Rora POV
Hai ini aku, Rora. Masih dengan kondisi yang sama, menyusuri halaman belakang dan mencari nenek. Rasanya aku ingin sekali duduk menjeplak disini, mengistirahatkan kaki ku yang sudag pegal.
Aku jadi penasaran bagaimana keadaan kak Isa dan kak Rama. Apakah mereka marasakan lelah atau malah mereka tidak merasakan sama sekali? Sudahlah lupakan saja. Aku mulai mengantuk, padahal jika biasa nya aku disuruh begadang sampai jam dua belas lewat aku kuat. Tapi kenapa sekarang aku mulai mengantuk.
"Hoammm... Kapan nenek ketemu..?" gerutu ku sambil menahan kantuk. Kaki ku masih kupaksa untuk berjalan. Begitu juga dengan kedua mataku yang masih terbuka, hanya untuk nenek. Aku juga mengerat kan peganganku pada lampu senter.
Angin malam tak ada hentinya bertiul, sepertinya mereka juga berartisipasi atas hilangnya nenek.
Huft..
Itu helaan nafas kesal dari ku. Sepertinya ini jalan buntu. Tidak ada solusi lagi untuk menemukan nenek. Jam menunjukkan pukul 12.18 malam saat aku melihat layar ponsel ku tadi. "Capek.."
"Hai.."
Hei! Suara siapa itu?! Lampu senter ku menyapu sekeliling, mencoba mencari asal dari suara itu. Rasa kantuk ku seketika menghilang begitu saja.
"Hai kemarilah..."
Aku menelan saliva. Aku bisa merasakan jika bulu tipis ku mulai meremang sekarang. Mata muli awas di sekitar. Aku yakin itu bukan suara kak Isa maupun kak Rama. Itu suara orang lain. Tapi siapa? Semua pelayan bahkan sudah tidur dijam segini.
"Jangan takut..aku tau diman nenek mu..."
Apakah aku harus percaya atau tidak?
"Ayolah ro.."
Apa maksudnya? Aku berharap kak Isa ada disini.
"Majulah.. Hingga di semak-semak depan....mu itu..."
Apakah ini sungguhan? Aku sedikit ragu. Tapi mungkin saja benar. Aku menelan salivaku, lagi. Melangkahkan kaki ku perlahan sesuai petunjuk.
Tangan ku yang memegang lampu senter bergetar. Hawa disekitar berubah. Ini menakutkan. Jantungku terpacu cepat. Ku eratkan jaket ku, di luar sini dingin.
"Ayo...maju lagi..."
Bisikan itu datang lagi. Seolah terhipnotis aku mengikuti apa yang di bisikkan. Aku masih melangkah kan kaki ku.
Sampai di depan semak-semak itu, aku diam sejenak jantungku terpacu. Suara jangkrik terdengar berderik.
"Buka...saja... Tidak usah ragu....."
Lampu senter ku, ku sorot kan kearah semak-semak itu. Tangan kiri ku menyibak tanaman liar yang tumbuh lebat itu.
Srak...
Tunggu. Bagaimana bisa. Rasanya aku ingin pergi saja. Kaki ku melemas tiba-tiba. Sial.
Dught..
Kenapa tiba-tiba aku jatuh terduduk. Aku menatap tidak percaya apa yang ada di depan ku. "Inj mustahi..."
"Terima kasih Ro....hihihi..."
End
***
AAAA!!!!
Suara teriakan itu memecah hening nya langit malam. Semua burung berterbangan pergi dari sangkar. Raisa menatap gelapnya langit malam. Ia sangat mengenali suara teriakan itu. Kecemasan itu di hatinya bertambah.
"Ini bener-bener sesuatu yang tidak baik." gumannya,tangannya mengotak atik layar ponsel nya, mencari nomer adik bungsunya.
Tuut..
Panggilan tersambung, membuatnya sedikit lega.
"Rora! Kamu gak papa?!" tanya Raisa khawatir.
"Kak...." mata Raisa terbelalak. Ia memutar arah, kearah Rira berada. Berlari, menyibak setiap semak belukar yang menghalangi jalannya. Raut wajah nya menyiratkan kepanikan yang kuat. Panggilan itu masih tersambung dengan si bungsu.
***
00.20AM
Raisa memeluk erat tubuh Rora yang gemetar. Mencoba menenangkan adik bungsu nya. Netranya sesekali melihat koper hijau yang sangat familiar, tergeletak di tengah-tengah semak yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.
"Kak..." cicit Rora. Tangan nya menggenggam erat tangan Raisa. "Udah... Kamu tenang aja... Ada kakak disini..." ucap Raisa yang membelai puncak kepala Rora.
Netranya menatap nyalang kearah koper hijau itu. Seakan di hipnotis, Raisa beranjak meninggalkan Rora. Ia melangkah kearah koper itu.
Kini giliran Rora yang khawatir pada Raisa. Mata nya menatal khawatir kakak sulung nya. "Kak Isa..." cicit Rora.
Tinggal satu langkah lagi tangan Raisa dapat menggapai koper hijau yang tegeletak di tengah-tengah semka belukar. Rora menelan salivanya saat tangan Raisa terulur untuk menggapai pegangan koper tersebut. Jantung nya terpacu cepat. Sepulu centi meter lagi tangan Raisa akan menyentuh koper itu.
Drrt..
Suara dering ponsel Raisa. Fokus nya terbagi, gerakannya terhenti. Kini tangannya merogoh saku celan training nya, mencoba mencari tahu siapa si penelfon barusan, di waktu selarut ini.
Rora menghela nafas lega. Wajah nya pias. Kini fokusnya pada Raisa yang sedang mengangkat telfon dari seseorang.
"ada apa ram?" tanya Raisa, setelah menggeser tombol hijau di layar.
Terdengar deru nafas Rama yang tidak beraturan diseberang sana. "Rama?" tanya Raisa memastikan.
Rora ikut cemas saat Raisa memasang raut khawatir.
***
Rora POV
Aku takut. Masalahnya kak Isa langsung memasang raut khawatir saat menjawab panggilanbdari kak Rama.
Firasat ku mendadak tidak enak. Aku hanya bisa mengamati kak Isa yang sedang memngangkat telfon kak Rama. Aku tidak tahu apa yang sedang di bincangkan, yang aku tahu jika itu hal serius.
"Kakak kesana sekarang, bareng Rora." itu kata terakhir kak Isa sebelum memaksukkan kembali ponsel nya kesaku celana.
"Ayo Ra! Rama udah nemuin nenek!"
Aku terkejut mendengar penuturan kak Isa. Wajah ku kembali pucat. Aku bisa merasakannya.Kak Isa bilang, kak Rama nemuin nenek? Terus yang tadi ku lihat sebelum kak Isa kemari dan koper hijau itu di sanan, siapa?
Aku segera bangkit dari duduk ku, dan mengikuti langkah kak Isa.
***