Bagian 3: Siapakah Dia?

0 0 0
                                    

Semester 1 telah berlalu, 17 tahun telah Aku lewati begitu pahit. Tanpa banyak berharap, Aku hanya mampu untuk menikmati hari. Karena, Aku yakin bahwa hari ini belum tentu datang lagi. Setidaknya, Aku bisa berkembang sekalipun seorang diri.

Tulisanku telah tersedia beberapa tumpuk di meja. Mulai dari kumpulan puisi, cerpen, bahkan novel. Beberapa kertas di dinding juga turut mengapresiasi tulisanku dengan predikat juara. Aku dinilai pandai menulis di atas kertas, namun Aku tetap merasa tidak pandai dalam menulis di atas kenyataan.

Beberapa hari telah menjelang dari malam ulang tahunku ke 18. Terdapat pengumuman dari universitas bahwa perkuliahan akan dimulai pada tanggal 19 Februari, dengan pembagian kelas yang diacak. Aku yang biasa sendiri, tidaklah ikut meramaikan grup kelas dan angkatan. Sangat cuek Aku membaca informasi tersebut dan langsung kututup ponselku.

Tanggal 19 Februari adalah hari pertama masuk perkuliahan di semester dua. Seperti biasa, Aku masuk lebih awal, satu jam sebelum mata kuliah di mulai. Menjadi orang yang pertama datang, untuk memilih tempat duduk di tengah bagian pojok. Aku berpikir, tempat duduk pasti menentukan keaktifan mahasiswa. Jika duduk di paling depan, sudah pasti diisi oleh orang-orang ambisius dan aktif dalam pembelajaran. Jika duduk di paling belakang, sudah pasti diisi oleh orang-orang yang aktif juga, namun lebih ke arah negatif. Jadi, karena Aku tidak mau terlalu mencolok, kupilihlah bangku tengah yang berada di pojok.

Beberapa menit menjelang, satu persatu mahasiswa masuk kelas dengan mengucapkan salam. Beberapa orang yang pernah sekelasku mencoba menghampiriku dengan menyalamiku dan Aku hanya membalas dengan senyum. Beberapa orang lainnya yang tidak pernah sekelasku hanya bisa memandang dari kejauhan, karena memang tidak saling kenal.

5 menit menjelang perkuliahan, masuklah salah seorang mahasiswa dengan penampilan yang urakan namun berusaha untuk terlihat rapi.

“Selamat Pagi semuanya!” Ucap mahasiswa itu dengan begitu percaya diri.

“Wih… Nde! Pagi….” Ucap beberapa mahasiswa menyahut dengan riuh.

“Anjay, udah tau nama gue. Keren. Rispek.” Seraya memberikan hormat bendera ke seluruh mahasiswa di kelas.

Aku yang kebingungan hanya bisa bertanya kepada teman di sebelahku, “Sasha… itu siapa?”

“Ih kamu gatau? Itu Nde… Cukup populer di angkatan kita.” Ucap Sasha dengan ekspresi tidak percaya.

“Oh… oke, terima kasih.” Ucapku dengan ekspresi datar.

“Kenapa Lu? Suka  ya kamu? Hehe… dia emang keren sih walau agak urakan. Auranya menarik gitu, uh….” Ucap Sasha dengan melirik Nde yang berjalan menuju bangku belakang.

“Yaudah sana pacarin aja Sa… Aku kurang tertarik.” Ucapku dengan sibuk memperhatikan ponselku seolah tidak peduli.

“Gak bisa atuh. Aku udah ada pacar.” Ucap Sasha perlahan.

“hahaha…” Suara tawa gaduh dari bangku belakang memotong obrolan.

Tepat pukul 08.00, terdapat mahasiswa dengan headset di kepala dan berjalan dengan cuek masuk kelas. Aku yang sedang melihat arah pintu dengan pikiran kosong justru terarah kepada langkahnya. Aku yang duduk di sebelah kiri mengikuti langkahnya sampai berhenti di bangku paling sudut sebelah kanan. Mata ku kembali terpanggil ke arah pintu ketika ada yang mengetuknya dan mengucap salam. Ternyata seorang dosen dengan kemeja rapi telah sampai ruangan dan siap untuk melakukan perkuliahan.

Aku yang penasaran mencoba bertanya kepada Sasha, “Siapa itu Sha?”

“Itu dosen Bahasa Indonesia kita. Namanya sih Ibu Siti, tapi panggilannya Ibu Budi. Dia …” Sasha yang tengah menjelaskan namun kupotong segera.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Memendam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang