Diskusi

6 1 0
                                    

Mentari menyapa penduduk bumi dipagi hari. Tersenyum menikmati udara yang sejuk. Tak ada angin, tak ada daun berguguran, hanya suara burung pagi yang berkicau sahut-sahutan. Liburan telah selesai, semua santri satu persatu sudah mulai masuk ke asrama. Tak terkecuali Dini, adik Ustadz Hilmi yang datang setelah dua hari keberangkatan kakaknya.
Identitasnya sebagai keluarga asatidz benar-benar dirahasiakan. Meskipun begitu, pengasuh sudah mengetahuinya.

Beberapa para asatidz, duduk dikursi yang ada didepan halaman musholla. Ketika Ustadz Hilmi datang, mereka menyapa dengan tutur kata yang sangat sopan.

"Assalamualaikum, ustadz hanan, ustadz sholeh dan ustadz hadi." kata Ustadz Hilmi.

"Waalaikumsalam ustadz," jawab serempak ustadz.

Ustadz Hilmi ikut duduk ditengah-tengah mereka. Pembahasan yang cukup menyenangkan jika ada salah satu yang di gojlok, dan Ustadz Hilmi menjadi target para ustadz disana.

"Siapa, diantara ustadz yang akan nikah dulu?" Tanya Ustadz Hanan.

"Jenengan to ustadz," jawab Ustadz Hilmi.

"Belum waktunya," sahut Ustadz Hilmi sambil  tersenyum.

"Lha kok belum ustadz?"

"Ustadz Hanan, terlebih dulu seharusnya, beliau yang sudah pantas, ya kan ustadz," sahut Ustadz Hilmi cepat.
Semua tersenyum.

Ustadz Hadi membuka kitabnya yang Dia bawa dari kamarnya tadi. Tak ingin terhanyut dengan, pembahasan yang kurang faedah menurutnya. Dari semua ustadz, memang hanya Ustadz Hadi yang kurang suka bercanda. Tapi semua asatidz tidak pernah marah atau merasa kalau Ustadz Hadi terlalu kaku dalam menjalani kehidupannya.

"Nanti, ada acara di pondok putri, siapa yang mau ikutan," kata Ustadz Hanan.

"Semuanya lah, ustadz lawong kita semua pembimbingnya," jawab Ustadz Hadi tanpa berekspresi.

"Maaf ustadz," kata Ustadz Hanan lebih ke mengalah karena takut jika perasaan Ustadz Hadi memang sedang tidak baik-baik saja.

Tak ada satupun yang berbicara, sambil melihat jam dipergelangan tangan, Ustadz Hilmi berdiri sambil berkata, "Saya izin ke kantor, terlebih dulu."
Semua yang ada disana, mengangguk dan tersenyum.

Sarung bercorak garis-garis, berwarna hitam putih, kemeja warna biru dongker yang lengannya sengaja dia biarkan kancing terlepas membuat penampilan Ustadz Hilmi sangat tampan, peci hitam beludru yang sedikit usang. Bukan tak mampu beli, hanya saja peci yang ia kenakan saat ini adalah hadiah dari gurunya.
Ustadz Hilmi, berjalan pelan sambil melantunkan sholawat dalam hati, sesampainya di kantor dia melihat handphonenya. Menyandarkan punggungnya dikursi yang dia duduki, fikirannya mengingat-ingat nada tilawah. Tiba-tiba teringat saat dirinya berada didhalem, diminta untuk mendengarkan dan menilai suara Ning Syadha saat bertilawah hatinya berdesir kuat,
"Astaghfirullahal'adzim, ya Allah, ampunilah dosaku ini."

Matanya terus terpejam, bibirnya berkomat kamit membaca istighfar.

"Ada apa, ustadz?" kata Ustadz Hanan yang tiba-tiba masuk.

"Astaghfirullahal'adzim, masyaallah ustadz, ngagetin saja," jawab Ustadz Hilmi sambil menegakkan tubuhnya.

Ustadz Hanan mengambil posisi yang menurutnya nyaman untuk diduduki. Lalu berkata dengan nada mengejek, "Situ sendiri, kenapa komat kamit baca istighfar, habis lihat hantu!"

"Masyaallah, iya, hantunya situ," jawabnya meringis palsu.

"Ustadz, maaf ya, kita lupakan saja, persoalan kita, ada yang lebih penting untuk dibahas." Ustadz Hanan mendekat kearah Ustadz Hilmi, berbicara sangat pelan.

"Apa? Tidak usah bisik-bisik," jawab Ustadz Hilmi sedikit ngegas.

"Eits, santai dong, ustadz!" Ustadz Hanan memang sengaja membangunkan singa tidur. Dia memang tidak tau, jika lawan bicaranya sedang kalut masalah perempuan.

"Katakan saja! Ustadz," jawab Ustadz Hilmi.

"Tadi itu, Ustadz Hadi kok kayak lagi dapet," gelak tawa menggema diruangan yang hanya ada dua orang. Ustadz Hilmi tidak menanggapi serius pertanyaan Ustadz Hanan karena baginya itu tidak penting.

Setelahnya tak ada yang berbicara, saling diam bergelut dengan isi kepala masing-masing. Aktifitas pondok masih belum aktif, akan aktif lusa yang akan datang.

*****

Aula pondok putri yang selalu, dijadikan tempat untuk sebuah acara besar seperti seminar dan debat kitab. Seperti malam ini, berkumpul sebagian santri putra yang memang diundang dan hampir seluruh santri putri hadir diaula tersebut. Para ustadz dan ustadzah juga hadir. Gus Malik, Gus Majeed juga ikut memeriahkan acara debat kitab, yang akan segera dimulai. Suara MC dari santri putra, pembacaan ayat suci Alquran yang dibaca Ustadz Hilmi, sambutan yang dipimpin langsung oleh abah Kemal. Semua mengikuti dengan hikmad, diperkumpulan jamaah wanita ada mata bening yang memandang, serta menajamkan pendengaran. Dia memilih berkumpul para santri ketimbang sama ustadzah. Meskipun ada santri yang rikuh dan tidak bisa berbuat macam-macam. Kehadiran dirinya bisa dijadikan ajudan yang siap untuk dibenci oleh para santri putri. Ning Syadha, yang menolak ajakan Ustadzah Humaira ikut  bergabung diperkumpulan para ustadzah. Dia ditemani abdi dhalem mbak Dini, duduk ditengah-tengah santri putri.

Momen seperti ini akan dimanfaatkan oleh para santri untuk bermain surat - suratan atau sekedar menggoda santri putra. Tetapi karena adanya Ning Syadha ditengah-tengah mereka, hal konyol yang akan mereka lakukan adalah hanya memandang santri putra.

Berbeda Ning Syadha, yang menilai beberapa santrinya dengan cukup melihat. Didepan sana ada seorang Ustadz yang duduknya terlihat kurang nyaman, seperti mencari seseorang. Ustadz Hilmi yang duduk disamping, Ustadz Hilmi tatapannya mengarah pada santri putri dan sesekali melihat kearah ustadzah. Tetapi yang ia cari tidak ia temukan. Gerak geriknya, diperhatikan oleh Abah Kemal.

Suara moderator, sudah mulai terdengar. Ada sekitar lima santri putra, yang melakukan debat kitab dan mereka yang sudah fasih, tinggal menunggu waktu saja untuk mereka selesai belajar dipondok tersebut. Debat semakin memanas, semua punya argumen masing-masing, saling mempertahankan pendapatnya.  Sampai pada waktu yang akan habis, salah satu dari ustadz menyampaikan kesimpulan.
Membuat gadis dikerumunan itu, semakin dibuat kagum akan luasnya ilmu yang dimiliki.

Pukul 23:00

Ada sebagian santri putri yang sudah berulang kali menguap, tapi enggan beranjak karena acara masih berlangsung dan sangat panas. Ada juga yang sudah tidur menjemput mimpi. Debat kitab tidak untuk menunjukkan siapa yang hebat atau siapa yang pintar. Melainkan untuk mengetahui seberapa banyak ilmu, yang dimiliki oleh para santri. Tepat setelah setengah jam yang lalu, acara selesai.
Para santri yang masih terjaga, membangunkan temannya yang sudah terlelap. Meski begitu, mereka ada yang sulit dibangunkan karena sudah terlalu terlelap.

Satu persatu meninggalkan aula, tiba -tiba Abah Kemal memanggil Ustadz Hilmi dan memintanya untuk menemui dulu.

"Ustadz Hilmi, saya minta waktunya, sebentar," suara Abah Kemal seperti nada memerintah.

"Iya, bah," jawab Ustadz Hilmi mengikuti Abah Kemal.

Sebagian Ustadz junior memandang iri kepada Ustadz Hilmi. Sudah menjadi rahasia umum, jika Ustadz Hilmi adalah santri sekaligus ustadz yang disayang Abah Kemal.

Mereka menuju dhalem Abah Kemal, Ustadz Hilmipun juga penasaran apa yang hendak disampaikan oleh Abah Kemal.
Malam semakin larut, bahkan cahaya bintang tak mampu melawan gelapnya malam. Hanya terlihat seperti bintik-bintik, yang indah untuk dinikmati.

*****

Hai semuanya🤗🤗
Maaf ya jika tulisan masih belum sesuai dengan KBBI.

Sajadah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang