Syadha Nasyiro

16 1 0
                                    

Pesantren almuhaimin, didesa cukup terpencil kedatangan anak pengasuh. Dia pulang dari menuntut ilmu, menyelesaikan studynya di negara orang. Setelah semua selesai, dia tidak menambah studynya lagi baik di segi ilmu pengetahuan maupun ilmu agama.

Syadha Nasyiro putri bungsu Kyai Kemal pengasuh pondok pesantren almuhaimin. Tiga bersaudara, dia yang paling kecil dan perempuan sendiri. Dua kakaknya laki-laki semua.
Para ustadzah, juga santri putri berbondong-bondong ikut menyaksikan putri satu-satunya di pesantren tempat mereka belajar ilmu agama. Juga tak jarang beberapa ustadz juga ikut melihat. Meskipun dengan tujuan awal yaitu sebagai asatidz tetapi ada yang bertujuan ingin melihat langsung seperti apa ningnya.

Mobil hitam itu berhenti tepat didepan rumah pengasuh pesantren Almuhaimin. Seorang abdi dhalem, bisa dikatakan sopir pribadi membukakan pintu, dengan pelan dan anggun, perempuan yang akrab dengan sapaan Ning Syadha turun dari mobil.

"Assalamualaikum ibuk, abah." Sapanya tak lupa sambil sungkem.

"Waalaikumsalam, bagaimana kabarnya, ndhuk?" Tanya Ibuk Nyai yang terkenal dengan Nyai Khoiri.

"Alhamdulillah, buk, saya sehat wal'fiat," jawab Ning Syadha.

"Ibuk kaleh abah, bagaimana kabarnya?"
Lanjutnya.

"Alhamdulillah, ndhuk. Ayo, masuk, masuk, kamare sampean sudah rindu ditempati pemiliknya." Gurau Nyai Khoiri.

"MasyaAllah, iya ibuk," ucapnya.

"Terimakasih, ya mbak. Sudah menjemput saya dibandara." Sambungnya kepada kedua abdi dhalem yang biasa membantu didhalem Nyai Khoiri.

"Iya, ning, sama-sama." Ucap mbak-mbak dhalem.

Ning Syadha, memasuki rumah atau dhalem abahnya yang sudah hampir lima tahun, Dia tak pulang. Sebab, ingin fokus ketika liburan Ning Syadha memanfaatkan waktunya untuk syiar.
Dia begitu bahagia akhirnya bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

"Assalamualaikum, Bang Malik." Sapa Ning Syadha ketika melihat Malik kakak nomer dua menyambutnya.

"Waalaikumsalam, alhamdulillah adik bontotku sudah pulang."
Jawab sang kakak.

"Mas Majeed?" Tanya Ning Syadha.

"Mas Majeed, dirumah mertuanya, Nak." Bukan Malik yang menjawab melainkan Abah Kemal.

Memang selama dirantau orang, Ning Syadha lebih aktif didunia nyata. Maksudnya Dia selalu meninggalkan handphonenya dan menitipkan kekepala keamanan di pondoknya. Orang tua ketika menelpon tidak pernah menyinggung soal pernikahan anak sulungnya kepada anak bungsu.

"Mas Majeed, sudah menikah?"

"Sudah ndhuk, tiga tahun setelah kepergian sampean." Jawab Nyai Khoiri.

"Alhamdulillah." Ucap Ning Syadha pelan. Tidak ada rasa marah karena tidak dikasih tau, dalam benaknya justru terbayang - bayang. Seperti apa, kakak iparnya. Wanita mana yang mau, menjadi istri dari kakak sulungnya. Pasalnya kakak pertamanya itu sangat keras dan kaku.
Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada kedua orangtuanya, Ning Syadha berjalan pelan menuju kamarnya.
Kamarnya masih tetap sama, seperti lima tahun lalu. Hanya sprei yang mungkin slalu diganti dan dibersihkan oleh mbak dhalem.
Dia merebahkan tubuhnya yang lelah, karena perjalanan yang cukup jauh.

"Kira-kira, siapa ya, kakak iparku itu. Duh, gemes, pingin cepat ketemu." Ucapnya sendiri.

Setelah beberapa menit, rasa lelahnya sudah sedikit reda, Ning Syadha mengeluarkan semua pakaian yang ada dikoper. Pulang dari negara orang, Dia membawa tiga koper. Koper pertama berisi pakaian, koper kedua berisi buku-buku, kitab juga alat-alat peninjau, sedangkan koper ketiga berisi oleh-oleh, yang sudah dipasrahkan kepada Ibuknya untuk dibuka, bisa berbagi ke minimal kepada mbak dhalem. Jika untuk seluruh santri Almuhaimim tidaklah cukup oleh-oleh itu.

Sajadah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang