Aku masih mengerjakan desertasi s2 ketika ayahku menikahkanku dengan Widia, anak tetangga yang masih belajar di suatu perguruan tinggi. Padahal pekerjaanku saat ini masih belum mapan, karena untuk menghidupi diri sendiripun aku masih sangat bergantung pada orangtuaku. Aku hanya mengajar beberapa kelas di sebuah sekolah menengah kejuruan sebagai guru pengganti, dengan gaji yang pas-pasan.
Aku berniat mencari pekerjaan yang lebih prospektif dengan gelarku yang dobel nanti, apalagi aku sudah beristri. Kami tinggal di sebuah rumah kecil milik mertuaku yang terletak lumayan jauh dari rumah orangtua dan mertuaku. Sebagai pasangan pengantin baru yang relatif muda, aku 27 tahun, Widya 22 tahun, tetangga baruku telah maklum dan banyak membantu kami dalam aktivitas sehari-hari.
Aku dan Widia tidak terlalu dekat sedari kecil, kami jarang mengobrol dan hanya mengangguk tersenyum seadanya kalau berpapasan. Namun kedua orangtua kami sangat akrab, hingga akhirnya menjodohkan kami berdua. Ayahku menilai Widia sebagai istri yang pantas untukku apalagi orangtuanya yang sekarang jadi besannya termasuk seorang pengusaha di daerah kami. Entah apa yang dipikirkan mertuaku mau menjadikanku menantu, selain berkuliah hingga dua kali sebenarnya di lingkungan tetanggaku aku tidak terlalu pandai bergaul, pekerjaan tidak prospektif masih bergantung pada orangtua, penampilanku pun standar dengan tinggi badan yang pendek.
Widia sendiri adalah gadis berpenampilan rata-rata dibandingkan mahasiswi di tempatku S1 dulu ataupun murid-murid SMEA yang kuajar, namun setahuku dia sudah berpenghasilan dari usaha berdagang pakaian reseller via internet. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku (168 cm) dengan rambut panjang bergelombang, kulit berwarna cerah dan aset payudara 32B. Yang bisa kubanggakan dari istriku adalah pinggang dan bokongnya yang sangat membentuk, langsing di sekitar pinggang namun melebar di pinggul dan pantat dengan proporsional.