Berpura-pura tersenyum untuk mengelabui orang lain ternyata begitu berat, tekanan batin ini selalu ingin memberontak, menyiksa diri seperti menggoreskan pisau ke kulit, perlahan-lahan mengikis permukaan daging. Perih? memang perih saat berpura-pura terlihat baik-baik saja akan tetapi tidak demikian.
Aku melihat rembulan malam ini begitu cantik, rasanya nyaman seperti dipeluk erat oleh seseorang, begitu nyaman sampai-sampai lupa akan luka yang di rasa. Begitu pun dengan perasaan ini kepada dia sang mentari.---
Di angkringan, Badak melihat dua insan yang saling mencintai sambil melihat kendaraan berlalu lalang, dengan lampu jalan yang remang-ramang. tatapan Badak berfokus kepada dua insan tersebut, kagum bercampur iri, walaupun sudah berumur tetapi mereka tak kalah dengan asmara anak-anak muda. Sesekali mereka tertawa, ntah apa yang mereka bicarakan tetapi itu membuat Hati Badak nyaman, lantas tersenyum tipis.
Bergelimang dipikirannya rasa yang ingin ia rasakan, bertanya-tanya dan memikirkan semuanya, akankah suatu hari nanti ia bisa menjadi sepasang kekasih seperti mereka?
Hidup adalah cerminan dari dirimu, itu semua tergantung bagaimana kamu melihatnya, jika kamu melihat bahwa dunia ini suram, maka itu bukan Karena kehampaan yang mendalam, tetapi karena kamu berfikir dengan demikian.
Ia membuka kotak yang membungkus rokonya, mengambil bagian paling pojok kanan, dibakar lalu di hembuskan asapnya.
Peringatan diluar bungkus tersebut ia hiraukan, tak peduli dengan tulisan merokok membunuhmu. menghisap dengan dalam, sangat dalam, agar pikiran itu tenang.
Terlihat egois, tapi kepada siapa lagi? seseorang mencurahkan isi hati nuraninya yang sangat pedih dan selalu di pendam oleh diri sendiri, bukan karena tidak mau bercerita tentang luka yang diderita, tetapi memang tidak ada seseorang untuk dijadikan tempat cerita.
Lalu datanglah seorang anak dengan penampilan kusam kepadanya, yang menyadarkan bahwa Badak sedang di tempat keramaian. Menyodorkan sebuah kardus dengan tangan gemetar, rasa takut akan di cemooh dan mendapatkan perlakuan kasar. Tapi Badak tidak menghiraukan penampilannya. dia hebat, berani mengambil keputusan untuk menghidupi dirinya. Dengan suara merdunya ia menyanyikan sebuah lagu dengan melodi mellow dipadukan oleh ukulele. Badak memberi selembar uang dan mengucapkan "kau hebat" kepadanya.
Badak menoleh ke sebelah, kedua orang tua itu sudah tidak ada di hadapannya. Ntah kapan perginya, yang pasti disaat ia sedang melamun. Lamunan apa yang dipikirkannya, Badak juga tidak tahu akan hal itu.
Ntah mengapa hatinya merasa nyaman saat melihat mereka. Membayangkan seperti ada keluarga disisinya.
"Bang, maaf udah larut malam mau saya rapihin. Nitip dulu sebentar ya." Ingat lelaki tua kaos putih yang bertuliskan jangan tertipu dengan janji manis, ingat salah milih pemimpin bisa sengsara 5 tahun dengan handuk kecil berwarna merah di pundaknya.
"Oh iya Pa."
Tak terasa oleh jiwa waktu menunjukan pukul 2 dini hari. Sepi yang Badak rasakan saat ramai kini menjadi sepi yang sesungguhnya, karena sudah tidak ada orang lain di sekitarnya terkecuali sang pemilik angkringan yang kembali dari arah persimpangan jalan yang akan segera menutup jualannya.
"Jadi berapa Pak?" Tanya Badak kepada lelaki tua itu.
"Tadi apa aja Bang?" Ucap lelaki tua itu sambil mencatat bill di atas kertas notebook.
"Wedang jahe satu, nasi kucing 2, satenya 3"
"Jadi 20 ribu Bang."
Badak merogoh kantong celananya memberikan selembar uang kertas dua puluh ribuan dan pamitan kepada lelaki tua pemilik angkringan tersebut "Pa, makasi banyak ya"

KAMU SEDANG MEMBACA
Pria kuat tanpa rumah
RomanceTentang seorang pria yang tak seberuntung kebanyakan orang diluaran sana yang mempunyai tempat untuk bercerita, padahal ia mempunyai banyak hal dan pengalaman tetapi tidak ada satupun sosok orang untuk dijadikan rumah bagianya. sama perasaan aku, ak...