02

295 21 0
                                    

Manik merah menatap datar ubin lantai tanpa niatan untuk memijaknya. Padahal, dia pernah bermimpi untuk memiliki rumah berlantai marmer seperti ini.

Kedua kakinya menggantung di udara, karna keduanya ternyata kalah saing dengan tinggi ranjang yang tengah didudukinya.

Dengan perlahan dan hati-hati, dia turun dari ranjang tersebut ––seperti balita yang mencoba turun dari tempat tidur. Dia membawa kakinya melangkah keluar kamar.

Di luar, dia hanya menemukan lorong penuh lukisan. Indah —ah … tidak, sangat indah. Langit-langit lorong berbentuk cekung dan berlukiskan cakrawala biru.

Kakinya yang tidak beralaskan apapun itu melangkah, tidak mempedulikan dinginnya marmer yang menusuk.

Otak yang awalnya kusut karna realita, kini mulai terurai santai. Manik merah itu tidak pernah berhenti menatap takjub kepada lukisan-lukisan dinding itu.

Lukisan yang sederhana, hanya terdiri dari 1 sampai 2 warna. Tapi berparas seimbang dan kontras. Tidak butuh detail, karna otak akan langsung memvisualisasikannya dalam pikiran.

Foouuuussshhhhh~~~

Angin lembut menyapa helaian rambutnya, yang berasal dari jendela besar dengan pagar yang membatasi dan tirai tipis yang dikaitkan dimasing-masing sisi —kanan dan kiri.

Tak mau kalah, alam menunjukkan keindahannya yang telah ditiru oleh pemilik mansion ini. Landscape lautan dan langit biru, tak lupa dengan taman yang ditumbuhi berbagai bunga-bunga. Sepertinya mansion ini berada disebuah pulau.

Sekali lagi, apa dia di surga?

. . .

Tidak, dia masih di dunia. Lebih tepatnya, mungkin tempat ini akan menjadi sangkar barunya.

Dirinya mulai bertanya-tanya; apakah tempat ini akan menjadi neraka baru nya?

Tap, tap, tap …

Suara tapak sepatu menggema, membuat manik merah itu langsung mencari sumber suara. Seseorang mendekatinya.

"Tuan Ruby, anda diminta Nona Ruby untuk sarapan," ucap seorang pria kekar bersurai biru yang mengenakan pakaian ala butler tersebut sambil membungkuk hormat.

Halilintar diam seribu bahasa. Itu kan panggilan nya saat—

Mengangguk tanda setuju. Dengan dibimbing pria itu, mereka melewati berbagai lorong dan tangga untuk sampai di ruang makan.

"Siapa nama mu?" tanya Halilintar pada pria itu. Sepertinya orang ini adalah pembantu di rumah ini. Jadi Halilintar rasa, dia harus setidaknya mengenalnya untuk keperluan beberapa hal.

"Tarung, tuan."

"Baiklah, Aru."

Enggak, Halilintar gak budeg. Tapi nama orang ini aja yang agak aneh.

Tarung? Yang bener aja. Apa orang ini suka bertarung, makanya dikasih nama Tarung? Ah sudahlah, bukan urusannya. Anggap aja Aru itu julukan dari Halilintar pada kepala pelayan ini.

Tarung hanya tersenyum tipis, dia langsung teringat pada majikannya yang bahkan memanggilnya dengan sebutan Marung ataupun Garong. Aneh-aneh memang.

Sesampainya di ruang makan, Halilintar langsung disuguhkan dengan berbagai macam makanan yang disusun rapi diatas meja panjang mewah. Jangan lupakan peralatan makan dan hiasan meja berkelas yang menemani.

Tarung menarik sebuah kursi—

"Silahkan, Tuan Ruby."

—dan mempersilakan Halilintar untuk mendudukinya.

WHAAATT??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang