Chapter 06 | Pertemuan Aiman dan Asma

3 0 0
                                    

Kediaman Ning Asma Qatrunnada :

“Assalamualaikum.” Suara berat kyai Umar mengucapkan salam pada sahabat yang sudah berdiri dengan sang istri di depan gerbang rumah mereka.

“Waalaikumsalam, sahabatku.” Keduanya saling berpelukan ba kawan lama yang telah lama tidak berjumpa.

“Bagaimana perjalanan kemari, lancar?” tanya kyai Daud sembari melebarkan jalan mempersilahkan keluarga Aiman masuk.

“Alhamdulillah seizin Allah semuanya lancar, saking ingin secepatnya bertemu calon besan.” Tertawa puas kedua kyai itu atas perjodohan putra putri mereka. Kedua perjodohan anak pesantren terbesar di solo.

Dengan patuh Aiman mengikuti dari belakang sampai masuk ke dalam rumah. Rumah kiyai Daud nampak sangat asri dengan desain rumah-rumah jaman dulu jauh dari modern. Berbeda dengan rumah kyai Umar yang bersebelahan dengan pesantren. Rumah kyai Daud butuh waktu 15 menit untuk sampai ke pesantrennya.

“Selamat datang di gubuk kami, Kyai Umar, nyai Hasna,” ujar istri kyai Daud mempersilahkan nyai Hasnah untuk duduk.

"Sama-sama gubuk, nyi Afifah." Ujar nyai Hasan lantas duduk.

Kedua wanita itu tertawa pelan, setelah beramah tamah sebentar nyai Afifah undur diri. “Saya tinggal sebentar.”

“Mau kemana nyai Afifah ini? Nda usah repot-repot.” Kata yai Hasan memegang tangan nyai Afifah, ibu dari calon istri Aiman.

“Da papa sebentar, nyai.” Nyai Afifah berpamitan berjalan menuju dapur dimana Asma dengan dua orang asisten rumah tangga tengah membantu membuatkan minum.

“Sudah selesai minumannya, Asma?” tanya sanga ibu.

“Sudah, Umi.” Asama sudah membawa nampan bersiap keluar.

“Sebentar, Umi lihat dulu penampilan kamu sudah pas belum.” Nyai Afifah kembali melihat pakaian anak gadisnya.

“Sudah, Umi.”

“Iyo, iyo. Wes cantik, ayu.”

Asam bersama nyai Afifah keluar. Asam membawa nampan minuman sedangkan nyai Afifa membawa toples makanan kecil.

“Assalamualaikum.” Suara merdu nan halus milik gadis yang berdiri diantara dua keluarga, menghentikan perbincangan kyai Umar bersama kyai Daud. Sedangkan Aiman akhirnya mengangkat kepalanya bertemu tatap dengan ning Asam.

“Waalaikumsalam.”

“Masya Allah, ayune... Asam.” Puji nyai Hasna.

“Terima kasih, Nyai.” Perlahan nampan diletakan di atas meja, lantas gelas-gelas kecil dirapikan diatasnya.

Nyai Hasna sedikit menyikut Aiman. Pilihannya tidak salah, wes akhlaknya pasti bagus dilihat dari bagaimana terpancarnya cahaya dari wajah Asma.

Aiman akui Asma memang lebih ayu dibanding Fatiha, tapi hatinya tidak bergetar saat melihat Asma.

***

Dari pertemuan ini, Aiman paham bagaimana Asam terpilih menjadi calonnya. gadis itu pintar, wawasannya jauh, juga berpendidikan. Sangat tipikal kyai Umar yang menginginkan pasangan Aiman mampu menjadi penerus. Sangat jauh jika dibandingkan dengan Fatiha, wanita sederhana yang hanya memiliki kerendahan hati.

”Sebentar lagi masuk azan zuhur, kyai Umar. Mari kita berjamaah.” Ajak kyai Daud pada kyai Umar.

“Iya, tidak terasa rupanya.” Kyai Umar tertawa lantas segera berdiri diikuti Aiman, bersama-sama menuju masjid seberang kediaman kyai Daud.
Tinggalah para wanita yang menunggu adzan dulu baru turun ke masjid. Nyai Hasna yang lebih dulu memulai obrolan.

“Bagaimana Aiman?” tanyanya pada Asam.

Asam tersenyum tipis.

“Umi mau dengar pendapat kamu tentang anak Umi, kamu suka apa tidak?” tanya nyai Hasan.

“Iya, nyai. Asma menerima.”

“Alhamdulilah, kita besanan, Nyai Afifah.”

Kedua wanita dewasa itu saling tersenyum puas sedangkan Asam menunduk malu-malu. Dari pandangan pertama ini ada getaran dalam hatinya mana kala beradu pandang sesaat tadi.

Sampai selesai makan siang sekitar jam dua barulah keluarga Aiman undur diri. Didalam mobil, nyai Hasan duduk di belakang sedangkan kyai Umar duduk di depan berdampingan dengan Aiman yang menyetir.

“Alhamdulilah semua lancar, y Ba. Tadi Uma juga sempat bertanya pada Asam soal Aiman. Dia menerima lamaran kita, Ba.”

“Alhamdulillah.” Kyai Umar menepuk-nepuk pundak Aiman. “Itu bagus, jadi kalian tidak harus melakukan pendekatan berlebihan kalau Asam sudah menerimamu, Gus.”

Aiman masih diam, justru ia berharap Asam meminta waktu bahkan tidak menyukainya jika perlu.

“Kita segerakan, Umma?” tanya kyai pada sang istri.

“Iya, Ba. Tapi kita urus dulu Nur sampai selesai. Baru kita segerakan lamaran keduanya.”

“Iyo, iyo. Abah hampir lupa, kemarin Tiyas telpon katanya sudah siap melamar meminta Abah yang atur waktunya.”

“Kenapa tidak tanya Fatiha dulu, Bah? Dia siap apa tidak.” Suara Aiman sedikit tegas.

“Ibu Nur sudah menyerahkan semua urusan pada Ummamu, jadi kita hanya sebagai jembatan kedua keluarga, Gus. Sukur kalian bisa dapet jodoh yang sama-sama baik. Semoga pernikahan kalian berkah dunia akhirat.” Kata Nyai Hasan.

Aiman hanya bisa meratap dalam dada, hendak memberontak keadaan pun sulit. Sampai di pesantren sempat mengamati rumah Fatiha lantas melewatinya.

***

Satu minggu kemudian.

Fatiha sudah cantik dengan kebaya sederhana biru muda, di depan cermin berhias pantulan wajah Utami juga Gendis terlihat. “Mbak cantik banget,” ujar Gendis.

Fatiha tersenyum lantas matanya memandang Utami yang terlihat berkaca-kaca. “Abahmu pasti seneng liat anak gadisnya sudah dewasa, cantik lagi.”

“Ibu jangan bikin nangis dong, nanti riasan mbak Nur luntur.” Gendis memeluk ibunya dari samping dengan tawa kecil mengejek Fatiha.

“Emag baju, luntur.” Kata Fatiha ikut memeluk kedua wanita itu.

Suara tabuhan rebana mulai terdengar dari luar menandakan calon pria yang akan melamar Fatiha sudah datang.

“Keluarga mempelai pria sudah datang, siap-siap ya.” Kata Nyai Hasna masuk ke dalam kamar Fatiha.

“Iya, nyai.”

“Ibu keluar dulu nemenin nyai menyambut tamu, kamu temenin embamu.” Kata Utami pada Gedis. Kedua anak gadis itu mengangguk. Sebelum keluar Utami sempatkan memegang pundak Fatiha dengan tatapan sendu lantas mengalihkan rasa yang ada.

Ia segera keluar bergabung dengan nyai Hasna beserta rombongan. Diluar juga ada Aiman yang ikut berbaris melihat calon Fatiha datang. Suara merdu rebana mengiringi langkah kaki Dwi semakin mendekat pada halaman rumah sederhana Fatiha.

Sepertinya kupingnya sangat terganggu dengan alunan musik islami itu. Jika semua orang saling tersenyum Dwi hanya diam terkesan malas meladeni mereka para santri.

Bahkan pada saat melewati Aiman Dwi acuh tidak peduli jika keduanya pernah bersahabat dulu.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Kyai Umar sendiri yang menerima rombongan Dwi. Kyai memeluk hangat Tiyas sebagai restu akan acara hari ini. Bergantian Dwi. Rombongan dipersilahkan masuk.

Acara dimulai dengan penyerahan bingkisan lamaran, juga izin untuk melamar Fatiha. Kyai Umar sendiri yang memberi restu lamaran Dwi.

Bersambung…


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perempuan Berniqab Hitam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang