Teman Baik

7 2 0
                                    

Malam itu, Minette duduk bersandar di luar pintu rumahnya. Kali ini, ia dihukum karena 'melawan' perkataan ayahnya. Sebetulnya ia tidak melawan, Minette hanya menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi. Tapi bagi ayahnya, hal itu merupakan sebuah bentuk perlawanan.

Seperti biasa, jalanan di desa itu gelap dan hanya diterangi oleh lentera-lentera gantung. Semua took dan kios sudah tutup, kecuali bar, penginapan, dan rumah bordil. Dengan kata lain, satu-satunya dunia yang hidup sekarang adalah dunia malam. Sungguh tidak pantas untuk seorang gadis kecil berusia delapan tahun.

Sial bagi Minette, malam itu juga turun hujan. Hujan itu berawal dari sebuah gerimis dan dengan cepat menjadi sebuah hujan yang deras. Aku akan sakit besok, pikir Minette. Pintu rumah terkunci dari dalam, sehingga ia tidak dapat masuk. Orang tuanya pun, tidak akan repot-repot bangun dari tidur mereka dan membiarkannya masuk. Jadi untuk kesekian kalinya, Minette duduk di luar sendirian, berharap matahari segera terbit.

Tapi itu hanya pikirannya. Karena tiba-tiba saja, terdengar suara yang amat lembut. Suara itu berkata: "Anak manis, apa yang engkau lakukan di sini?"

Saat Minette mengangkat kepalanya, ia melihat seorang wanita berjubah biru gelap di hadapannya. Wajah wanita itu tertutupi tudung, ia memakai sarung tangan, dan di bawah gaunnya ia memakai sepatu bot cokelat. Wajahnya pun tertutup topeng putih polos.

"Di sini dingin, nak. Apakah engkau tidak mereka dingin?" ucap wanita itu. Ia tampaknya khawatir akan kondisi Minette. "Di manakah orang tuamu, nak? Kejam sekali bahwa mereka meninggalkan anaknya untuk mati seperti ini."

"M... Mereka... S... S... Sedang T.... Tidur..." jawab Minette, terbata-bata karena menggigil. Ia membela keluarganya dan tidak mau berpikir bahwa apa yang dilakukan orang tuanya itu, dilakukan karena meeka saying padanya. Jadi mereka ingin ia menjadi ana yang bertanggungjawab dan patuh, serta tidak melawan.

Wanita itu terkesiap. "Benarkah?" tanyanya. Wanita itu menaruh tangan di dadanya.

Wanita itu kemudian membelai kepala Minette dengan lembut. "Kalau begitu, mereka tidak akan tahu jika engkau ikut bersamaku, bukan? Lagipula, tempatku tidak jauh," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Minette diam sesaat. Ia menatap wanita itu penuh tanya. Siapa dia? Apakah ia akan menculikku? PIkir Minette.

Tapi pemikiran itu langsung hilang saat sang wanita mengatakan: "Di sana ada perapian yang sangat hangat, loh..."

Di saat itu, Minette, seraya dipayungi jubah, pergi Bersama wanita itu. Menurut Minette, udara sekitar wanita itu sangat hangat. Mereka melewati banyak took dan jalan-jalan berlumpur hingga sampai di depan pamakaman desa. Wanita itu mengatakan bahwa rumah ada di belakang pemakaman. Di saat itu juga, Minette merasa agak janggal. Masalahnya, siapa, sih, yang tinggal di belakang pemakaman?

Tapi ternyata, memang benar ada sebuah gubuk kecil di balik pemakaman. Di dalamnya memang ada perapian, dan di atasnya ada sebuah kait untuk menggantungkan panci. Di kasus ini, kait itu menggantungkan sebuah ceret.

Dari ceret itu, sang wanita misterius menuangkan air hangat untuk Minette. Mereka bersenda gurau dengan topik yang silih berganti. Di sinilah waktu Dimana Minette mengetahui nama wanita itu, yaitu adalah Perdita. Dari saat itu, Minette memanggilnya Nona Perdita.

Dalam gubuk itu, Minette untuk pertama kalinya merasakan kehangatan keluarga. Sebab dalam rumahnya, ayah dan ibu akan selalu bertengkar, meninggalkan Minette untuk merawat adik-adiknya. Saat kedinginan begini, ibu Minette hanya akan memberikannya selimut dan hal itu tidak membuat perbedaan. Ia juga tidak dapat bertingkah selayaknya anak seusianya. Jika Minette melakukan itu, ia akan dikatakan sebagai "kekanak-kanakan" oleh orang tuanya.

TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang