Bab 09 - Perasaan Bimbang

517 63 13
                                    

Waktu seakan berhenti, melihat Gempa yang melompat ke kolam untuk mengambil kembali buku nya. Blaze... tak pernah membayangkan skenario ini akan terjadi.

"Anak itu!-"

Tanpa berpikir lama lagi, Blaze dengan cepat menyusuli Gempa yang sudah tak ada tanda tandanya di permukaan danau. Entah apa yang dipikirkan Blaze, tubuhnya bergerak secara otomatis saat melihat Gempa, anak yang seharusnya ia benci bermain dengan nyawanya hanya karena sebuah buku.

Tunggu... bahkan ia tidak tau mengapa buku itu sangat penting bagi Gempa.

Blaze menepis pertanyaan itu dan fokus dalam mengembalikan Gempa ke permukaan, untung saja ia pandai berenang.

"Bodoh... dasar bodoh!"

Blaze menarik tangan Gempa dan membantunya untuk berenang kembali ke permukaan, syukurlah Gempa masih sadar walau dirinya hampir tenggelam. Entah apa yang akan terjadi padanya jika Blaze mengulur waktu sedikit lebih lama tadi.

Keduanya terkapar di atas rerumputan setelah Blaze berhasil membawa Gempa kembali ke atas. Dengan cepat Blaze berdiri dan menghampiri adik angkat nya itu.

"Apa kau sudah gila?!"

Gempa hanya terdiam, ia masih terbatuk batuk akibat menelan air danau terlalu banyak. Buku hariannya yang basah itu berada di dalam dekapannya.

Blaze menatap Gempa dengan perasaan campur aduk. Ia terlihat penuh dengan amarah, tapi sejatinya- ia merasa takut.

"Apa yang kau pikirkan?! Bodoh! Kau bisa saja mati jika aku tak menolongmu tadi, kau tau?!"

Gempa hanya menatap ke arah tanah, tubuhnya sedikit bergetar, entah karena takut atau kedinginan.

"..M-maaf, dan terima kasih k-kak..." ucapnya dengan suara kecil. Ia menggenggam erat buku kesayangannya itu.

Di tengah kekesalan Blaze dengan hal yang baru saja terjadi pada Gempa, tiba tiba ia melihat Taufan dan Solar berlari ke arah mereka.

"Cih. Benar benar menyusahkan!" ia segera pergi dari taman tanpa mengatakan apa apa kepada dua kakak adiknya itu.

Sedangkan Gempa masih merasakan syok, ia menatap bukunya yang basah, semuanya hancur. Melihat keadaan bukunya itu membuat kepalanya penuh dengan rasa panik. Kepalanya pusing.

Hal yang terakhir kali dilihat olehnya adalah dua kakaknya berlari menghampirinya, ia dapat mendengar samar samar panggilan dari Taufan.

"GEMPA!"

~~~

Blaze sedang berada di dalam kamarnya, menatap ke luar jendela yang memperlihatkan pandangan langit malam. Lima jam berlalu setelah kejadian siang tadi menimpa Blaze dan Gempa, ia tak tau apa yang terjadi pada adik angkat nya itu.

"Mereka sudah tau, semuanya pasti berpihak kepada anak itu." gumamnya sambil menyender di dekat jendela kamarnya.

Tiba tiba, pintu kamarnya terbuka, Blaze menoleh ke belakang dengan muka datar.

"Kak Hali menyuruhmu kesini ya?" tanya Blaze kepada seorang didepannya- Ice.

Ice mengangguk, ia menghela nafas panjang sambil menghampiri kembarannya itu.

"Kau benar benar berada dalam masalah yang cukup besar kali ini, Aze."

"Heh, udah ku duga. Kalian pasti akan memihak anak pungut itu."

"Blaze-"

"Lupakan saja, kak Hali bakal lebih marah kalau aku nggak menghadap dia sekarang juga. Lebih baik kau habiskan waktumu dengan anak pungut itu."

Lalu Blaze beranjak dari kamarnya dan meninggalkan Ice yang ingin mengatakan sepatah kata. Tapi kenyataannya, ia datang menghampiri Blaze untuk melihat keadaannya.

"Aku harap kak Hali tidak terlalu marah kepadanya..."

~~~

Di sisi lain, Blaze sedang menuruni anak tangga untuk menuju ke ruang keluarga. Ia sudah siap mendengarkan amukan dari kakaknya.

Namun pikirannya masih tertuju pada Gempa. Ia tak ingin mengakuinya, tapi sejujurnya ia khawatir setelah apa yang terjadi siang tadi.

Setelah tiba di ruang keluarga, Blaze sedikit terkejut melihat personil yang ada disana. Ia mengira hanya ada kakak tertuanya yang akan menceramahinya, tetapi ternyata seluruh adik dan kakaknya ada disana- kecuali Gempa.

"Huh...? Kenapa kalian semua disini?"

Tidak ada yang menjawab, kemudian Halilintar menyuruh Blaze untuk diduk di depannya. Blaze hanya menunduk sambil berjalan ke arah sofa, kalau boleh jujur... sebenarnya dia takut.

Keheningan menyelimuti ruang keluarga pada saat itu, tak ada yang berinsiatif untuk berbicara. Namun satu hal dapat dirasakan oleh Blaze, yaitu rasa kekecewaan mereka terhadap dirinya.

Setelah beberapa menit, Halilintar pun mulai berbicara.

"Blaze."

"Iya."

"Kamu tau kesalahanmu?"

"...Iya."

Halilintar tak melanjutkan perbincangan itu. Walaupun begitu, Blaze tau apa yang ingin dikatakan oleh kakak tertuanya itu.

Blaze menunduk sambil mengepalkan tangannya, kenapa semuanya berpihak kepada Gempa? Kenapa tak ada satu pun yang menanyakan alasan mengapa ia benci dengan Gempa? Apakah mereka tidak ingat apa yang harus mereka rasakan saat ditinggal oleh ayah dan ibu mereka? Bagaimana bisa mereka menerima Gempa dalam waktu yang singkat?! Bagaimana mungkin ia bisa menerima perebut seperti Gempa di dalam keluarga yang ia sayangi ini?! Blaze tidak bisa melakukannya.

...Ah, bukan begitu. Ia bukannya tidak bisa menerima Gempa, tapi ia menolak perasaannya itu. Ia rela menjadi penjahat demi mengembalikan keluarganya yang dulu. Hanya saja... perasaan campur aduk terhadap Gempa ini sangat menganggunya.

"Apakah... ini saatnya?"

Written by: Strvlle

Hai hai semuanya! Akhirnya Strvlle melanjutkan buku ini lagi ya setelah sekian lama T~T... maaf ya atas penantiannya yang lama. Strvlle mau fokus melanjutkan chapter kedepan, mungkin Strvlle tidak akan menaruh notes nanti. Nantikan bab selanjutnya ya! Karena bab selanjutnya adalah bab yang kalian tunggu tunggu!

Terima kasih sudah membaca ya! Kalian sangat baik sudah mampir dan membaca buku ini🤍

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Chance to AcceptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang