10. Dulu Kita Seperti Ini

45 5 0
                                    

Mereka berdua terus berlari membelah ramainya koridor. Raut ketakutan tadi telah lenyap dan berubah menjadi tawa. Rasanya lucu saja, padahal Sora memfokuskan bola itu kepada Kaivan, tapi malah terkena kakak kelasnya yang waktu itu berkomentar buruk terhadap hubungannya dengan Nalen. Walaupun saat itu Sora sempat membenarkan Belinda, tapi Sora tetap tidak membenarkan caranya, bahkan saat itu ia pastikan banyak yang mendengar percakapan mereka.

Bola itu tahu siapa yang harus dijadikan sasaran. Mengingat wajah Belinda yang kesal membuat Sora semakin tertawa.

Keduanya berhenti tepat saat masuk kelas. Napas mereka terengah-engah. Tapi Sora masih menyempatkan untuk tertawa. Kaivan juga ikut tertular tawa gadis itu. Mereka sama-sama beranjak duduk di bangku masing-masing dan duduk menyamping agar bisa leluasa berbicara.

"Parah lo, Ra, bukannya kena gue malah kena kakel," gurau cowok itu.

"Yang penting aku berhasil dong keluarin lawan aku dari lapangan."

"Yee, di situ mah gue yang jadi lawan."

"Iya, tapi bolanya tahu siapa yang harus disingkirkan."

Kening Kaivan mengerut. "Siapa? Kak Belinda?"

Sora mengangguk. "Sebenarnya, waktu itu aku nangis karena ucapan Kak Belinda."

"Yang waktu di lapangan basket itu?"

Sora kembali mengangguk. "Kamu ingat kan waktu aku bilang mau kasih Kak Nalen bekal? Waktu aku ke kelasnya, aku ketemu Kak Belinda. Dia yang bilang kalau aku gak pantas buat Kak Nalen, katanya Kak Nalen pintar, cocoknya sama Kak Marinda, bukan aku yang bodoh ini. Sebenarnya aku tahu itu fakta."

"Tapi fakta yang menyakitkan. Dan dia ngomong di depan kelas, banyak yang lalu lalang, aku malu, pasti banyak yang dengar." Gadis itu tertawa pahit, menertawakan dirinya sendiri lebih tepatnya.

"Wah setan! Tau gitu harusnya kasi gue aja bolanya, biar gue yang lempar sampe kena lambenya, sekalian gue kasi cabe dulu tuh bola biar jontor."

Sora tertawa geli. "Ngomong-ngomong gimana coach, kayaknya aku udah layak tanding, ya?"

"Bisa, Ra, bisa. Cuma harus banyak latihan lagi. Besok habis pulang sekolah aja gimana?"

Sebut saja itu modus. Cause it is!

Sora tersadar, pulang sekolah ini ia akan bertemu Pak Juna dan membicarakan pekerjaannya. Hari ini adalah penentuan. Seingatnya, ia tak pernah melakukan kesalahan apapun dalam bekerja, tak pernah terlambat juga. Seharusnya Pak Juna menerimanya. Ia yakin itu.

"Ra?" Kaivan melambaikan tangannya, membuyarkan lamunan Sora.

"Mmm, kayaknya gak bisa deh. Tapi nanti dilihat."

.....

Sora tidak tahu keberadaan Nalen saat ini. Pasti olimpiadenya sudah selesai dari tadi siang. Dan laki-laki itu pasti langsung pulang ke rumah. Untuk apa lagi dirinya berdiri di halte dan mengharapkan kedatangan Nalen? Lagipula Nalen butuh istirahat setelah berusaha begitu keras selama ini.

Ah, Sora jadi ingin tahu kabar cowok itu. Apa dia baik-baik saja? Apakah dia merasa lega setelah olimpiade ini berakhir? Apakah beban di pundaknya sedikit berkurang? Dan apakah dirinya ini dirindukan?

Sora ingin memeluk Nalen dan membisikkan Kak Nalen hebat, Kak Nalen sudah melakukan yang terbaik, dan apapun hasilnya, Kak Nalen yang terbaik bagi Sora. Tapi di mana cowok itu?

Minggu depan sudah ujian semester ganjil, masih bisa kah mereka melakukan hal seperti biasanya? Pergi ke sekolah bersama, duduk berdua sambil mendengar lagu dari earphone milik Nalen, lalu di jam istirahat ia mendatangi kelas Nalen, mengajaknya berbincang dan bercanda di kantin, hingga pulang dengan keadaan Sora yang begitu ngantuk sampai tertidur di pundak Nalen. Ia merindukan momen-momen itu.

Sora ZamoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang