Setelah apa yang terjadi kemarin, Gempa mulai dekat dengan kedua kakaknya itu. Bahkan dia sudah berani memanggil mereka kakak, sebuah pencapaian yang sangat sederhana namun bermakna.
Tetapi, entah kenapa belakangan ini Gempa merasa seperti— diawasi... Mungkin itu hanya perasaannya saja. Yah... semoga saja...
"Kamu betah Gem tidur disini?" tanya Taufan sambil merebahkan dirinya di atas kasur milik adiknya itu.
"Iya kan? Kecil banget ini, kayak kamar mandi. Emang iya Gemgem betah disini?" tanya Thorn juga yang sedang duduk diatas bean bag milik adiknya.
Mereka sedang berada di dalam kamar Gempa, kamar itu terlihat sangat rapi. Pakaian yang tersusun sesuai dengan jenisnya, tas dan buku buku yang ia simpan dengan baik. Kamarnya... terlihat seperti museum, setidaknya itu yang dipikirkan kedua kakaknya.
Gempa heran dengan pertanyaan kedua kakaknya itu, justru menurutnya sendiri kamarnya itu sangat besar.
"Em... tidak kak, Gem betah kok di sini. Kamarnya luas! Kenapa kakak bertanya seperti itu?"
Taufan dan Thorn saling menatapi satu sama lain, mungkin mereka mengira kamar Gempa kecil karena kamar mereka jauh lebih luas dari itu. Ketahuilah bahwa kamar itu adalah bekas dari ruang kerja Pak Amato, apa maksudnya kamar itu kecil?!
"Eh... lupakan saja hehe..." ujar Taufan sambil memperhatikan kamar adiknya itu.
Sementara Thorn sedang menelusuri koleksi perpustakan kecil Gempa, adiknya itu sepertinya hobi membaca. Dari novel hingga buku filosofi, semuanya ada! Yang paling mencolok adalah koleksi buku sejarah yang dimilikinya.
"Wah... Gemgem suka membaca ya? Sama seperti Solar dong!" seru Thorn dengan kagum.
Taufan berdiri dari kasur lalu turut mengamati koleksi buku buku adiknya itu. Untuk anak yang berumur 14 tahun, buku buku tersebut cukup rumit seharusnya. Koleksinya sangat beragam, namun kebanyakan mengenai sejarah dunia dan juga sejarah peradaban kuno.
"Eh? Buku buku ini sedikit... sulit juga ya..." ujarnya kepada diri sendiri, namun Gempa dapat mendengarnya.
"Sulit? Tidak kok, Gem paling suka membaca buku sejarah! Seru, dan juga menarik."
Taufan hanya tersenyum saja melihat adiknya itu. Yah, setidaknya Gempa tidak akan mengomel tentang rumus fisika dan perubahan dunia sains.
Mereka mengobrol dan bercerita pada siang hari itu, banyak pertanyaan yang dimiliki kedua kakak adik itu untuk Gempa. Mereka ingin kenal lebih dekat dengannya, sepertinya Gempa memiliki aura tersendiri yang membuat mereka nyaman.
Mereka juga memberitahu Gempa nama nama dari elemental bersaudara yang lain karena Gempa sendiri sedikit takut kalau langsung berkenalan dengan yang lain.
Saat mereka sedang asik mengobrol, tiba tiba terdengar deheman seseorang yang berasal dari pintu. Mereka bertiga reflek menoleh dan alangkah terkejutnya mereka saat melihat Blaze menyender di pintu.
Taufan dan Thorn sedikit gelisah, takut si kepala panas itu mengamuk kepada Gempa. Dan sudah tentu anak itu juga sedikit panik.
"Kau." Blaze menunjuk Gempa "Dipanggil Bibi." ucapnya dengan singkat.
Gempa kebingungan, namun ia tidak ingin membuat sang kakak kesal apalagi mengamuk. Jadi dia mengangguk saja "B-baik! Gempa akan turun sekarang!" ujarnya dengan sedikit kegelisahan.
Lalu Gempa berdiri dan beranjak keluar dari kamarnya, Blaze hanya diam, Thorn hendak menyusuli adiknya namun Blaze mencegahnya.
"Hanya anak itu." ucapnya dengan tatapan dingin, ini sangat berbeda dengan Blaze yang dikenal Thorn.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Chance to Accept
FanfictionMenerima itu susah, apalagi menerima orang baru di dalam keluarga. Itu hal yang dirasakan elemental bersaudara disaat mereka mengetahui bahwa mereka mendapatkan seorang adik tiri. Tapi, walaupun begitu, mereka harus belajar menerima adik baru mereka...