Yang Mengembun

5 1 0
                                    

Seandainya datangnya cinta, ia meminta izin pada haknya.
Akan ku perintahkan ia untuk melakukannya.
Cinta tak bisa ditebak.
Cinta juga tak bersyarat.
Sama seperti hal nya cintaku padamu.
Mencintaimu dalam diam adalah caraku mencintaimu.
Aku tak mengharapkan cinta ini terbalaskan. Apalagi ingin memilikimu, cinta ini tulus dan suci untukmu.

*****

Mendengarkan lantunan ayat suci Alquran adalah cara untuk mengobati hati yang sedang dilanda kegelisahan.
Beberapa kali dia berpindah tempat dari kursi satu ke kursi lain, sudah hampir satu juz dia membaca Alquran, tetapi masih saja hatinya gamang. Disebabkan oleh sesuatu yang ia sendiri tak mengetahui. Sedangkan malam sudah semakin larut, jika ia tidak istirahat yang ada besok akan merepotkan dirinya sendiri. Berusaha memejamkan mata dan berharap bisa tidur.

Tuk, tuk, tuk, suara jarum jam dinding terdengar jelas dikesunyian malamnya yang sendirian.
Meminta seseorang untuk menemani tidurnya, yang biasanya menemui sedang dikunjungi orang tuanya. Tidur bersama orang tuanya, diruangan khusus tamu.
Ning Syadha melamun, dia berpikir dulu dirinya tak seperti ini. Hanya karena menyukai sebatas kagum, karena jika dibilang mencintai, dia sendiri tidak tau apa dan bagaimana wujud cinta itu sendiri. Masih sangat jelas suara abahnya memberi perintah kepada Ustadz Hilmi. Sebuah perjodohan yang rumit untuk dijelaskan.

Saat itu dirinya sedang berjalan bersama gerombolan para santri putri, tak disengaja abahnya berkata.

"Ustadz Hilmi, Saya ingin sampean segera menikah!" Kata abah Kemal sambil menatap Ustadz Hilmi dengan intens, meyakinkan ucapannya jika dirinya tidak bergurau.
Samar-samar, Ustadz Hilmi menjawab, "Tetapi, saya belum ada jodohnya, bah."

Abah Kemal tersenyum, mengambil dua foto yang sudah dibawa dari rumah. Memberikannya pada Ustadz Hilmi. Dirinya dihadapkan oleh dua pilihan yang tak satupun ia harapkan.

"Apa saya boleh, sholat istikhoroh dulu, bah," ucapnya sambil memohon.

"Pilih dulu, salah satu diantara ustadzah zafira atau ustadzah humaira," jawab abah Kemal.

Ustadz Hilmi menunduk lesu, teringat dawuh gurunya, dawuh abahnya dia harus sami'na wa atho'na kepada guru. Meskipun bertolak belakang dari keinginannya, dia juga sadar diri siapa dirinya berani mempersunting putri kyai. Sambil membaca basmalah, dia memilih gambar Ustadzah Humaira, yang menurutnya lebih pas dengan dirinya.

"Ustadzah Humaira, insyaallah, saya akan menghubungi sampean, nanti lusa. Terimakasih ya ustadz, maafkan saya, jika pilihan yang saya berikan tidak sesuai pilihan sampean, saya tahu sampean mungkin punya pilihan sendiri," kata abah Kemal. Ustadz Hilmi hanya mengangguk, membenarkan perkataan gurunya tetapi tak bisa protes.

Semua itu didengarkan oleh Ning Syadha yang kebetulan lewat, hatinya bergetar hebat. Cobaan ini, lebih besar dari cobaan yang ia lalui dimasa-masa tholabul ilmi. Bagaimana jika perjodohan itu berlangsung dan benar adanya, sanggupkah dia.

Malam ini, terasa berat ia rasakan. Bahkan rasa kantuk yang menyerangnya tidak mampu membuat ia terpejam.
"Sulit ya Allah, apa hamba bilang saja sama abah," monolognya.

Alquran masih setia ia pegang, ia membacanya lagi dan lagi, untuk menghibur lara yang tak terluka tetapi sakit dirasa.

****

Sarapan para santri putri sudah tertata rapi, berkumpul para ustadzah yang siap berjaga. Namun hal lain dilakukan oleh Ustadz Hilmi, yang mengantar nasi satu bak besar dibantu oleh kang pondok. Dia terlihat capek, matanya nampak cekung kehitaman sepertinya semalaman tak tidur. Semua itu tak terlepas dari pandangan Ning Syadha, tetapi tatapan itu hanya tatapan penuh luka. Meskipun belum benar adanya, tetapi semua itu cukup mengganggu harinya.

Sajadah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang