyumnya merekah.

"Sudah pas, sudah bagus." Goda kyai Umar menangkup wajah nyai Hasan. "Abah meridhoi Umma, dunia akhirat."

"Ih … Abah." Memukul pelan dada kyai Umar dengan senyuman malu-malu. "Ayu kita lihat cah lanang sudah siap apa belum."

Dengan menggandeng kyai Umar, nyai Hasna keluar dari kamar menuju ruang keluarga dimana disana tangga menuju lantai dua ada.

Aiman yang sedang menuruni tangga perlahan dengan wajah tertekuk juga peci yang tidak dikenakan terlihat muram.

"Kenapa toh, Gus? Uma lihat dari semalam wajah kamu ditekuk aae." Nyai Hasna segera melepaskan genggaman tangannya pada kyai langsung berjalan mendekati Aiman.

Nyai Hasan sampai mengusap dahi Aiman takut-takut akan itu sakit. "Kamu ga demam."

"Aiman masih ragu untuk datang." Katanya sesaat melihat Hasan.

"Kita berkunjung dulu, Asma juga belum tentu setuju. Jadi kamu jangan terlalu percaya diri." Kata Kyai tidak suka dengan keragu-raguan Aiman. "Sebagai laki-laki kamu harus punya sikap, Man. Maju dengan mantap."

"Iya, Bah."

Bagaimana Aiman bisa maju dengan mantap, sedangkan lubuk hatinya masih terisi kecemasan akan Fatiha. Apa gadis itu sudah yakin menerima perjodohan ini, apakah calonnya kelak akan membahagiakannya? Dan yang paling penting apakah ia akan patah hati?

"Kita percayakan pada Aiman, Bah. Dia itu tegas seperti Abah tapi lembut seperti Umanya. Iya kan Nang?" Nyai Hasna tersenyum lantas membawa Aiman ke arah ruang makan untuk sarapan. "Kita sarapan dulu biar semangat liat calon mantu Uma."

Bersambung…







Perempuan Berniqab Hitam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang